Transaksi Elektronik Marak, Bagaimana Nasib Bisnis Cetak Uang Peruri?

23 Agustus 2018 18:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Uang Rupiah Tanpa Garuda (Foto: Instagram dan AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Uang Rupiah Tanpa Garuda (Foto: Instagram dan AFP)
ADVERTISEMENT
Hari yang ditunggu yakni masa gajian, tiba. Setelah mendapat notifikasi melalui SMS banking bahwa uang gajinya telah masuk rekening, membuka aplikasi mobile banking menjadi ritual bulanan Indri Lestari.
ADVERTISEMENT
Karyawan sebuah perusahaan konsultan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan itu, membereskan berbagai urusan keuangan bulanannya melalui aplikasi perbankan di ponselnya. Mulai dari transfer pembayaran tagihan kartu kredit, tagihan telepon seluler, pembayaran listrik dan tv berlanggan, serta aneka kebutuhan rumah lainnya.
Tak lupa dia juga mengisi saldo aplikasi pembayaran digital, yang biasa digunakan untuk transportasi online. “Kadang (dari aplikasi itu) dipakai juga untuk beli kebutuhan-kebutuhan lain. Lumayan, kalau bayar pakai aplikasi suka banyak promonya,” ujar Indri berdalih.
Dari gajinya itu, hanya sebagian kecil saja yang dia ambil tunai lewat mesin ATM. Dompetnya tak lagi harus berisi uang banyak, karena membayar aneka kebutuhan sudah bisa dilakukan secara elektronik. “Bisa dibilang, udah jarang lihat uang,” imbuhnya sambil tertawa.
ADVERTISEMENT
“Lagian simpan uang banyak-banyak di dompet buat apa? Takut kecopetan,” papar ibu yang tengah mengandung anak pertamanya itu.
Aplikasi Non tunai Alipay. (Foto: Feby Dwi Sutianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aplikasi Non tunai Alipay. (Foto: Feby Dwi Sutianto/kumparan)
Cara Indri bertransaksi dan mengelola keuangannya, mungkin sudah jadi kelaziman masyarakat perkotaan. Alasan untuk bertransaksi nontunai seperti yang diungkapkan Indri, juga jadi motif kebanyakan orang untuk tak memegang uang banyak-banyak.
Mulai dari lebih praktis dan efisien, juga lebih aman. Hal itu jugalah yang mendorong Bank Indonesia, mencanangkan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT), sejak empat tahun lalu. Selain menjadi kebutuhan yang tak bisa dihindari, seperti saat membayar tol misalnya, bertransaksi non-tunai kini juga sudah menjadi gaya hidup.
Perum Peruri, satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat mandat pencetakan uang, menyadari bahwa digitalisasi pembayaran di Indonesia cepat atau lambat akan menggerus lini bisnis utamanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai akibat dari pembayaran tol dengan uang elektronik misalnya, mulai terjadi penurunan order pencetakan uang rupiah dalam bentuk logam, meski angkanya tak signifikan yakni sekitar 0,3 persen pada tahun ini.
Percetakan Uang Republik Indonesia (Foto: Instagram @fyko_pratama)
zoom-in-whitePerbesar
Percetakan Uang Republik Indonesia (Foto: Instagram @fyko_pratama)
“Salah satu pendorong penurunan pencetakan uang logam rupiah sejalan dengan GNNT, menurun rata-rata 0,3 persen,” kata Head of Corporate Secretary Peruri, Eddy Kurnia kepada kumparan, Jumat (10/8). Selama ini, uang logam begitu dibutuhkan dalam bertransaksi di jalan tol sebagai uang kembalian.
Meski demikian, Eddy menegaskan, penurunan pencetakan uang logam rupiah hanya berdampak kecil terhadap pendapatan perusahaan. Sebab kontribusi dari pencetakan uang logam rupiah hanya sekitar 5-7,5 persen dari total pendapatan pencetakan uang.
“Sedang pertumbuhan rata-rata per tahun pencetakan uang rupiah relatif stabil, tapi pendapatan yang diperoleh dari pencetakan ini masih tumbuh 29 persen,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang diterima kumparan, jumlah uang kertas yang diproduksi Perum Peruri sebanyak 7,09 miliar bilyet di 2014. Kemudian di 2015, jumlah uang yang dicetak naik menjadi 9,29 miliar bilyet. Namun di 2016, jumlah uang yang diproduksi turun menjadi 6,16 miliar bilyet. Sementara untuk 2017, jumlah uang cetak dalam laporan tahunan masih difinalisasi.
Dari data di atas, terlihat produksi uang kertas di 2015 ke 2016 turun sebanyak 33,71 persen. Akan tetapi penurunan itu bukan dikarenakan pesanan pencetakan uang menurun, melainkan karena restrukturisasi internal BI di bidang procurement yang menyebabkan terlambatnya penyediaan bahan baku kertas uang.
Petugas sedang menata uang di Bank Indonesia (Foto: Aditya Noviansyah)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas sedang menata uang di Bank Indonesia (Foto: Aditya Noviansyah)
Sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 32/2006, Peruri hanya mendapatkan penugasan untuk mencetak uang rupiah, sedangkan penyediaan bahan baku kertas merupakan kewenangan BI. Di tahun 2017, dia mengklaim jumlah uang yang dicetak kembali normal.
ADVERTISEMENT
“Populasi penduduk Indonesia saat ini mencapai 266 juta jiwa lebih, tersebar di seluruh pelosok negeri. Artinya penggunaan uang tunai di daerah, pelosok maupun perbatasan masih sangat tinggi,” paparnya.
Mengutip laporan keuangan Perum Peruri, pendapatan perusahaan di tahun 2014 mencapai Rp 2,31 triliun. Sementara di 2015, pendapatan naik menjadi Rp 3,02 triliun. Sedangkan di 2016 turun menjadi Rp 2,41 triliun. Untuk 2017, pendapatan perusahaan naik menjadi Rp 3,48 triliun.