RUU Profesi Penilai Diharapkan Dongkrak Penerimaan Pajak di 2019

14 November 2018 20:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor Kementerian Keuangan (Foto: Kemenkeu Foto/Langgeng)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Kementerian Keuangan (Foto: Kemenkeu Foto/Langgeng)
ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal Kekayan Negara Kementerian Keuangan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai masuk program legislasi nasional (prolegnas) tahun depan. Hal ini bertujuan memberikan kepastian hukum kepada penilai yang selama ini melakukan penilaian di sektor bisnis, akuntansi, aset, maupun pajak.
ADVERTISEMENT
Direktur Penilaian DJKN, Meirijal Nur, mengatakan, hingga saat ini pihaknya tengah melakukan penyempurnaan draf dan naskah akademis terkait RUU Penilaian. Adapun sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menyampaikan RUU Penilai ini pada tahun lalu, namun belum masuk dalam prolegnas tahun ini.
Meirijal menuturkan, RUU Penilai ini memberikan kemudahan bagi pemerintah pusat maupun daerah, misalnya dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum untuk mendukung peningkatan mutu kesejahteraan masyarakat dan berdaya saing secara internasional.
"Nanti juga bisa menentukan besaran nilai SDA lebih tepat yang digunakan untuk menghitung potensi maupun recovery untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan terjaganya kelestarian lingkungan hidup," kata Meirijal saat dihubungi kumparan, Rabu (14/11).
Selanjutnya, RUU Penilai ini juga dapat mengoptimalkan penerimaan pemerintah pusat dan daerah di sektor perpajakan dan non perpajakan berdasarkan proses penilaian. "Menjaga kewajaran hasil penilaian dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum kepada masyarakat secara profesional," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar Misbakhun mengatakan RUU Penilai juga mampu mengoptimalkan pemasukan negara dari sektor pajak. Bahkan, pemerintah daerah akan ikut memperoleh manfaat dengan keberadaan penilai.
Sebagai contoh, keberadaan profesi penilai terkait Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ataupun Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). "RUU Penilai akan sangat penting bagi upaya penyelamatan aset negara dan sektor keuangan lainnya," katanya.
Dia juga menuturkan, jika ada payung hukum bagi penilai, maka penilaian antara agunan dengan kredit akan seimbang, sehingga potensi terjadinya kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) juga bisa ditekan.
"Jika ada penilaian seimbang dan benar maka NPL, asset disposal, nilai aset, dan recovery rate akan sehat, perbankan ikut sehat pula," tuturnya.
Rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, mengatakan jika RUU tersebut disahkan sebagai landasan hukum, diharapkan bisa memberikan perlindungan bagi profesi penilai. Sebab faktanya, penilaian menjadi kebutuhan yang besar, khususnya keperluan bisnis, akuntansi, maupun pajak.
ADVERTISEMENT
Saat ini, penilai di sektor pajak seperti PBB, masih sangat sedikit. Dengan penilaian yang masif dan berkelanjutan, hal ini dapat meningkatkan potensi penerimaan, khususnya PBB dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Termasuk melindungi pengguna jasanya juga seharusnya. Kalau pajak, mungkin PBB yang akan naik, dengan penilaian atas tanah dan bangunan, lalu ada PNBP bagi jasa penilai pemerintah," tambahnya.
Dalam APBN 2019, pemerintah menargetkan penerimaan pajak nonmigas sebesar Rp 1.511,4 triliun di tahun depan. Angka ini meningkat sekitar 9 persen dibandingkan target tahun ini yang sebesar Rp 1.385,6 triliun.
Secara rinci, target penerimaan pajak nonmigas terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas sebesar Rp 828,29 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebessr Rp 655,39 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp 19,10 triliun, serta pajak lain sebesar Rp 8,61 triliun.
ADVERTISEMENT