Produsen Listrik Biomassa Keluhkan Mahalnya Harga Cangkang Sawit

22 Mei 2018 16:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah wanita merapihkan tumpukan kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Sia Kambou)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah wanita merapihkan tumpukan kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / Sia Kambou)
ADVERTISEMENT
Salah satu sumber energi baru terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia adalah biomassa dari cangkang sawit. Namun, pengembangannya terhambat oleh mahalnya harga cangkang sawit.
ADVERTISEMENT
Penasihat Asosiasi Produsen Listrik Bioenergi Indonesia (APLIBI), Jonatan Handojo, mengatakan saat ini harga jual cangkang kelapa sawit mencapai USD 85 per ton. Katanya, itu adalah harga yang ditawarkan pengusaha Jepang kepada petani kelapa sawit lokal.
“Di Teluk Bayur, cangkang kepala sawit dibeli USD 85 per ton sama Jepang. Lalu dijual USD 120 per ton setelah sampai di Jepang. Padahal kita mampunya beli Rp 600 ribu per ton,” kata Jonatan saat ditemui di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (22/5).
Dengan tawaran harga yang menggiurkan dan bayaran dalam bentuk dolar AS, petani sawit lebih suka menjualnya kepada Jepang ketimbang produsen listrik. Ini membuat pengembang listrik biomassa kesulitan mendapatkan bahan baku.
“Kalau begitu, kita disuruh beli berapa? Mana bisa kita melawan? Yang punya cangkang kelapa sawit tentu saja lebih suka jual ke Jepang. Mereka dapat dolar AS. Dari situ saja, kita kesulitan,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Jonatan dan 20 pengusaha pembangkit listrik tenaga biomassa yang tergabung di APLIBI berharap ada pengaturan harga bahan baku untuk biomassa, khususnya pada cangkang kelapa sawit, seperti harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO).
“Itu pun sudah kita usulkan. Tapi waktu itu Menteri Pertanian bilang mereka enggak bisa nentuin mau jadi dolar AS atau rupiah atau dilarang diekspor, enggak bisa dia bilang. Ya masuk akal juga karena kan memang buat ekspor,” ucapnya.
FGD Green Bond di Bappenas (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
FGD Green Bond di Bappenas (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
Masalah lain dalam pengembangan EBT, kata Jonatan, ialah patokan harga listrik dari energi terbarukan yang kurang ekonomis. Menurutnya, hal ini memberikan preseden buruk bagi iklim investasi EBT dalam negeri.
“Coba lihat, Menteri ESDM (Ignasius Jonan) dan Dirut PLN (Sofyan Basyir) terang-terangan ngomong untuk yang EBT tidak boleh ambil marjin. Kalau kita enggak boleh ambil marjin, kita bayar utang perbankan pakai apa? Sudah diambil 85% dari BPP, masih enggak boleh dapat untung,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Masalah terakhir, ia melanjutkan, adalah kewajiban menggunakan skema BOOT (build, own, operate, transfer) yang mengharuskan produsen listrik menyerahkan aset pembangkit ke negara setelah kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) berakhir.
Menurut Jonatan, bisnis EBT jadi kurang menarik buat investor. “Kita punya pembangkit biomassa dari Sumatera sampai Pontianak. Minggu lalu kita resmikan di Pontianak, tapi ya saya pikir-pikir mau tutup saja. Ini sudah terancam kalau begini,” katanya.