Setelah Rupiah, DPR Peringatkan Sri Mulyani Soal Utang Pemerintah

4 September 2018 13:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (04/09/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (04/09/2018). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperoleh sorotan dalam Sidang Paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para anggota parlemen mempertanyakan kinerja tim ekonomi dalam menahan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tak berhenti disitu, DPR mengingatkan Sri Mulyani tentang pengelolaan utang pemerintah yang dinilai parlemen sudah beresiko dan tidak transparan.
ADVERTISEMENT
"Kami ingatkan sejak semula Bu Menteri, kalau utang sudah tak terkendali punya risiko besar kepada negara. Mohon hati-hati tiap tambah utang, jangan sampai utang melebih ambang batas kemampuan. Paling mungkin adalah bagaimana utang mampu diprediksi ini adalah aman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara," kata anggota DPR RI Fraksi PAN Haerudin di Ruang Rapat Paripurna DPR RI, Jakarta, Selasa (4/9).
Menjawab peringatan anggota DPR, Sri Mulyani menegaskan pemerintah terus mengelola utang sesuai dengan standar pengelolaan utang negara yang dinilai oleh semua lembaga keuangan yang independen dan memiliki reputasi global.
"Ini adalah bagian dari tradisi pertanggungjawaban pemerintah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara terhadap rakyat, terutama kepada generasi yang akan datang. Seluruh komponen APBN termasuk pembiayaan utang, akan terus dimanfaatkan secara produktif, efisien dan akuntabel, sehingga dapat berkontribusi optimal bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat," ujar Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT
Adapun penambahan dan pengurangan utang negara menurutnya merupakan bagian dari keseluruhan desain untuk menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yaitu sebagai instrumen kebijakan makroekonomi dan menjalankan fungsi APBN sesuai mandat Undang-Undang (UU) Keuangan Negara.
Sri Mulyani juga mengatakan, pemerintah juga terus menurunkan risiko pembiayaan dengan melakukan upaya diversifikasi instrumen, baik yang konvensional maupun yang berbentuk instrumen syariah dan meningkatkan variasi sumber pembiayaan, terutama yang berasal dari sumber domestik.
"Dengan demikian, risiko pengelolaan utang dapat diminimalkan dan biaya utang dapat ditekan," katanya.
"Utang dan seluruh elemen APBN jelas bukanlah tujuan, namun merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dan mengelola perekonomian," tambahnya.
Rapat paripurna DPR bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa (4/9). (Foto: Rian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat paripurna DPR bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa (4/9). (Foto: Rian/kumparan)
Total utang pemerintah pusat hingga akhir Juli 2018 mencapai Rp 4.253,02 triliun, meningkat 12,51 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 3.779,98 triliun.
ADVERTISEMENT
Secara rinci, utang tersebut berasal dari pinjaman dan surat berharaga negara (SBN). Utang yang berasal dari SBN mencapai Rp 3.467,52 triliun atau tumbuh 16,18 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
SBN tersebut masih didominasi oleh rupiah, yakni sebesar Rp 2.674,52 triliun, tumbuh 13,09 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sementara SBN yang berdenominasi valas mencapai Rp 793,01 triliun atau tumbuh 16,61 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sementara utang yang berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 779,71 triliun atau tumbuh 6,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu dan pinjaman dari dalam negeri sebesar Rp 5,79 triliun atau tumbuh 48,28 persen dari periode yang sama tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia per akhir Juli 2018 yang sebesar Rp 14.302,21 triliun, maka rasio utang pemerintah pusat tersebut mencapai 29,74 persen terhadap PDB, menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 29,79 persen terhadap PDB. Adapun rasio utang tersebut masih dalam batas aman, karena di bawah 60 persen terhadap PDB, sesuai dengan UU Keuangan Negara.