Tanggapan SKK Migas soal Piutang Rp 1,9 Triliun yang Diklaim Lapindo

27 Juni 2019 18:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah petugas melihat tanggul penahan lumpur Porong yang ambles di titik 67 Gempol Sari, Tanggulangin, Sidoarjo. Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah petugas melihat tanggul penahan lumpur Porong yang ambles di titik 67 Gempol Sari, Tanggulangin, Sidoarjo. Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
ADVERTISEMENT
Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya mengakui memiliki utang ke pemerintah mencapai Rp 773,38 miliar. Pada 2015, Lapindo meminta dana talangan ke pemerintah untuk pembayaran ganti rugi ke masyarakat yang terkena dampak lumpur panas. Lapindo berjanji untuk mencicilnya sampai empat tahun, yang mana jatuh temponya adalah akhir Juni ini.
ADVERTISEMENT
Tapi mereka juga mengklaim memiliki piutang ke pemerintah sebesar USD 138,23 juta atau setara Rp 1,9 triliun (kurs Rp 14.200).
Perusahaan tersebut pun bersedia mengganti utang Rp 773,38 miliar ke negara, namun dengan persyaratan. Mereka ingin melalui mekanisme Perjumpaan Utang, yakni menjumpakan piutang kepada pemerintah sebesar Rp 1,9 triliun dengan pinjaman dana antisipasi Rp 773.38 miliar alias 'tukar guling' utang dengan piutang.
Lapindo mengklaim piutang tersebut berasal dari dana talangan kepada pemerintah atas penanggulangan luapan lumpur Sidoarjo yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya selama periode 29 Mei 2006 hingga 31 Juli 2007.
Biaya untuk penanggulangan luapan lumpur itu dimasukkan sebagai cost recovery, yakni pengembalian atas biaya operasi yang dikeluarkan Lapindo sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk kegiatan hulu migas.
ADVERTISEMENT
Terkait hal ini, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengaku sudah melakukan verifikasi. Tapi, cost recovery yang wajib diganti oleh negara masih harus melalui proses audit lebih lanjut.
Audit dilakukan untuk memeriksa, biaya-biaya mana saja yang memang wajib diganti negara dan mana yang harusnya tak ditanggung negara. Cost recovery akan dibayar dari hasil produksi migas Wilayah Kerja Brantas yang dikelola Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya.
"Unrecover cost-nya sudah diverifikasi untuk kontrak eksisting, namun tetap subject to be audit," kata Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Wisnu Prabawa Taher, kepada kumparan, Kamis (27/6).
Sebelumnya diberitakan, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatawarta mengatakan, piutang untuk dana talangan dan cost recovery tersebut adalah dua isu yang berbeda. Menurutnya, cost recovery muncul apabila wilayah kerja menghasilkan produksi migas komersial dan menyumbang penerimaan kepada negara.
ADVERTISEMENT
"Jadi ada dua isu. Utang dari pemerintah ini untuk masyarakat, tapi di sisi lain mereka mencoba klaim cost recovery ke SKK Migas," ujar Isa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, pada Pasal 7 disebutkan bahwa kontraktor yang mendapatkan kembali biaya operasi adalah yang sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
Pasal 19 beleid tersebut juga menegaskan, pembebanan biaya kerja tersebut ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja. Sementara itu, selama ini Lapindo sendiri belum melakukan proses produksi dan belum menyumbang penerimaan kepada negara selama ini.
ADVERTISEMENT