Sengkarut Pajak E-commerce

8 Februari 2018 10:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kaum urban mana yang tak pernah belanja online di era digital saat ini? Jangankan di kota, daerah-daerah pun kini dijangkau perdagangan elektronik. Selama ada internet yang punya kekuatan menerabas batas-batas geografis, belanja jadi amat mudah.
ADVERTISEMENT
Industri perdagangan elektronik (electronic commerce) di Indonesia, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, terus melesat pesat meski laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Ia bahkan memprediksi e-commerce bakal menjadi salah satu tulang punggung ekonomi nasional di masa depan.
Angka transaksi belanja online di tanah air pun memperlihatkan grafik meningkat. Dari semula USD 1 miliar pada 2011, berdasarkan catatan Katadata, meroket menjadi USD 3,5 miliar pada 2015 atau naik 250 persen.
Tren transaksi yang melejit tersebut jelas menjadi perhatian pemerintah, yang kemudian menggodok aturan perpajakan atas bisnis tersebut. Tapi kini, belum juga aturan rampung dibahas, sejumlah pelaku bisnis jadi waswas, atau paling tidak bingung.
Kebingungan misalnya dirasa Ilham Maizil, pengusaha muda yang berdagang busana muslim merek Nakumi Fashion. Lelaki 30 tahun itu mendengar selentingan pemilik lapak seperti dirinya yang berjualan di marketplace bakal dikenai pajak.
ADVERTISEMENT
Marketplace ini semacam pasar virtual via website dan aplikasi mobile yang memfasilitasi banyak pedagang dan konsumen untuk melakukan jual beli barang. Contoh marketplace ialah Tokopedia dan Bukalapak di Indonesia; juga Amazon dan eBay yang telah terkenal di dunia.
“Masih bingung soal siapa yang bakal dikenai pajak. Apakah merchant (pedagang online) atau marketplace-nya,” kata Ilham kepada kumparan, Kamis (1/2).
Ilham juga medengar desas-desus bahwa pajak satu persen dari omzet--seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak final UMKM--bakal diturunkan menjadi 0,5 persen.
Namun, menurut Ilham, jumlah itu masih besar. “Angka 0,5 persen gede banget. Kalau bisa sih (pajaknya) jangan terlalu tinggi-tinggi.”
Sengkarut Pajak Transaksi e-Commerce (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Hingga kini, Kementerian Keuangan masih menyusun aturan pajak untuk bisnis jual beli online ini. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah tak menargetkan sejumlah angka untuk mendongkrak penerimaan pajak dari e-commerce.
ADVERTISEMENT
Suahasil menekankan, pemerintah hanya ingin “menangkap” kegiatan ekonomi dalam transaksi e-commerce, seiring laju konsumsi dan inflasi. Sebab secara alamiah, pajak pertambahan nilai (PPN)--yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen--tumbuh berdasarkan angka konsumsi dan inflasi yang kini sekitar 8,5 persen.
Sementara pada 2017, realisasi penerimaan pajak dari PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ialah Rp 307,3 triliun atau 64,6 persen dari target APBN-P 2017 dengan pertumbuhan 13,7 persen atau di atas angka konsumsi dan inflasi.
Pertumbuhan PPN di atas angka alamiah tersebut, menurut Badan Kebijakan Fiskal yang merupakan lembaga think tank Kemenkeu, menandakan ada kegiatan ekonomi yang belum terekam. Itu, tentu saja, antara lain e-commerce.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya pemerintah kini menggodok regulasi pajak e-commerce yang rencananya bakal diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Namun, pembahasan masih tersendat pada soal pihak mana yang akan dikenai pajak, yang salah satu opsinya adalah toko online atau marketplace.
Bahkan jasa kurir sempat dipertimbangkan pemerintah sebagai pihak yang akan dikenai pajak (secara formal disebut wajib pungut PPN dan Pajak Penghasilan).
Bukalapak sebagai salah satu marketplace di Indonesia menyatakan mendukung kebijakan pemerintah soal aturan pajak e-commerce.
“Kami berharap apapun kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah dapat membuat dunia usaha, khususnya pelaku usaha dan iklim investasi e-commerce, lebih berkembang,” kata Senior Finance Manager Bukalapak, Afrizal, kepada kumparan, Jumat (2/2).
ADVERTISEMENT
Bukalapak, salah satu marketplace di Indonesia. (Foto: Google PlayStore)
Yunirwansyah, Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak, menyatakan marketplace akan ditunjuk sebagai perpanjangan tangan Ditjen Pajak untuk mengumpulkan PPN dan PPh dari transaksi e-commerce.
“Nantinya diatur mekanisme pemenuhan kewajiban pajak dari pihak yang bertransaksi melalui skema e-commerce. Marketplace sebagai penyetor pajak (PPN dan PPh), dan yang dikenai pajak adalah merchant,” ujar Yunirwansyah kepada kumparan.
Pemerintah sebenarnya bisa mendapatkan data transaksi jual beli dari Gerbang Pembayaran Nasional atau National Payment Gateway (NPG) milik Bank Indonesia. Namun, menurut Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Arif Yanuar, ada beberapa kendala jika pemerintah hanya mengandalkan NPG.
ADVERTISEMENT
Pertama, BI tidak memiliki kapasitas untuk memisahkan data mana yang merupakan transaksi e-commerce dan mana yang bukan. Kedua, NPG juga tidak bisa membedakan mana wajib pajak yang perlu dipungut PPN dan mana yang tidak.
“Karena bisa saja ada transaksi lain yang bukan jual beli. Misalnya untuk bayar utang atau arisan,” kata Arif.
Sengkarut Pajak Transaksi e-Commerce (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Aturan e-commerce juga menyangkut bea cukai, yakni pajak yang dikenakan pada barang impor. Sebab, e-commerce erat kaitannya dengan transaksi lintas batas dan bea masuk yang merupakan ranah Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, penerapan aturan pajak e-commerce akan dilakukan bertahap. Penjual atau merchant dalam marketplace akan dikenai pajak lebih dulu, baru selanjutnya ke ranah media sosial--yang juga menyimpan transaksi besar perdagangan online.
ADVERTISEMENT
Beleid tersebut nantinya juga akan mengatur tata cara pemungutan pajak, baik untuk barang-barang berwujud (tangible goods) seperti mobil, televisi, ponsel; maupun barang-barang tak berwujud (intangible goods) macam jasa berlangganan film atau lagu, jasa perdagangan software, sampai jasa pembuatan taman, yang kesemuanya itu diperdagangkan melalui e-commerce.
“Penerapan bertahap tentu sesuai kesiapan semua pihak,” kata Heru.
Namun untuk transaksi e-commerce lintas negara, pemerintah belum memberikan penjelasan, dan meminta masyarakat sabar menanti hingga aturan terbit.
Kepala Divisi Pajak Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga menegaskan, transaksi perdagangan elektronik lintas negara itu tak bisa dikesampingkan. Sebab menurutnya, banyak marketplace asing yang bebas mengakses user dan pembeli Indonesia, namun tidak berkontribusi apapun terhadap negara ini.
ADVERTISEMENT
Belanja online (Foto: musgravemarketplace)
Rencana pengenaan pajak e-commerce sudah terdengar sejak tahun lalu. Musababnya, karena konsumsi rumah tangga terus melambat hingga di bawah 5 persen.
Pada kuartal pertama, laju konsumsi tercatat 4,94 persen, kuartal kedua 4,95 persen, kuartal ketiga 4,93 persen, dan kuartal keempat 4,97 persen. Di sisi lain, laju inflasi terjaga di level 3,6 persen, sedangkan PPN terus mencatatkan kenaikan.
Dengan kondisi demikian, pemerintah melihat ada pergeseran pola konsumsi masyarakat ke arah rekreasi (leisure). Selain itu, kegiatan ekonomi juga mulai banyak dilakukan secara online. Ini yang menyebabkan ritel konvensional tergerus dan terpaksa menutup tokonya.
ADVERTISEMENT
Ken Dwijugiasteadi saat masih menjabat Dirjen Pajak mengatakan, pajak e-commerce diterapkan untuk menciptakan perlakuan setara bagi pelaku usaha konvensional dan e-commerce.
Ketika itu, Ken mengatakan Peraturan Menteri Keuangan soal e-commerce akan terbit sebelum akhir tahun 2017, dengan harapan regulasi sudah bisa diterapkan pada 2018.
Namun hingga kini Dirjen Pajak berganti ke Robert Pakpahan, beleid tersebut belum juga muncul. Menurut Robert, aturan tersebut masih dikoordinasikan dengan berbagai pihak.
“Masih digodok. Tunggu saja,” kata Robert.
Yustinus Prastowo dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) paham kenapa aturan soal e-commerce menjadi molor.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah masih bingung. Masukan untuk mereka terlalu banyak. Misal mau majaki di sini, ada usulan, ‘Oh, di sana juga dipajaki. Ini juga ditambah lagi.’ Jadi enggak selesai-selesai,” kata dia.
Menghadapi perubahan zaman, dan transformasi pola bisnis yang menyertainya, tentu tak bisa terlalu lama gagap.
Aturan Pajak E-commerce di Berbagai Negara (Foto: Chandra Dyah A./kumparan)
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.