Perjanjian Awal Sudah, Tapi Nego dengan Freeport Masih Berliku

17 Agustus 2018 14:09 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Merah Putih di Tambang Grasberg. (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Merah Putih di Tambang Grasberg. (Foto: kumparan)
ADVERTISEMENT
Tahun ini menjadi babak baru bagi pemerintah Indonesia dalam upaya menguasai tambang emas terbesar dunia di Papua yang selama 50 tahun dikelola oleh PT Freeport Indonesia (PTFI), yaitu Tambang Grasberg.
ADVERTISEMENT
BUMN yang ditunjuk pemerintah untuk mengakuisisi PTFI, yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sudah menyepakati perjanjian awal atau Head of Agreement (HoA) dengan Freeport McMoran (FCX), induk usaha PTFI yang berasal dari Amerika Serikat, pada 12 Juli 2018.
Tapi HoA hanyalah proses awal. Meski dalam negosiasi ini kedua perusahaan sudah sepakat mengenai jumlah uang yang mesti disetorkan Inalum ke FCX sebesar USD 3,85 miliar, transaksinya belum benar-benar terjadi. Apalagi, HoA bukan merupakan perjanjian mengikat, bisa dibatalkan kapan saja tanpa ada sanksi.
Jalan Inalum untuk benar-benar menjadi pemegang saham mayoritas masih berliku. Setelah Juli lalu kedua pihak sudah menandatangi HoA, sejumlah pekerjaan rumah harus segera diselaikan oleh induk holding pertambangan ini. Waktu Inalum tidak banyak, sebab saat ini sudah memasuki tahun politik yang rentan dihinggapi berbagai isu dalam proses negosiasi.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, sejumlah tantangan yang ada di hadapan Inalum harus diselesaikan paling lambat akhir Desember 2018. Sebab, tahun depan akan memasuki masa 'lame duck' dimana pemerintah tidak bisa mengambil keputusan strategis yang dikhawatirkan akan mengikat pemerintahan berikutnya.
“Ini semua harus selesai sebelum akhir Desember karena tahun politik. Saya khawatir kalau misalnya setelah Desember, pemerintah tidak bisa mengambil keputusan strategis karena tahun politik. Nanti dipermasalahkan secara konsititusional,” kata dia kepada kumparan, (17/8).
Hikmahanto membeberkan, cukup banyak tantangan yang dihadapi Inalum dan mesti dibereskan hingga akhir tahun. Pertama, perjanjian jual beli Participating Interest Rio Tinto sebesar 40 persen yang ada di PTFI. Rio Tinto merupakan perusahaan asal Inggris-Australia yang selama ini menyuntikkan dana di PTFI. Nilai transaksi untuk memboyong PI Rio Tinto sebesar USD 3,5 miliar.
ADVERTISEMENT
Proses kedua, perjanjian pembelian saham PT Indocopper Investama sebesar 9,36 persen yang ada di PTFI. Ini juga harus diperhatikan betul karena meski Indocopper merupakan perusahaan Indonesia, tapi dia afiliasi Freeport yang 100 persen sahamnya dikuasai PTFI. Inalum harus membayar USD 350 juta untuk bisa menguasai saham Indocopper.
Kedua proses ini masuk dalam Purchase Agreement. Inalum sendiri menyatakan, butuh waktu dua bulan untuk bisa menyelesaikan transaksi yang sudah disepakati itu atau hingga akhir Agustus ini.
Suasana penggalian di Freeport.
 (Foto:   Instagram @freeportindonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana penggalian di Freeport. (Foto: Instagram @freeportindonesia)
Tantangan lainnya, kata Hikmahanto adalah membuat perjanjian Shareholder Agreement. Dalam proses ini, akan ada konversi PI Rio Tinto kalau sudah dibeli yang membuat peningkatan modal di PTFI, kemudian Inalum masuk di situ.
Tantangan lainnya adalah negosiasi terhadap Anggaran Dasar PTFI. Ini penting dikaji kedua belah pihak, terutama Inalum karena anggaran dasar itu harus merefleksikan apa yang disepakati dalam Shareholder Agreement. Artinya disesuaikan dengan ketentuan yang sudah disepakati. Shareholder Agreement akan dilakukan setelah Inalum dan FCX menyelesaikan Purchase Agreement.
ADVERTISEMENT
"Misalnya, terjadi dilusi karena Inalum tidak bisa chip in kontribusi peningkatan modal, kan dia harusnya 51 persen, harusnya bisa proporsional 51 persen, sementara FCX bisa chip in sehingga jumlah sahamnya itu jadi jomplang, tidak lagi 51:49 tapi pemerintah misalnya 30 persen, sementara FCX jadi 70 persen. Itu di dalam anggaran dasar harus ada ketentuan yang mengatakan kalau misalnya terjadi seperti itu, maka Inalum bisa membeli saham seharga Rp 1 rupiah supaya sahamnya 51:49 itu akan tetap. Ketentuan-ketentuan itu harus ditransformasikan dalam anggaran dasar," kata dia.
Penentuan harga sahamnya Rp 1 dilakukan agar saham Inalum yang 51 persen tidak terdilusi saat mereka bekerja sama dengan Freeport pasca 2021. Harga saham Rp 1 itu pasti memberatkan PTFI, tapi itu mesti dibuat Inalum untuk mengunci posisi sebagai pemilik saham mayoritas.
ADVERTISEMENT
“Freeport pasti enggak mau, tapi kan kita tidak mau nanti dia bisa ngeluarin duit. Kita enggak bisa mengeluarkan duit terus kemudian terjadi dilusi. Jadi ada hal-hal yang harus dikunci, jangan sampai kita kalah. Maka saya selalu bilang, negosiasi itu penting dan membuat perencanaan itu penting karena devil-nya itu adalah di detail. Kalau HoA kan masih yang umum, 51 persen, caranya begini, itu kan masih umum. Nah, detail ini menjadi tantangan ke depan antara Inalum dan FCX. Jangan sampai posisi Inalum jadi jelek,” bebernya.
Kendaraan berat mengumpulkan bebatuan dengan endapan emas di kompleks pertambangan Grasberg Freeport McMoRan. (Foto: AFP PHOTO / Olivia Rondonuwu)
zoom-in-whitePerbesar
Kendaraan berat mengumpulkan bebatuan dengan endapan emas di kompleks pertambangan Grasberg Freeport McMoRan. (Foto: AFP PHOTO / Olivia Rondonuwu)
Membentuk Joint Venture
Tantangan lainnya adalah membuat perjanjian antara Inalum dengan pemerintah daerah di Papua. Skemanya, Inalum membuat perusahaan dengan dua pemda, yaitu Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika atau disebut dengan istilah Special Purpose Vehicle. SPV merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut perusahaan baru yang belum terbentuk dan belum memiliki nama. SPV bisa disebut juga sebagai Joint Venture.
ADVERTISEMENT
Di dalam SPV ini, ada Joint Venture yang terdiri atas Inalum, Pemprov Papua, dan Pemkab Mimika. Porsi sahamnya, 80 persen dipegang Inalum, 20 persen dipegang kedua pemda tersebut. Tapi Hikmahanto belum tahu berapa persen dari masing-masing pemda dapat jatah saham.
Pemerintah pusat sendiri telah menetapkan bagian untuk pemda sebesar 10 persen. Tapi, kabarnya Pemprov Papua menginginkan porsi yang lebih besar karena sebagai provinsi, sementara Pemkab Mimika juga meminta bagian yang lebih besar di dalam 20 persen itu lantaran PTFI berdiri di wilayahnya.
“Nah itu yang kita enggak tahu porsinya karena masih tarik-tarikan karena pusat minta lebih besar, tapi Mimika minta lebih juga karena lokasi pertambangannya ada di wilayah mereka. Nah ini yang harus diselesaikan di Kementerian Keuangan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dia juga menegaskan bahwa di dalam SPV ini tidak ada FCX ataupun PTFI. Joint Venture ini murni antara Inalum dan kedua pemda.
Freeport (Foto: OLIVIA RONDONUWU / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Freeport (Foto: OLIVIA RONDONUWU / AFP)
Hati-hati soal Sumber Pendanaan
Hikmahanto juga mengingatkan, Inalum harus berhati-hati dalam melakukan negosiasi dan perjanjian dengan bank yang ikut mendanai divestasi 51 persen saham PTFI dengan valuasi USD 3,85 miliar. Dia bilang, setidaknya ada 3 hal yang harus diperhatikan Inalum dalam mencari pendanaan.
Pertama, jangan menggadaikan saham yang dimiliki Inalum di PTFI kepada bank atau lembaga kredit. Ini akan berdampak buruk karena saham itu seolah-olah untuk jangka waktu tertentu masa pinjaman diserahkan kepada bank. Kalau seperti itu, Inalum tidak punya kendali sebab semua revenue masuk ke bank seperti yang terjadi pada PT Newmont di masa lalu.
ADVERTISEMENT
"Tapi kan Pak Budi Gunadi Sadikin (Direktur Utama Inalum) kan orang bank, jadi jago sekali. Kalau dulu Pak Budi sebagai kreditur (saat masih menjadi Dirut Bank Mandiri), sekarang posisinya sebagai debitur, jadi mindset-nya harus diubah. Itu yang harus ditekankan karena itu yang terjadi di dalam kasus waktu itu Newmont. Pemda (NTT) waktu itu dapat (saham Newmont) tapi digadaikan. Jadi yang menikamti bukan Pemda. Nah sekarang kita mau bahwa ini harus benar-benar Indonesia,” kata dia.
Kedua, terkait dengan bank pemberi pinjaman, Hikmahanto menegaskan jangan pinjam dari China, semurah apapun bunga yang ditawarkan. Jika Inalum tergiur untuk meminjam dari bank China, akan menimbulkan masalah baru karena Presiden Joko Widodo kerap diisukan dekat dengan China.
ADVERTISEMENT
“Walaupun dia menawarkan bunga rendah. Mungkin saja itu dari China tapi itu akan sensitif karena tahun politik. Nanti dibilang Pak Jokowi terlalu dekat dengan China. Jadi memang murah, reasonable sekali tapi karena ada sensitivitas, saran saya jangan pinjam dari China,” lanjutnya.
Sebelumnya diberitakan, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengatakan bahwa bank asal Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) menjadi leader dalam sindikasi perbankan yang akan memberikan pinjaman ke Inalum untuk menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI). MUFG akan jadi leader di antara 8 sampai 11 bank asing yang akan memberikan pinjaman tersebut.
“Tapi sama Jepang juga harus hati-hati karena ada kerja sama (dengan FCX). Prinsipnya sih oke dari Jepang. Walaupun dia jadi leader tapi kalau mayoritasnya dari bank China, ya orang akan tahu, malah jadi isu lagi,” katanya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kata Hikmahanto, adalah bank-bank atau lembaga kredit yang menawarkan pinjaman jangan terafiliasi dengan FCX di luar negeri. Itu akan menjadi preseden buruk bagi Inalum. Salah satu contohnya adalah kepemilikan PT Indocopper yang merupakan perusahaan asal Indonesia tapi 100 persen sahamnya dimiliki PTFI karena kreditur yang berafiliasi dengan FCX.
“Jangan ada afiliasi dengan FCX. Baik itu bank atau lembaga yang membiayai. Itu jangan,” tegasnya.
Sementara itu, meski masih banyak tantangan menanti dalam upaya pemerintah menguasai 51 persen saham PTFI, Menteri ESDM Ignasius Jonan optimistis proses ini bisa selesai dalam 2 bulan setelah HoA atau dengan kata lain pada September 2018. Menurutnya, sekarang tinggal menyelesaikan urusan administrasi saja. "Ini kan tinggal urusan administrasi saja. Administrasi 2 bulan boleh lah," katanya kepada kumparan.
ADVERTISEMENT