Tumpang Tindih Aturan Bikin Nasib Adaro Cs Menggantung

10 Juli 2019 19:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Area tambang batu bara Adaro, Kalimantan Selatan. Foto: Michael Agustinus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Area tambang batu bara Adaro, Kalimantan Selatan. Foto: Michael Agustinus/kumparan
ADVERTISEMENT
Delapan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) Generasi I semestinya was-was. Sebab ada tumpang tindih aturan soal perpanjangan operasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, perpanjangan pemegang PKP2B akan diberikan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Namun mengacu pada Pasal 75 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara‎, wilayah pertambangan eks PKP2B harus dikembalikan kepada negara, kemudian wilayah tersebut diprioritaskan untuk diberikan pada BUMN.
Pun berdasarkan Pasal 75 ayat 4 UU itu, diatur pula bahwa badan usaha swasta hanya dapat memperoleh IUPK melalui lelang.
Di sisi lain, dalam Pasal 30 PKP2B yang telah ada sebelum UU Minerba hadir, pemegang PKP2B memiliki hak untuk memperoleh perpanjangan 20 tahun tanpa lelang. Pasal 169 di UU Minerba juga telah menjamin bahwa PKP2B yang telah ada sebelum diberlakukannya UU Minerba, tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak, termasuk perpanjangannya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Menteri ESDM Ignasius Jonan tengah mengajukan revisi keenam PP Nomor 23 Tahun 2010 ke Sekretariat Negara. Poin penting revisi itu‎ yakni pemegang PKP2B bisa memperoleh perpanjangan 20 tahun dalam bentuk IUPK tanpa melalui lelang, dan luas wilayah pertambangan tak dikurangi.
Akan tetapi, revisi itu ditentang Menteri BUMN Rini Soemarno lantaran dinilai bertentangan dengan UU Minerba. Pun berdasarkan Surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditegaskan bahwa revisi PP Nomor 23 Tahun 2010 wajib mengacu pada UU Minerba. Hingga kini, revisi PP itu masih belum ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Tidak hanya Tanito Harum, tapi Adaro, Arutmin dan perusahaan yang mau habis izinnya harusnya risau. Kalau tidak ada perubahan ya tidak ada kepastian hukum perpanjangan," kata Pakar Hukum Pertambangan, Ahmad Redi, saat ditemui di Kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (10/7).
ADVERTISEMENT
Selain Tanito Harum, terdapat 7 perusahaan lain yang akan berakhir PKP2B-nya pada rentang 2019-2025, yakni Arutmin Indonesia pada 2020, Kendilo Coal Indonesia pada 2021, Kaltim Prima Coal pada 2021, Multi Harapan Utama pada 2022, Adaro Indonesia pada 2022, Kideco Jaya Agung pada 2023, dan Berau Coal pada 2025.
Ketidakpastian ini membuat perusahaan-perusahaan tersebut bakal menahan investasinya. Dampaknya, produksi batu bara nasional bisa terganggu. Sementara batu bara adalah komoditas ekspor terbesar Indonesia saat ini. Imbasnya masih banyak lagi, mulai dari ke penerimaan negara, pasokan bahan bakar untuk PLN, tenaga kerja di sektor pertambangan, dan sebagainya.
Sekitar separuh dari produksi batu bara nasional berasal dari perusahaan pemegang PKP2B Generasi I. Sebagai gambaran, menurut data Kementerian ESDM, Kaltim Prima Coal memproduksi 60 juta ton batu bara pada 2017, Adaro 50 juta ton, Berau Coal 33 juta ton, Kideco Jaya Agung 32 juta ton, Arutmin 28,8 juta ton. Pada 2017, total produksi nasional sebesar 461 juta ton. Kelima perusahaan itu masuk dalam daftar 10 besar produsen batu bara terbesar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Harusnya sih risau. Tidak hanya mereka (perusahaan pertambangan) yang risau, tapi PLN juga risau. Pasokan batu bara paling besar dari 7 perusahaan besar ini. Kepentingan nasional juga risau untuk kelistrikan," imbuhnya.
‎Redi pun menyarankan agar Jokowi membuat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk menengahi dualisme aturan tersebut. Atau cara lain untuk menggugurkan salah satu poin UU Minerba yakni dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Karena proses pembuatan UU di DPR itu lama, sementara banyak izin yang sudah akan habis. Saya kira itu yang harus dipertimbangkan oleh istana," tegas Redi.