Properti Menengah Atas Lebih Sensitif Terhadap Dinamika Pemilu 2019

10 Agustus 2018 15:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung KPU (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung KPU (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bisnis properti kelas menengah atas lebih sensitif terhadap pengaruh pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2019, yang tahapannya sudah dimulai sejak tahun ini. Hal tersebut berbeda dengan bisnis properti untuk segmen masyarakat menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Associate Director Konsultan Properti Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan, selain properti kelas menengah ke atas, produk serupa untuk sektor korporasi seperti gedung perkantoran juga sangat dipengaruhi iklim politik.
“Karena bagi kalangan menengah-atas dan korporat, properti merupakan instrumen investasi. Kan kalau iklim investasi sangat tergantung kepada situasi perpolitikan, seperti pemilu yang berlangsung di suatu negara,” katanya menanggapi dinamika politik jelang pemilu 2019, Jumat (10/8).
Menurut dia, hal tersebut berbeda bagi masyarakat berpenghasilan di bawah rata-rata. Biasanya kebutuhan untuk memiliki rumah adalah karena mereka memang memerlukannya.
Ilustrasi rumah kluster. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rumah kluster. (Foto: Shutterstock)
Untuk saat ini, Ferry seperti dikutip dari Antara menyatakan, sebenarnya sudah banyak investor asing yang memiliki modal besar untuk memasuki pasar properti nasional. Namun, umumnya mereka masih bersikap wait and see, memantau proses dan hasil pemilu.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, asosiasi pengembang perumahan yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI), dalam sejumlah kesempatan menyoroti kebijakan perpajakan, yang seharusnya bisa lebih mengakomodasi perkembangan sektor properti.
Ketua Umum DPP REI Solaeman Soemawinata, dalam keterangan tertulis menyatakan perlunya peninjauan sejumlah regulasi pajak, yang selama ini dinilai kurang ramah terhadap perkembangan industri properti.
Sejumlah regulasi tersebut antara lain, terkait dengan pajak penerapan barang mewah sebesar 20 persen untuk rumah tapak yang disebut mewah, atau seharga minimal Rp 20 miliar. Sedangkan hal lainnya dicontohkan, seperti pajak lahan telantar. Aturan pajak tersebut, dinilai menghambat secara psikologis kalangan pengembang untuk membangun rumah.