Usai Caplok Freeport, Inalum Berencana Bangun Smelter di Papua

2 Oktober 2018 10:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Freeport (Foto: OLIVIA RONDONUWU / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Freeport (Foto: OLIVIA RONDONUWU / AFP)
ADVERTISEMENT
Penandatanganan Sales Purchase Agreement (SPA) antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport McMoRan Inc (FCX), dan PT Rio Tinto Indonesia pada Kamis (27/9) lalu menjadi tonggak sejarah baru karena 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) menjadi milik Inalum.
ADVERTISEMENT
Setelah menguasai PTFI, Inalum berencana mengembangkan industri pertambangan dari hulu sampai hilir di Timika, Papua.
Dalam wawancara khusus dengan kumparan pada Jumat (28/9) lalu, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, hilirisasi pertambangan di Papua sangat memungkinkan karena adanya sumber energi yang besar di dekat Tambang Grasberg, yaitu Sungai Urumuka.
"Ini juga bisa dijadikan pusat hiirisasi pertambangan Indonesia karena di sana ada sungai. Smelter itu butuhnya cuma dua, yaitu ore (bijih tembaga) dan listrik. Ore tembaga sudah ada di situ. Jadi kalau kita mau jual tembaga, kalau mau bikin produk turunan jadi copper block, atau copper table yang dibutuhkan mobil listrik, itu bisa dibangun di sana. Murah karena barangnya ada di sana dan sumber energinya besar," papar Budi.
ADVERTISEMENT
Kata Budi, sudah ada produsen listrik swasta yang mau membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas 500 MW di Sungai Urumuka. Listrik tersebut cukup untuk pabrik pengolahan mineral.
Dengan listrik murah dari PLTA, biaya pemurnian tembaga akan jadi sangat efisien. PLTA ini rencananya dibangun sesudah ada kepastian perpanjangan izin operasi untuk PTFI.
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin
 (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
"Saya baru tahu, ada pengusaha bilang sudah bikin FS (feasibilty study) di Urumuka di Timika, bisa bangun 2.000 Megawatt (MW). Mereka sudah siap FS untuk 500 MW dan mau jual listriknya ke Freeport karena Freeport masih masih pakai pembangkit diesel dan batu bara. Kalau pakai PLTA, turun biayanya karena lebih murah dan lebih ramah lingkungan. Tapi Freeport belum mau beli karena belum dapat perpanjangan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Budi optimistis bisa menjadikan Timika sebagai pusat hilirisasi pertambangan Indonesia dan dunia. "Saya di Inalum pakai listrik dari hydro, cuma USD 1,7 sen per kWh. Batu bara paling murah USD 4,5 sen per kWh. Gas bisa USD 9 sen per kWh, diesel bisa USD 12 sen per kWh. Kalau listriknya cuma USD 1,7 sen per kWh, mati kompetitor kita. Ore di situ, sumber energinya di situ. Jadi ini bisa jadi pusat hilirisasi pertambangan di Indonesia dan dunia," tutupnya.