Saran Bos Medco ke Jonan: Pangkas Pajak Agar Harga Energi Primer Turun

2 April 2019 20:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama Medco Hilmi Panigoro di Energy Building, Jakarta, Selasa (2/4). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama Medco Hilmi Panigoro di Energy Building, Jakarta, Selasa (2/4). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia masih bergantung pada sumber-sumber energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Biaya energi primer fluktuatif mengikuti pasar global. Harga minyak, gas, dan batu bara kerap melonjak hingga membebani pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ketika harga minyak naik misalnya, anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) harus ditambah. Lalu saat harga batu bara naik, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN jadi meningkat. Sementara pemerintah ingin harga BBM dan listrik terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), Hilmi Panigoro, menilai konsep keterjangkauan ini memang bagus dan mesti dijalankan pemerintah. Tapi, aspek pengembalian modal untuk perusahaan pun harus dipertimbangkan pemerintah.
Dia pun memberikan saran kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan agar pemerintah mengurangi pajak dan bagian untuk pemerintah dalam kontrak bagi hasil pertambangan.
"Hari ini kalau bicara goverment take masih tinggi sekali," kata dia saat ditemui di Energy Building, Jakarta, Selasa (2/4).
ADVERTISEMENT
Contohnya dalam kontrak bagi hasil migas, bagian pemerintah masih sangat besar dibandingkan kontraktor. Untuk gas, pemerintah mendapatkan 65 persen, sementara bagi hasil dari lifting minyak, pemerintah mengantongi 85 persen.
Dengan ketentuan seperti itu, kata Hilmi, pengusaha akan rugi jika menjual gas USD 2 per MMBTU. Dia meminta pemerintah bisa meniru Amerika Serikat yang memotong gross royalti untuk membuat iklim investasi migas bergairah.
"Jadi saya kira harus sama-sama. Affordability itu penting, tapi return for investment (balik modal) harus juga dong," lanjutnya.
Jika pemerintah berani memangkas pajak dan memberi bagi hasil lebih banyak untuk kontraktor, Hilmi yakin harga BBM hingga tarif listrik bisa diturunkan.
"Mau harga listrik turun, berarti suplainya harus banyak. Bagaimana batu bara dan gasnya murah? Ya kontrak diperbaiki dan government take-nya diturunin. Jangan mau harganya turun, tapi government take-nya besar. Pemerintah siap enggak nurunin pajak?" kata Hilmi.
ADVERTISEMENT
Jonan pun merespons apa yang disampaikan Hilmi dalam forum tersebut. Menurut dia, pemerintah tidak bisa seenaknya mengganti sistem yang ada dengan mengubah bagi hasil dalam skema cost recovery, itu bakal melawan hukum. Dia menegaskan, jika Hilmi dan pengusaha migas lainnya ingin ada perubahan dalam sistem kontrak bagi hasil saat ini, sebaiknya segera beralih ke skema gross split.
"Ubah sistem pembagian, pakai tax and share. Kalau renegoisasi menurunkan, itu konsekuensinya hukum. Kalau sistem diubah saya oke. Kalau mau pindah aja ke Gross Split," balas Jonan.
Saat ini, Jonan melanjutkan, pemerintah juga terus mengembangkan energi alternatif dan terbarukan, khususnya di daerah yang sulit dijangkau PLN. Konsepnya, listrik yang dihasilkan berasal dari sumber energi alami yang tersedia di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
"Misalnya ada sungai besar bikin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Kalau ada panas bumi ya bikin Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Kalau banyak angin ya bikin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB)," ucapnya.
Pemerintah juga berjanji bakal kerja keras untuk mengejar target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025. Diakui Jonan, salah satu tantangan untuk mewujudkannya adalah daya beli masyarakat yang harus dijaga dan digenjot lagi. Tapi, dia optimistis hal ini bisa diatasi.