Rini Belum Terima Surat Mundur Komisaris Krakatau Steel

24 Juli 2019 15:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri BUMN Rini Soemarno berbincang dengan Ketua KPK Agus Rahardjo saat menghadiri Seminar Peran Satuan Pengawasan Intern (SPI) BUMN. Foto: Antara/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri BUMN Rini Soemarno berbincang dengan Ketua KPK Agus Rahardjo saat menghadiri Seminar Peran Satuan Pengawasan Intern (SPI) BUMN. Foto: Antara/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengaku belum menerima surat pengunduran diri Komisaris Independen PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) Roy Edison Maningkas. Roy telah mengirimkan surat pengunduran diri ke Kementerian BUMN sejak 11 Juli 2019.
ADVERTISEMENT
"Kalau dia mau nulis tapi saya belum terima, jadi saya belum tahu," kata Rini di Istana Bogor, Jakarta, Rabu (24/7).
Rini pun tak bisa berbicara banyak terkait isi surat dan alasan pengunduran diri Roy. Ia menyarankan ke awak media untuk bertanya langsung ke dewan direksi atau komisaris Krakatau Steel dan Deputi Kementerian BUMN.
"Jadi harap bicara dengan preskom (presiden komisaris)-nya atau pun dengan deputi. Saya belum dapat kabar," tambahnya.
Saat disinggung soal kinerja perseroan, Rini tak menampik Krakatau Steel mengalami kerugian beberapa tahun berturut-turut.
Menurut catatan kumparan, Krakatau Steel rugi USD 74,82 juta atau setara Rp 1,062 triliun (USD 1 = Rp 14.200) sepanjang 2018. Angka ini membaik bila dibandingkan kinerja perseroan pada 2017 yang mencatatkan rugi USD 81,74 juta. Perseroan sendiri mengalami laporan keuangan negatif sejak 2012.
Direktur Utama PT. Krakatau Steel, Silmy Karim ketika mengunjungi kantor kumparan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Namun, direksi baru Krakatau Steel yang dipimpin Silmy Karim sedang dan telah melakukan perbaikan.
ADVERTISEMENT
"Mereka sudah melakukan banyak hal perbaikan, tadinya proyeknya terhenti bisa diselesaikan, restrukturisasi utang juga diselesaikan," tambahnya.
Di saat sedang pembenahan di internal perusahaan, kinerja keuangan Krakatau Steel ditekan oleh serbuan baja impor yang menawarkan harga lebih murah. Hal ini dikhawatirkan pula oleh Rini.
"Kita tetap khawatir, kita ingin menekankan bahwa biar bagaimana kita harus mendorong industri dalam negeri, iya kan. Kalau kita mau ada kemandirian itu harus tetap dijaga," jelasnya.
Komisaris Mundur karena Tak Setuju Proyek Blast Furnace
Roy keberatan dengan pengoperasian pabrik baja Blast Furnace. Pabrik baja ini mulai beroperasi 20 Desember 2018 setelah 6 tahun mangkrak.
Di balik beroperasinya pabrik Blast Furnace di Cilegon, Banten tersebut, Roy menyebut ada pembengkakan nilai investasi Rp 3 triliun, yakni dari Rp 7 triliun menjadi Rp 10 triliun. Versi Krakatau Steel, nilai investasi proyek tersebut mencapai USD 1 miliar atau setara Rp 14 triliun.
ADVERTISEMENT
Protes Roy pun telah disampaikan ke direksi Krakatau Steel dan Kementerian BUMN.
"Jadi ini over run, maksudnya budgetnya dia terlampaui Rp 3 triliun. Saya pikir ini bukan angka yang kecil, ini angka yang besar. Proyek terlambat 72 bulan," kata Roy saat menyampaikan surat pengunduran diri di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/7).
Pengunduran diri Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan.
Lanjut Roy, pemilik proyek yakni Krakatau Steel dinilai tidak paham tentang pabrik Blast Furnace yang dikerjakan oleh MCC CERI dari China dan PT Krakatau Engineering (PTKE) itu.
"Tapi Blast Furnace uang punya, (tapi) proyek enggak paham," tambahnya.
Persoalan lain muncul, Krakatau Steel menghentikan pengoperasian pabrik, 2 bulan setelah diresmikan. Saat ditanya ke dewan direksi, pengoperasian dilakukan agar tak menimbulkan temuan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebab proyek tersebut mangkrak beberapa tahun.
ADVERTISEMENT
"Ternyata Kementerian BUMN (juga) enggak paham kalau itu dihidupkan untuk 2 bulan aja. Investasi Rp 10 triliun dihidupkan 2 bulan," tambahnya.
Sebagai dewan pengawas, Roy juga menilai, pihak manajemen tak bisa menjamin bila pabrik Blast Furnace dapat beroperasi normal pasca-dihentikan pengoperasiannya.
"Sampai hari ini enggak ada orang yang bisa ngasih jaminan bahwa kalau dimatikan 2 bulan dihidupkan lagi mesinnya berfungsi lagi seperti normal," tambahnya.
Roy kembali menegaskan, proyek Blast Furnace ini pasti merugi. Kerugian juga terjadi bila proyek yang dimulai sejak 2011 itu tak dilanjutkan, sehingga posisi direksi saat ini terjepit.
"Diterusin proyeknya salah, dihentikan proyeknya salah. Gampang saja, bikin aja matriksnya. Kalau diteruskan ya rugi Rp 1,2 triliun per tahun," tambahnya.
ADVERTISEMENT