Prabowo Sebut RI Ketergantungan Impor BBM, Mobil Listrik Solusinya

5 November 2018 10:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Capres Prabowo Subianto (kanan) di acara deklarasi generasi emas di Stadion Klender, Jakarta Timur, Rabu (24/10/2018). (Foto: Luftan Darmawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Capres Prabowo Subianto (kanan) di acara deklarasi generasi emas di Stadion Klender, Jakarta Timur, Rabu (24/10/2018). (Foto: Luftan Darmawan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Calon Presiden Prabowo Subianto mengkritisi kebijakan impor yang dilakukan pemerintahan Jokowi, di antaranya impor bahan bakar minyak (BBM). Menurut dia, kebijakan impor ini hanya akan melemahkan perekomonian rakyat. Karena itu, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus swasembada energi.
ADVERTISEMENT
Indonesia memang sudah menjadi negara net importir minyak sejak 2004 atau 14 tahun lalu karena produksi minyak terus menurun secara alamiah, sementara kebutuhan di dalam negeri sebaliknya makin besar karena pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor.
Impor BBM sebenarnya bukan masalah baru, bukan hanya di era Jokowi saja. Saat ini kebutuhan BBM di dalam negeri mencapai 1,6 juta barel per hari. Sementara kilang-kilang Pertamina hanya mampu memproduksi 800 ribu barel per hari. Separuh dari kebutuhan BBM harus dipenuhi dari impor. Pada 2021, diperkirakan konsumsi BBM nasional akan tembus 2 juta barel per hari.
"Kalau kita lihat, ketergantungan kita sangat besar pada BBM. Hampir semua moda transportasi pakai BBM. Selama kita masih bergantung pada mesin berbahan bakar minyak, ya begini," kata Direktur Eksekutif Insititute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa kepada kumparan, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya program-program untuk menekan konsumsi BBM dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi impor sudah ada. Misalnya program mandatori biodiesel 20 persen (B20), konversi BBM ke gas, dan pengembangan mobil listrik.
Tapi hampir semuanya tak berjalan dengan baik. Sejauh ini, baru program B20 yang sudah berjalan maju. Sisanya jalan di tempat atau bahkan mundur. Untuk diversifikasi energi, tentu tak cukup hanya dengan B20.
"Konversi BBM ke gas enggak jalan. Sampai hari ini hampir di semua SPBU enggak ada nozzle gas. Mobil listrik, harusnya dari 10 tahun lalu Indonesia sudah merencanakan untuk ke arah sana. India sudah mulai masuk ke mobil listrik sejak 2010, China dari 2009," ia menuturkan.
Pengembangan mobil listrik memang butuh waktu panjang, tak bisa jadi solusi instan untuk mengurangi impor BBM. Tapi kalau tak dimulai sekarang, ketergantungan pada BBM akan menjadi-jadi dan tak pernah terselesaikan.
Premium kosong di SPBU Pertamina (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Premium kosong di SPBU Pertamina (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Fabby menyayangkan belum terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) untuk payung hukum pengembangan mobil listrik. Padahal rancangan Perpres sudah diselesaikan Kementerian ESDM sejak awal tahun ini.
ADVERTISEMENT
"Pengembangan mobil listrik butuh waktu setidaknya 5-7 tahun lagi. Tapi kalau enggak kita mulai sekarang, enggak jalan-jalan. Sementara Kementerian ESDM dan Kemenperin belum kompak soal mobil listrik," katanya.
Butuh komitmen kuat dari pemerintah untuk memperkuat ketahanan energi. Tanpa kesungguhan, selamanya Indonesia tak bisa lepas dari candu BBM dan selama itu pula kenaikan harga BBM selalu mengundang protes.
"Harus ada keseriusan, harus ada leadership, harus konsisten. Jangan hanya memikirkan kepentingan jangka pendek," tegasnya.