Tak Hanya Prabowo, Sri Mulyani Juga Pernah Soroti Utang PLN

15 Januari 2019 11:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prabowo Subianto (kanan) dan Sandiaga Uno (kiri) saat berada di JCC dalam acara pidato kebangsaan Prabowo, Senayan, Jakarta, pada Senin (14/1). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo Subianto (kanan) dan Sandiaga Uno (kiri) saat berada di JCC dalam acara pidato kebangsaan Prabowo, Senayan, Jakarta, pada Senin (14/1). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Utang PLN kembali mendapat sorotan setelah disebut mengerikan oleh Calon Presiden RI Prabowo Subianto dalam pidato kebangsaan di JCC Senayan, Jakarta, Senin (14/1) malam.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, pada Oktober 2017 lalu utang PLN juga menjadi isu hangat akibat beredarnya bocoran surat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Dalam surat tanggal 19 September 2017 itu, Sri Mulyani menyoroti risiko keuangan yang dihadapi PLN.
Sri Mulyani khawatir PLN gagal bayar utang karena pertumbuhan penjualan listrik yang rendah, tarif listrik tidak boleh naik, subsidi listrik turun, sementara PLN harus menggenjot program 35.000 MW yang membutuhkan investasi besar.
Melalui surat tersebut, Sri Mulyani mengingatkan agar debt service coverage ratio (DSR ratio) PLN tidak kurang dari 1,5. DSR ratio adalah perbandingan antara utang pokok plus angsuran bunga yang harus dibayar dengan penerimaan.
ADVERTISEMENT
Sebagai gambaran, misalkan cicilan utang dan bunga yang harus dibayar dalam sebulan Rp 100 miliar, maka pendapatan pada periode yang sama harus 1,5 kali lipatnya alias Rp 150 miliar. Masalahnya, rasio DSR PLN saat itu hanya antara 1 hingga 1,2.
Surat Sri Mulyani (Foto: Istimer=wa)
zoom-in-whitePerbesar
Surat Sri Mulyani (Foto: Istimer=wa)
Meski demikian, Direktur Utama PLN Sofyan Basir menyatakan bahwa keuangan PLN masih kuat walaupun rasio DSR di bawah 1,5. Katanya, PLN tak pernah gagal membayar utang, ruang untuk mengambil utang juga masih sangat besar.
Menurutnya hanya Asian Development Bank (ADB) dan World Bank saja yang menjadikan rasio DSR 1,5 sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman.
"Itu ketentuan yang diberikan dari kreditur seperti ADB. Kewajiban kita enggak pernah default, cash kita kuat. Kita punya plafon stand by loan di perbankan Rp 30 triliun, cukup sekali, enggak pernah full dipakai. Kita bisa pinjam sampai Rp 2.000 triliun sekarang ini," paparnya kepada para redaktur media massa, 27 September 2017.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, pinjaman PLN ke ADB dan World Bank yang mensyaratkan rasio DSR 1,5 hanya kurang dari Rp 10 triliun. Klaimnya, utang PLN tak membahayakan keuangan negara.
"Yang pakai syarat DSR hanya ADB dan Bank Dunia. Utang ke mereka rendah. Utang yang banyak ke bank lokal, seratusan triliun rupiah, enggak ada yang pakai syarat semacam ini. Saya juga kaget kok. Enggak ada risiko terhadap keuangan negara. Enggak ada kreditur yang mempersoalkan, rating kita terbaik," tegas Sofyan.
Bagaimana sebenarnya kondisi keuangan PLN?
Dikutip kumparan dari laporan keuangan PLN untuk periode sembilan bulan yang berakhir 30 September 2018 dan 2017, pada kuartal III 2018 total utang PLN mencapai Rp 543,42 triliun. Utang ini terdiri dari utang jangka panjang sebesar Rp 382,3 triliun dan utang jangka pendek Rp 161,12 triliun.
ADVERTISEMENT
Sementara total aset PLN mencapai 1.386 triliun dan ekuitas 842,99 triliun. Sedangkan pendapatan usaha PLN di Januari-September 2018 sebesar Rp 200,91 triliun.
Ilustrasi penyambungan listrik. (Foto: Dok. PLN)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penyambungan listrik. (Foto: Dok. PLN)
Adapun jumlah beban usaha PLN mencapai Rp 224 triliun. Dengan pendapatan usaha Rp 200,91 triliun dan beban usaha Rp 224 triliun, rugi usaha sebelum subsidi mencapai Rp 23,08 triliun.
Untuk menutup rugi usaha Rp 23,08 triliun, pemerintah sudah memberi subsidi Rp 39,77 triliun sehingga PLN mencetak laba usaha setelah subsidi Rp 16,69 triliun.
Ditambah penghasilan keuangan Rp 585,9 miliar dan penghasilan lain-lain Rp 8,52 triliun, kemudian dikurangi beban keuangan Rp 16,18 triliun, PLN mendapat laba sebelum selisih kurs dan pajak Rp 9,61 triliun.
ADVERTISEMENT
Namun, laba sebelum selisih kurs dan pajak tersebut tergerus oleh kerugian kurs mata uang asing sebesar Rp 17,32 triliun. Kerugian kurs ini timbul karena pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Dampaknya, PLN mengalami rugi sebelum pajak sebesar Rp 7,7 triliun. Ditambah beban pajak sebesar Rp 10,7 triliun, rugi tahun berjalan (Januari-September 2018) PLN mencapai Rp 18,4 triliun.