Sri Mulyani Masih Kaji Pajak Avtur, Jangan Sampai Bebani Industri

19 Februari 2019 19:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (04/09/2018). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (04/09/2018). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Keuangan masih mengkaji skema Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk harga jual avtur. PPN ini dikaji untuk merepons protes Presiden Joko Widodo tentang harga avtur yang mahal, salah satunya karena dikenai PPN.
ADVERTISEMENT
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan mengatakan, kementerian belum bisa memutuskan hasil kajian PPN avtur karena tidak ingin hitungannya nanti membebani penerbangan dalam negeri.
"Bu Menteri (Sri Mulyani) coba untuk me-review, kita juga review di negara lain seperti apa. Intinya kita ingin berikan treatment yang fair, jangan sampai pajak jadi kendala untuk industri penerbangan kita," kata dia usai ditemui dalam acara IndoGAS 2019 di JCC, Jakarta, Selasa (19/2).
Dia menjelaskan, pada dasarnya pajak avtur bertujuan bukan untuk membebani industri. Justru dengan pengenaan pajak termasuk avtur, bisa menggerakkan perekonomian secara lebih efisien.
Adapun aturan pajak avtur 10 persen pada penerbangan domestik yang selama ini diterapkan Kementerian Keuangan sudah sesuai dengan aturan pajak yang berlaku di negara lain, terutama kawasan ASEAN.
Ilustrasi pengisian bahan bakar ke pesawat Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Malaysia, Filipina, dan Vietnam menjadi tiga negara yang menerapkan pajak avtur pada penerbangan domestik mereka. Sementara di Thailand, diakuinya memang tidak ada pajak avtur, tapi pemerintahnya menerapkan cukai avtur sebesar 4 bath atau Rp 1.900 per liter, harga ini lebih mahal dari pajak avtur 10 persen.
ADVERTISEMENT
"Tapi kalau dengan Singapura jangan disamakan karena negara mereka enggak ada penerbangan domestiknya, tapi negara ASEAN lainnya sama (kena pajak 10 persen). Jadi intinya untuk penerbangan dalam negeri sudah sama, namun kita terbuka untuk masukan terkait avtur di negara-negara lain," lanjut dia.
Rofyanto juga menjelaskan alasan mengapa penerbangan internasional tidak dikenakan pajak avtur 10 persen. Kata dia, karena lokasi penerbangannya yang pindah-pindah, maka tidak bisa dikenakan pajak.
Sementara pajak avtur hanya bisa dikenakan jika penerbangan tersebut domestik sebab berkaitan dengan kepabeanan daerah yang disinggahi pesawat tersebut.
"Karena praktiknya susah, pesawat singgah bisa di mana-mana. Kalau PPN kan bersifat di daerah pabean daerah konsumsi, kalau di dalam negeri ya otomatis bisa kenakan PPN, kalau sudah internasional, enggak jelas barangnya di mana, kayak di daerah trade zone," tutur dia.
ADVERTISEMENT