news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Posisi Indonesia Dinilai Kuat Lawan Ancaman Perang Dagang Duterte

24 Februari 2019 19:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
ADVERTISEMENT
Sejak Agustus 2018, kopi dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia dipersulit masuk ke Filipina. Presiden Filipina Rodrigo Duterte menebar ancaman perang dagang dengan kebijakan special safeguard (SSG).
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia sudah berupaya meredam perang dagang dengan mengirim surat ke Menteri Perdagangan Filipina. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag pun sudah bertandang ke sana. Namun upaya tersebut masih belum membuahkan hasil.
Ekonom Institute for Developments of Economic and Finance (INDEF), Bhima Yudhsitira, mengatakan meski ancaman perang dagang Duterte masih berjalan, Indonesia tidak perlu khawatir. Menurut dia, posisi tawar Indonesia lebih kuat.
"Dari sisi ekspor tidak perlu dikhawatirkan. Efek ke pembentukan harga di kontrak pembelian sawit internasional relatif kecil," kata Bhima kepada kumparan, Minggu (24/2).
Saat ini harga sawit referensi Malaysia per 25 Jan 2019 justru naik 6,6 persen sejak awal tahun ini menjadi USD 560,7 per ton. Hal ini menandakan market sedang tahap pemulihan. Titik terendah sudah terlewati.
ADVERTISEMENT
Menurut Bhima, ancaman perang dagang dari Filipina tersebut tidak akan berdampak serius terhadap kinerja ekspor CPO Indonesia lantaran volumenya yang tidak begitu besar.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pasar CPO ke Filipina relatif kecil yaitu 3,7 persen dari total pasar Asia. Ekspor produk sawit ke Filipina sebesar USD 311 juta, sementara pasar Asia total menyumbang USD 8,34 miliar (data statistik BPS, 2017).
"Kalau secara global artinya tidak sampai 1 persen. Posisi tawar Indonesia jelas lebih kuat dibandingkan Filipina. Dari sisi ekspor tidak perlu dikhawatirkan," katanya.
Surplus neraca perdagangan Indonesia ke Filipina hingga November 2018 dibandingkan periode sama tahun 2017 hanya tumbuh 4,82 persen dari USD 5,2 miliar ke USD 5,48 miliar. Angka ini lebih kecil jika dibanding 2016-2017 yang tumbuh 28,5 persen.
ADVERTISEMENT
"Artinya selama 2018 justru pertumbuhan ekspor Indonesia ke Filipina cenderung melambat. Di sini Pemerintah bisa melakukan lobi ke Kementerian Pertanian atau Atase Perdagangan Filipina sehingga tuduhan Filipina berdasarkan data yang faktual," jelas dia.
Menurut Bhima, yang menjadi permasalahan, jika ideologi proteksionisme Duterte ini ditiru negara importir sawit lainnya. Filipina terinspirasi dari Narendra Modi PM India yang menaikan bea masuk produk impor CPO di tahun 2018.
Presiden Jokowi bertemu Rodrigo Duterte Foto: Dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden
"Kampanye dan lobi untuk mencegah pengaruh anti-sawit di negara tujuan ekspor tetap penting," kata Bhima.
Karena itu, pemerintah dinilai harus mengadakan lobi-lobi khusus seperti mengadakan pertemuan membahas kinerja perdagangan. Pemerintah juga perlu melakukan negosiasi untuk mempermudah produk dari negara yang komplain masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Cara ini pernah diterapkan ke Pakistan yang complain soal defisit karena sawit, lalu Pemerintah buka impor Jeruk Kino dari Pakistan. Itu win-win solution-nya," kata dia.
Terakhir, pemerintah perlu melakukan pendekatan kepada importir CPO dan pelaku bisnis dirantai pasok sawit yang ada di Filipina, sehingga mereka bisa desak Filipina untuk mempertimbangkan langkah proteksi.
Menteri Perdagangan Enggariasto Lukita sebelumnya mengatakan pemerintah bakal segera melakukan pertemuan dengan Duterte untuk menyelesaikan ini. Pertemuan bakal dilakukan dalam forum bisnis, tapi dia masih belum tahu kapan agenda itu bakal dilaksanakan.