Rhenald Kasali: Ancaman Disrupsi Bisa Lebih Berbahaya Daripada Resesi

16 Oktober 2019 9:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rhenald Kasali saat peluncuran buku The Great Shifting di rumah perubahan, Bekasi, Sabtu (21/7). Foto: Abdul Latif/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rhenald Kasali saat peluncuran buku The Great Shifting di rumah perubahan, Bekasi, Sabtu (21/7). Foto: Abdul Latif/kumparan
ADVERTISEMENT
Pakar disrupsi Indonesia, Prof. Rhenald Kasali mengingatkan agar pelaku usaha dan BUMN bisa membedakan ancaman resesi dengan disrupsi. Terlebih saat sejumlah unicorn mulai diuji di pasar modal dan beralih dari angel investor ke publik.
ADVERTISEMENT
“Tahun lalu, 12 unicorn global menguji nyali di NYSE (New York Stock Exchange) walaupun totalnya rugi USD 14 miliar. Setelah itu berita buruk terhadap Uber membuat harga sahamnya anjlok. Di sini berita tentang PHK di Bukalapak juga menghiasi media sehingga banyak mengundang pertanyaan,” katanya melalui pernyataan resmi.
“Ancaman resesi, kali ini menimpa negara-negara yang perekonomiannya mengandalkan pasar ekspor. Indonesia mungkin sedikit terganggu, tetapi tak sebesar Singapura atau Thailand yang benar-benar mengandalkan ekspor. Sedangkan ancaman disrupsi, bisa lebih berbahaya, khusus bila CEO menggunakan cara-cara lama dan terlena,” imbuh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu.
Ia menambahkan, disrupsi teknologi mengakibatkan pasar tergerus oleh pendatang baru, mengalami great shifting, terimbas substitusi dan mengakibatkan sumber-sumber pendapatan usaha yang utama kehilangan relevansi.
ADVERTISEMENT
“Saat ini tak ada lagi pendapatan dari penjualan koran dalam industri suratkabar. Mie instan terancam Gofood. Kantor-kantor cabang bank masih dipertahankan kendati sudah jarang nasabah yang datang. Kelak, kalau kendaraan beralih ke mobil listrik, bagaimana nasib SPBU atau pompa bensin? Belum lagi model bisnis yang mengandalkan kendali atas seluruh sumberdaya yang digantikan platform yang efisien,” kata Rhenald Kasali.
Kendati begitu, ia mengatakan disrupsi lebih mudah diatasi ketimbang resesi karena kendali ada di tangan CEO. Karena itulah ia mengingatkan agar CEO menggunakan cara-cara baru, ubah sudut pandang dan jangan asal membeli teknologi, lalu sudah merasa telah melakukan transformasi digital.
Transaksi melalui platform digital mendisrupsi penggunaan uang tunai. Foto: shutterstock
“Saat ini mulai banyak CEO yang tertarik berinvestasi pada startup milik anak muda. Namun agak terganggu dengan ancaman resesi, berita-berita buruk tentang ancaman PHK yang terjadi di sejumlah platform seperti Uber dan Bukalapak dan cara pandang lama. Startup itu bersifat ekspansif, sedang pada fase pertumbuhan. Metriknya adalah growth dan matching quality. Sedangkan korporasi metriknya adalah rasio keuangan yang mencerminkan keuntungan dan efisiensi.”
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus itu harus dilihat case by case. “Betul Startup ini masih dalam tahap pertumbuhan dan banyakyang belum punya sumber pendapatan yang bisa diandalkan, namun sudah berani IPO. Ini yang mengakibatkan nasib mereka terpuruk," papar dia.
Problemnya, lanjut Rhenald, adalah pada model bisnis. Lalu juga ada yang tidak mampu mempertahankan keseimbangan antara harga murah yang diinginkan pasar atas jasa-jasanya dengan keinginan vendor yang tak mau diberi margin rendah. Ketidakmampuan mengekola ketigany bisa berakibat platform semakin ditinggalkan. Namun ini tak terjadi pada semua startup.
Para CEO kini dituntut untuk memahami cara kerja baru. Tak cukup bermodalkan metric lama yang dipelajari di business school pada era 80-90an. “Kalau tidak pelaku usaha kita akan semakin diserang asing secara proxy menggunakan platform dari jauh kan kita hanya menjadi penonton saja sambil menyalahkan resesi,” tutup Rhenald Kasali.
ADVERTISEMENT