Saat Konglomerat Memilih Minggat

12 Maret 2018 20:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi konglomerat china (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konglomerat china (Foto: Shutter Stock)
ADVERTISEMENT
Konglomerat Indonesia tampaknya tak betah tinggal di negeri sendiri. Global Wealth Migration Review 2018 mencatat Indonesia masuk dalam 10 besar negara asal para konglomerat yang bermigrasi. Berdasarkan laporan tersebut, kurang lebih ada 2.000 konglomerat Indonesia memilih untuk berganti kewarganegaraan.
ADVERTISEMENT
Secara historis, momen eksodus orang-orang kaya ini dimulai sejak medio 90-an, saat krisis ekonomi melanda Asia. Kala itu, dilansir South China Morning Post, para konglomerat --yang sebagian besar keturunan Tionghoa-- dianggap mendominasi perekonomian dan menjadi penyebab krisis moneter.
Mereka diasumsikan mengontrol 70 persen perekonomian meskipun jumlah populasinya kurang dari tiga persen. Namun, belum pernah ada penelitian resmi untuk memastikan dugaan tersebut. Satu yang pasti, Singapura menjadi negeri pilihan tempat mereka berlabuh setelah meninggalkan Indonesia.
Setelah faktor karut marut situasi negeri di akhir dekade 90an, godaan kemudahan berinvestasi dan rendahnya pajak di Negeri Singa juga kemudian menarik hati para konglomerat untuk bermigrasi.
Berdasarkan laporan Strait Times pada 2016, konglomerat Indonesia telah membeli 189 properti di Singapura. Total nilai transaksinya pun tak main-main, yakni mencapai S$ 5 juta. Faktor lain yang turut berperan menjadi sebab kepindahan para jutawan itu adalah pernikahan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya Indonesia, negeri lain seperti Prancis juga ditinggalkan para konglomeratnya.
Bernard Arnault. (Foto: Ecole polytechnique/Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Bernard Arnault. (Foto: Ecole polytechnique/Flickr)
Di 2013, salah satu orang terkaya Prancis, Bernard Arnault, berencana pindah kewarganegaraan ke Belgia dengan turut serta membawa seluruh pundi kekayaannya.
Ia bukannya ingin melancong atau menikmati pensiun di sejuknya pinggiran Belgia. Sebagai pendiri grup perusahaan LVMH yang memegang beberapa merek mewah seperti Louis Vuitton, Dior, dan Tag Heuer, keputusannya ke Belgia lebih karena pertimbangan bisnis: menghindari pajak.
Awalnya, laki-laki 69 tahun ini mengaku tidak sedang berusaha menghindar dari petugas pajak. “Bernard berusaha memikirkan kelanjutan perusahaannya jika ia wafat tiba-tiba,” ucap juru bicaranya kepada The Guardian, 24 Januari 2013.
Namun, kecurigaan atas motif minggatnya Arnault terus berkembang. Maklum, kekayaannya yang mencapai USD 76,4 miliar dengan gurita bisnis yang begitu menjalar tentu menjadi pemasukan yang tinggi buat pajak Prancis. Terlebih, Presiden Prancis saat itu, Francois Hollande, berencana menerapkan super-tax atau pajak tinggi sebesar 75 persen bagi orang-orang berpenghasilan di atas €1 juta.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini jelas saja memicu kontroversi di kalangan para konglomerat Negeri Mode. Jangankan pengusaha, artis dan olahragawan kondang dengan gaji menggunung pun ikut mengancam angkat kaki dari Prancis jika kebijakan pajak ini diterapkan.
Fakta lainnya, inheritance tax atau pajak warisan di Belgia yang hanya sebesar empat persen jauh lebih kecil dibanding Prancis --yang sebelum ada super-tax sudah mencapai 11 persen. Maka, keputusan Arnault untuk pindah ke Belgia layak saja diambil untuk mengamankan kekayaan bagi anak cucunya.
Ilustrasi pajak (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pajak (Foto: Pixabay)
Gelombang migrasi para konglomerat ini bukanlah fenomena baru. Berdasarkan laporan yang sama, sebanyak 95 ribu konglomerat di dunia pindah negara pada tahun 2017.
Angka itu jauh meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2015, ‘hanya’ 64 ribu konglomerat yang memilih pindah kewarganegaraan. Angka tersebut meningkat pada 2016 yang mencapai 82 ribu orang, dan meningkat lagi di tahun setelahnya.
ADVERTISEMENT
Dari puluhan ribu konglomerat yang angkat kaki tersebut, beberapa negara menjadi penyumbang terbesar. Laporan Global Wealth Migration Review yang dirilis Februari 2018 mencatat bahwa China, India, Inggris, Rusia, Brazil, Indonesia, Arab Saudi, Nigeria, dan Venezuela menjadi negara sumber konglomerat terbesar yang terbang ke negara lainnya.
Setidaknya, terdapat sembilan hal terkait negeri asal yang mendorong perpindahaan kewarganegaraan orang-orang kaya tersebut. Alasan-alasan itu adalah: 1) Keamanan, 2) Gaya hidup, 3) Keuangan, 4) Sistem pendidikan, 5) Peluang kerja, 6) Pajak, 7) Layanan sistem kesehatan, 8) Ketengan akibat konflik agama, dan 9) Standar hidup.
Setiap negara memiliki faktor pendorong migrasi konglomerat yang beragam. Di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Prancis misalnya, tingkat pajak yang melebihi 40 persen menjadi salah satu penyebab utama.
Ilustrasi meninggalkan china (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi meninggalkan china (Foto: Shutter Stock)
Meninggalkan China
ADVERTISEMENT
Kebangkitan ekonomi China di abad 20 membuat mereka mampu menghasilkan 3/4 dari jumlah konglomerat di Asia. "Di China, satu miliarder muncul setiap tiga minggu sekali," kata Qiong Zhang, Kepala Manajemen Kekayaan UBS Securities kepada Bloomberg, (26/10/2017).
Masalahnya, standar kehidupan dan fasilitas di China tak cukup memadai untuk membuat konglomerat-konglomerat itu bertahan. Akibatnya, gelombang migrasi para miliarder cukup tinggi. Tercatat, 10 ribu orang terkaya China berpindah kewarganegaraan. Keputusan untuk pindah negara itu dipicu oleh keinginan untuk mencari kualitas hidup yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
Tingkat polusi udara yang cukup tinggi dan ketimpangan kualitas fasilitas kesehatan menjadi penyebab utama. Mereka kemudian memilih AS, Kanada, dan Australia sebagai negeri tujuan. Ketiga negara tersebut dinilai mampu memenuhi kebutuhan orang kaya China yang tak puas dengan lingkungan asal mereka.
ADVERTISEMENT
Selain daya tarik fasilitas kesehatan yang menggiurkan, kolumnis Forbes Kenneth Kim menyebut alasan pendidikan juga menjadi pendorong para konglomerat berpindah ke Amerika Serikat. Di AS, para konglomerat akan memilih kota-kota besar seperti Los Angeles, New York, Seattle, dan San Fransisco.
Sementara China kehilangan 10 ribu orang konglomeratnya, Australia justru menjadi negeri favorit yang menjadi tujuan para konglomerat pada 2017. Dekatnya letak geografis dengan pasar Asia yang tengah tumbuh pesat menjadi daya tarik tersendiri si Negeri Kanguru.
Posisinya yang strategis mampu menghubungkan bisnis para konglomerat yang umumnya menargetkan pasar Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Selatan. Terlebih dengan mudahnya mendapatkan visa permanen untuk para investor, Australia menjadi tujuan yang menggiurkan.
ADVERTISEMENT
Dilaporkan New York Times, Australia menerapkan peraturan visa permanen bagi para investor sejak 2012. Mereka hanya perlu menanam modal sebesar AUD 5 juta (setara Rp 54 miliar) di negara itu untuk memperoleh Special Investor Visa.
Para migran juga melihat Australia sebagai negara yang relatif stabil dalam hal ekonomi dan politik. Negeri ini jauh dari sumber konflik-konflik dunia, macam Timur Tengah dan Asia Timur. Apalagi, panorama alam yang mempesona membuat Australia negara ideal untuk berlibur dengan menghabiskan uang.
Ilustrasi Uang Dollar (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Uang Dollar (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Eksodus Penuh Kontroversi
Tak ada protes bagi negara tujuan. Masalahnya, buat negara asal, fenomena kaburnya para konglomerat ini menjadi perdebatan.
Setelah ancaman Arnault dan para konglomerat lain, Prancis batal menerapkan kebijakan pajak super pada 2015. Arnault yang batal pindah ke Belgia pun sempat menerima panen hujatan di dalam negerinya.
ADVERTISEMENT
Editor tabloid Liberation, Nicolas Demorand, menyebutkan bahwa keputusan Arnault amat berbahaya baik bagi Prancis dan bisnisnya sendiri.
“Sangat berisiko. Ini dapat memicu kecurigaan terhadap Bernard sekaligus dapat memengaruhi citra merek usahanya dan mengganggu penghidupan para karyawan yang bekerja untuknya,” tulis Nicolas.
Kontroversi berlanjut. Beberapa berpendapat, perpindahan mereka memunculkan citra buruk pada negara asal. “Setiap kejatuhan ekonomi hampir selalu diawali oleh perpindahan orang kaya dari negara tersebut,” tulis laporan dari New World Wealth.
===============
Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline!