Tahun 2018, Masa Sulit Industri Penerbangan Dunia

21 Agustus 2018 10:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pesawat Cathay Pacific. (Foto: Kentaro Iemoto/Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat Cathay Pacific. (Foto: Kentaro Iemoto/Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Industri penerbangan dunia mengalami masa-masa sulit di tahun 2018. Maskapai terbaik dunia pun ikut merasakan. Cathay Pacific misalnya mencatat kerugian USD 33 juta atau setara Rp 481,8 miliar (USD 1 = Rp 14.600) pada semester I 2018.
ADVERTISEMENT
Dilansir South China Morning Post (SCMP), kerugian maskapai asal Hong Kong ini dipengaruhi meningkatnya biaya operasional, khususnya harga minyak (avtur). Apalagi maskapai full service harus berbagi penumpang dengan maskapai berbiaya murah (Low Cost Carrier/LCC).
Harga minyak mentah dunia jenis Brent dijual USD 46,37 per barel pada Juni 2017, kemudian menjadi USD 74,41 per barel pada Juni 2018. Pada perdagangan Senin (20/8) kemarin, Brent berada pada angka USD 71,78 per barel.
Akibat kondisi keuangan yang memburuk, maskapai melakukan efisiensi dengan jalan pemangkasan biaya. Dampaknya, pilot maskapai asal Hong Kong ini berselisih dengan perusahaan. SCMP menyebut 43 persen pilot di Cathay Pacific berniat pindah ke maskapai lain.
Di China daratan, maskapai Negeri Tirai Bambu seperti Air China, China Eastern, Spring Airlines, Hainan Airlines, dan beberapa maskapai lainnya mulai mengenakan tambahan biaya bahan bakar (fuel surcharge) untuk rute domestik sejak awal Juni 2018. Tarif tambahan dilakukan karena meningkatnya harga avtur.
ADVERTISEMENT
Hantaman juga menerpa industri penerbangan Indonesia. Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (Indonesia National Air Carrier Association/INACA) menyebut bahan bakar pesawat (avtur) menyumbang sekitar 30-40 persen dari total biaya maskapai.
Garuda Indonesia di Terminal 3 Bandara Soetta (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Garuda Indonesia di Terminal 3 Bandara Soetta (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Maskapai full service asal Indonesia yang juga pesaing Cathay Pacific, Garuda Indonesia juga mencatat kinerja keuangan negatif. Garuda Indonesia pada kuartal I-2018 mencatat kerugian sebesar USD 64,3 juta.
Namun, maskapai di Indonesia terkena beban lebih daripada maskapai internasional lainnya. Maskapai di Indonesia, baik full service dan LCC, terpukul lagi dengan pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah ke USD pada Bulan Agustus melemah ke angka Rp 14.600.
Sekretaris Jenderal INACA Tengku Burhanuddin menilai pelemahan rupiah dan melonjaknya harga avtur sangat memberatkan maskapai penerbangan nasional.
ADVERTISEMENT
"Tentu sangat berat terhadap operasional maskapai penerbangan nasional," ungkap Tengku kepada kumparan.
Mayoritas biaya maskapai tanah air berbentuk valuta asing (dolar AS), sedangkan pendapatan mayoritas didominasi rupiah.
Penumpang Pesawat (Foto: Dok. Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Penumpang Pesawat (Foto: Dok. Pixabay)
Direktur Utama Sriwijaya Air Chandra Lie mengaku saat ini perusahaan harus merasakan beban operasional yang lebih berat karena pelemahan rupiah. Sebab, sebagian besar biaya operasional perseroan menggunakan dolar AS.
"Di antaranya sewa pesawat, perawatan pesawat, spareparts, asuransi pesawat dan lain-lainnya. Bayangkan saja kita jual tiket dapatnya rupiah, bayar harus pakai mata uang asing USD," kata Chandra Lie kepada kumparan.
Industri penerbangan melalui INACA sudah berbicara kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk meminta izin kenaikan tarif batas bawah.
Kenaikan tarif angkutan udara juga pernah terjadi saat menguatnya harga avtur di 2014. Saat itu, harga minyak dunia (jenis Brent oil) menyentuh angka USD 98,97 per barel. Maskapai Indonesia di 2014 kemudian menerapkan tarif tambahan sebagai kompensasi meningkatnya biaya operasional.
ADVERTISEMENT