Sri Mulyani: Ada Fakta Teknologi Tinggi Sebabkan Ketimpangan

9 Oktober 2018 10:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan menjadi pembicara di IMF-World Bank. (Foto:  Agus Tri H/Biro KLI Kemenkeu)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan menjadi pembicara di IMF-World Bank. (Foto: Agus Tri H/Biro KLI Kemenkeu)
ADVERTISEMENT
Teknologi digital saat ini terus berkembang pesat di hampir seluruh negara. Namun, perlu ada upaya global untuk mencari solusi atas risiko yang timbul dari teknologi digital untuk menjadi keuntungan, dan harus ada upaya negara-negara untuk mengubah risiko menjadi kesempatan.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan perkembangan teknologi memiliki korelasi positif dengan perkembangan ekonomi. Namun, ada fakta bahwa teknologi tinggi menyebabkan ketimpangan antarnegara dan manfaatnya lebih banyak dirasakan negara-negara yang lebih makmur.
Hal ini disampaikan Menteri Keuangan dalam acara Pathway to Prosperity Rountable Breakfast –dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Bali 2018 yang membahas “Inclusive growth and international governance in the digital age”.
“Hari ini kita banyak membahas kedaulatan data (data sovereignity), keamanan data dan pendidikan IT. Terkait dengan pendidikan IT, Presiden Indonesia Bapak Jokowi membuat inisiatif mengundang Jack Ma memberikan course. Sementara di Indonesia ada Gojek dan Tokopedia yang berkembang sangat cepat. Kita harus bisa catch up dengan policy,” kata Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT
Menurut Sri Mulyani, perkembangan teknologi seringkali membawa tantangan dan kesempatan bagi perekonomian negara. Ini penting bagi negara-negara di dunia untuk memutar keadaan risiko menjadi kesempatan.
Sebab, teknologi menyebabkan disrupsi atau menghambat beberapa hal seperti membuat beberapa pekerjaan menjadi tidak ada, sementara di sisi lain beberapa teknologi menghasilkan roadmap alternatif untuk perkembangan inklusif.
Sehingga, kata Sri Mulyani, sangat penting bagi seluruh negara-negara di dunia untuk mengubah ancaman risiko, terkait teknologi digital menjadi keuntungan potensial, dan memikirkan bagaimana langkah yang harus diambil setiap negara untuk mengambil kesempatan ini.
“Ada kebutuhan sosial di tingkat nasional maupun tingkat internasional untuk menghadapi revolusi industri baru yang akan menyebabkan pemerintah, warga negara, dan swasta bekerja sama dan bersama-sama mempertimbangkan prinsip kerja sama ke depan dan lintas kebijakan,” ujar Sri Mulyani.
Bali Nusa Dua Convention Center. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bali Nusa Dua Convention Center. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Sementara itu Profesor Kebijakan Ekonomi dari Oxford, Stefan Dercon, mengatakan bahwa semua harus bekerja untuk meningkatkan istilah ekonomi untuk pertumbuhan inklusif dalam digital ekonomi dan langkah apa yang harus diambil.
ADVERTISEMENT
Adapun Chairman Infosys, Nandan Nikelani, mengatakan bahwa, Open source adalah solusi untuk seluruh pembangunan, namun harus ada upaya agar data tidak disalahgunakan oleh swasta.
McKinsey Global Institute Senior Fellow, Jeongmin Seong, juga turut urung pendapat. Menurut dia, saat ini 30-40 persen pengeluaran masyarakat ada pada konsumsi internet. Hal ini menstimulasi sisi suplai dari usaha kecil dan menengah.
"Kondisi Indonesia adalah 35 persen belanja dipicu dari konsumsi oleh kaum wanita, dan perkembangan teknologi telah menciptakan banyak pekerjaan, new program dan new model. e-commerce, digital finance, digital payment membutuhkan investasi yang besar," katanya.
Selain itu menurut Jeongmin, pemerintah perlu membuat kebijakan terkait apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kompetisi di dunia digital.
ADVERTISEMENT