RI Menebar Ancaman Serius ke Uni Eropa yang Diskriminasi Kelapa Sawit

19 Maret 2019 10:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Darmin Nasution, Menteri Perekonomian Foto: Garin Gustavian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Darmin Nasution, Menteri Perekonomian Foto: Garin Gustavian/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia mulai memberikan ancaman serius kepada Uni Eropa yang mendiskriminasi kelapa sawit melalui Undang -undang Delegasi (Delegated Act). Bagi pemerintah Indonesia, ancaman ini penting dilontarkan agar Uni Eropa paham bahwa kelapa sawit bukan seburuk yang mereka nilai.
ADVERTISEMENT
Dalam Delegated Act, Uni Eropa memasukkan kelapa sawit ke dalam klasifikasi berisiko tinggi karena pendorong utama deforestasi. Padahal dari sejumlah riset ilmiah, ekspansi lahan kedelai jauh lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit. Imbasnya, Uni Eropa pun melarang penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar secara bertahap pada 2019 hingga 2023, dan akhirnya disetop total menjadi nol pada 2030.
Ancam Gugat ke WTO Seperti murka dengan keputusan Uni Eropa, pemerintah Indonesia mulai menebarkan ancaman. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan akan menggugat persoalan pelarangan kelapa sawit ini ke organisasi perdagangan dunia (WTO) bersama delegasi Malaysia.
Pekerja membongkar buah kelapa sawit di unit pemrosesan minyak kelapa sawit milik negara. Foto: REUTERS / Tarmizy Harva
"Yang penting bagi kita begitu dia resmi oleh Parlemen Eropa itu waktunya kita bisa menggugatnya (ke) WTO. Tentu apa yang akan dilakukan kalau kita lebih dahulu tidak masalah," katanya saat konferensi pers di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (18/3).
ADVERTISEMENT
Darmin menilai, tindakan diskriminatif dari kebijakan Uni Eropa yaitu dengan tidak adanya kajian ilmiah yang komprehensif membahas dampak dari penanaman kelapa sawit. Ia pun menjelaskan, perbandingan produktivitas kelapa sawit dibanding tumbuhan minyak nabati lainnya seperti rapeseed (bunga matahari).
"CPO, minyak kelapa sawit itu tidak bisa dibantah itu berapa kali lipat lebih produktif dari semua vegetable oil, (seperti) bunga matahari, rapeseed. Bedanya satu hektare (ha) tanah itu kalau ditanam kelapa sawit bisa menghasilkan 8-10 ton misalnya. Tapi kalau yang lainnya hanya 1 ton," imbuhnya.
Mundur dari Perundingan Dagang Tidak hanya menggugat ke WTO, pemerintah Indonesia sedang mengkaji ulang perundingan kerja sama dagang antara Uni Eropa dengan Indonesia melalui Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA).
Bendera Uni Eropa. Foto: REUTERS/Francois Lenoir
ADVERTISEMENT
“Pemerintah melakukan kajian ulang what to do the next. Saya tentunya lebih pas kalau saat ini pemerintah mengkaji total ekspor ke (UE) tahun lalu USD 17,1 miliar. Kalau kelapa sawit, 17 juta tenaga kerja,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo, menimpali pernyataan Darmin.
Hanya saja pemerintah belum menentukan kapan rencananya akan melakukan negosiasi ulang kepada Uni Eropa. Adapun dalam kerja sama IE-CEPA terdapat 5 negara yang tergabung. Antara lain, Norwegia, Swiss, Islandia, dan Liechtensien. Iman menegaskan dalam perjanjian dagang ini salah satu isu penting yaitu terkait Perdagangan Pembangunan Berkelanjutan (Trade Sustainable Development).
“Sejak awal objektif kita adalah sustainability ada vegetable oil. Kalau bicara sustain semua vegetable oil sama. kita lihat dinamika seperti apa. Harus non-diskriminatif, semua komoditas minyak nabati dapat perlakuan yang sama,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
Tidak salah memang pemerintah Indonesia menebar ancaman serius ke Uni Eropa. Kelapa sawit masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut sepanjang tahun 2018 lalu, ekspor minyak sawit Indonesia secara keseluruhan (CPO dan produk turunannya, biodiesel dan oleochemical) membukukan kenaikan sebesar 8 persen atau dari 32,18 juta ton pada 2017 meningkat menjadi 34,71 juta ton di 2018. Peningkatan yang paling signifikan secara persentase dicatatkan oleh biodiesel yaitu sebesar 851 persen atau dari 164 ribu ton pada 2017 meroket menjadi 1,56 juta ton di 2018.
Sayangnya peningkatan jumlah ekspor berbanding terbalik dengan harganya yang turun tajam. Harga rata-rata CPO tahun 2018 tercatat USD 595,5 per metrik ton atau menurun 17 persen dibandingkan dengan harga rata-rata tahun 2017 yaitu USD 714,3 per metrik ton.
ADVERTISEMENT
Rendahnya harga minyak sawit global ikut menggerus nilai devisa yang dihasilkan meskipun secara volume ekspor meningkat. Nilai sumbangan devisa minyak sawit Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan mencapai USD 20,54 miliar atau menurun 11 persen dibandingkan dengan nilai devisa tahun 2017 yang mencapai 22,97 miliar dolar AS.