Rupiah Menguat, Haruskah Eksportir Khawatir?

13 September 2019 19:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Uang dolar dan rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing/money changer. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Uang dolar dan rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing/money changer. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Rupiah sedang mengalami penguatan. Pagi tadi, rupiah bergerak di level Rp 13.905 per dolar Amerika Serikat (AS). Adapun pergerakan rupiah hingga pukul 19.08 WIB berdasarkan perdagangan Reuters, masih di level Rp 13.950 atau di bawah Rp 14.000.
ADVERTISEMENT
Penguatan rupiah seperti pisau bermata dua, di satu sisi bagus untuk daya beli masyarakat, tapi juga mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar ekspor. Haruskah para eksportir khawatir?
Menurut analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubrata mengatakan, pergerakan rupiah di level Rp 13.000 hingga Rp 14.000 masih dianggap aman. Menurutnya, penguatan hari ini jika masih di level tersebut tak mempengaruhi daya saing ekspor Indonesia.
"Saya kira masih cukup kompetitif. Ekspor kita lebih banyak dipengaruhi oleh harga komoditas," kata dia kepada kumparan, Jumat (13/9).
Meski begitu, dia setuju jika pergerakan rupiah harus berjalan sesuai dengan fundamental ekonomi. Tapi karena saat ini rupiah masih kompetitif, kalaupun mau diintervensi, pemerintah harus hati-hati.
ADVERTISEMENT
"Saya lihat masih bisa menyesuaikan dengan sendirinya karena ketidakpastian global masih tinggi," kata dia.
Analis lain, Renny Eka, mengatakan bahwa penguatan rupiah kali ini juga bukan pada posisi yang mengkhawatirkan dan masih terukur. Dia mengatakan bahwa sentimen utama masih dari meredanya perang dagang setelah Presiden AS Donal Trump menunda kenaikan tarif China senilai USD 250 miliar dan akan melakukan renegosiasi setidaknya sampai awal Oktober.
Di sisi lain, capital inflow juga belum terlalu masif karena investor masih menunggu keputusan The Fed minggu depan. Penguatan juga dialami mayoritas mata uang Asia karena dovish-nya The Fed.
"Juga dari domestik, pasar kita menunggu data trade balance dan keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang juga akan diumumkan pekan depan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana respons eksportir?
Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto yang merupakan eksportir garmen mengatakan, penguatan rupiah yang terjadi hari ini tidak perlu dikhawatirkan, sebab pengusaha melihat jangka panjang.
Tapi, jika rupiah dalam jangka menengah menguat dan negara lain yang merupakan kompetitor dari Indonesia seperti China melemah, Indonesia harus hati-hati. Jangan sampai negara lain ternyata mendevaluasi atau depresiasi.
"Kalau kita kan enggak sanggup devaluasi atau depresiasi sehingga kita juga harus pastikan industri diproteksi, jangan sampai impor banyak masuk," ujarnya.
Ilustrasi ekspor impor. Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
Adapun proteksi yang bisa dilakukan pemerintah terhadap eksportir, kata Anne, bukan dengan cara mengintervensi rupiah. Akan tetapi bisa dilakukan dengan memberlakukan safeguard (pengamanan) sementara.
"Yang kita inginkan tapi adalah ke arah market fundamental itu seperti apa. Tapi kalau ditanya pemerintah harus intervensi apa? Ya dalam sisi balance perdagangan, apa yang sebabkan banyak impor. Itu yang harus di-review dan safeguard," ucapnya.
ADVERTISEMENT