Urus Sertifikat Halal, Pengusaha Keluhkan Mahalnya Biaya Dinas Auditor

19 Desember 2018 8:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ilmuwan di laboratorium. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ilmuwan di laboratorium. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pengusaha mengeluhkan mahalnya biaya dinas perjalanan auditor sertifikasi halal yang harus mereka tanggung. Padahal, pemerintah bakal mewajibkan semua produk yang beredar di wilayah Indonesia untuk memiliki sertifikat halal mulai Oktober 2019 mendatang.
ADVERTISEMENT
Bagi pengusaha yang produknya tak bersertifikat halal sesuai undang-undang No. 33 tahun 2014, nantinya akan diberikan sanksi hukum. Untuk menghindari sanksi tersebut, kini pengusaha pun berbondong-bondong mendaftar untuk mendapat sertifikasi halal.
Meski pemerintah telah memberi kemudahan biaya administratif, namun biaya non-administratif lainnya masih dikeluhkan pengusaha.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Rachmat Hidayat mengatakan, biaya non-administrasi justru dirasakan yang paling memberatkan bagi pengusaha.
“Kalau administrasi saja sertifikasi halal itu kan sebenarnya masih bisa dijangkau saya rasa ya. Antara satu sampai beberapa juta (rupiah) gitu ya, tergantung tipe produknya. Tapi kan kita bicara yang non-administratif. Misalkan biaya auditornya. Auditornya perlu melakukan perjalanan, perlu menginap dan auditornya itu minimum dua orang biasanya sih tiga,” katanya kepada kumparan, Selasa (18/12).
Ilustrasi produk halal. (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi produk halal. (Foto: Munady)
Rachmat melanjutkan, proses sertifikasi halal membutuhkan alur yang panjang mulai dari pengecekan bahan baku hingga audit secara keseluruhan hingga dinyatakan layak dicap halal. Masalahnya, semua biaya itu ditanggung oleh pengusaha.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan, misalnya saja pengusaha memiliki usaha yang bahan baku atau proses pengolahannya ada di luar negeri. Maka mau tak mau pengusaha juga harus mem-back up semua akomodasi auditor itu sampai ke luar negeri.
“Misalkan dia menggunakan bahan baku dari negara di ujung dunia sana dari Norwegia, misalkan hipotesis belum ada sertifikat halalnya dan belum ada mutual recognition agreement-nya berarti si auditor harus terbang ke Norwegia. Tanya saja tiketnya perusahaan penerbangan, sama biaya transportasi biaya akomodasinya,” terangnya.
Di sisi lain, kata dia, tak semua pengusaha yang wajib bersertifikat halal itu berskala besar. Maka selanjutnya, hal yang jadi kekhawatiran pihaknya adalah kelak sertifikat halal tak bisa didapat oleh semua pengusaha dari segala segmen.
ADVERTISEMENT
“Artinya orang tanpa sertifikasi halal (karena terkendala biaya pengurusan sertifikat halal) dia enggak boleh berbisnis. Siapa yang siap? Hanya perusahaan-perusahaan besar saja atau menengah. Karena mereka (pengusaha kecil) tidak boleh mengedarkan menjual barang dan sebagainya yang belum sertifikat halal,” ujarnya.
Rachmat lantas berharap agar pemerintah lebih bijak dan bisa turun tangan untuk membantu pengusaha sesuai kemampuannya.
Makanan berlogo halal. (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Makanan berlogo halal. (Foto: Flickr)
”Tidak akan terjadi kalau pemerintah tidak memback up dengan pendanaannya,” tegasnya.
Ia pun menyarankan pemerintah perlu juga mempertimbangkan opsi penerapan sertifikat halal secara sukarela (yang berkenan saja). Artinya, tak memukul rata penerapan sertifikat halal pada semua produk.
Padahal menurutnya, negara-negara lain masih boleh mengedarkan produk di negaranya meski tanpa dilengkapi sertifikat halal. Sementara Indonesia jika UU jaminan produk halal diterapkan bakal tak bisa sama sekali.
ADVERTISEMENT
“Artinya terjadi persaingan yang tidak simetris. Perusahaan di Indonesia tanpa sertifikasi halal dia enggak bisa berusaha, sementara perusahaan di sana dia cukup melakukan sertifikasi usaha di Indonesia (sehingga pengusaha Indonesia bisa kalah saing dengan pengusaha luar yang ke Indonesia),” tutupnya.