Walhi Tolak Zonasi Pertambangan di Laut Bangka Belitung

19 Oktober 2018 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bekas tambang timah di pesisir pantai Pangkalpinang, Bangka Belitung. (Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bekas tambang timah di pesisir pantai Pangkalpinang, Bangka Belitung. (Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan)
ADVERTISEMENT
Penyusunan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini memasuki konsultasi teknis di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Kamis, 18 Oktober 2018.
ADVERTISEMENT
Pembahasan tersebut melibatkan lintas kementrian dan Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam rancangan peraturan daerah RZWP3K Babel masih disebutkan adanya zonasi pertambangan laut di Kabupaten Bangka Barat; Kota Pangkalpinang; Kabupaten Bangka; Kabupaten Bangka Tengah; Kabupaten Bangka Selatan, sebagaimana disebutkan di pasal 23,24,25 dan 26. Lokasi tambang laut seperti disebutkan dalam draft RZWP3K mencapai 216 lokasi dengan total luasan mencapai 15.329 hektar.
"Hal ini menunjukkan bahwa draft RZWP3K Babel sangat pro kepentingan tambang laut meskipun dampak buruknya terhadap hancurnya lingkungan hidup dan ekosistem laut sudah dirasakan oleh nelayan dan masyarakat pesisir," kata Manager Advokasi WALHI Kepulauan Bangka Belitung, Zulpriadi, dalam keterangan tertulis, Jumat (19/10).
WALHI Kepulauan Bangka Belitung menilai RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sangat merugikan kepentingan masyarakat pesisir dan nelayan serta tidak merujuk pada semangat perlindungan masyarakat lokal dan nelayan pesisir sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengolahan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan UU no 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.
ADVERTISEMENT
Dalam UU tersebut jelas bahwa masyarakat pesisir dan nelayan mempunyai prioritas utama dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir dan ruang laut untuk pemenuhan kebutuhan sehari hari dan keberlangsungan hidup mereka.
"Dalam dokumen Raperda RZWP3K terdapat kelemahan dalam perlindungan masyarakat Pesisir dan nelayan, yaitu pada pasal Pasal 56 tentang Pengaturan pemanfaatan ruang dalam zona pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a angka 3 meliputi: Kegiatan yang boleh dilakukan di dalam zona pertambangan terdiri dari: 1. Perikanan tangkap; 2. Perikanan budidaya; 3. Alur laut, termasuk zona penyangganya; dan 4. Pariwisata," papar Zulpriadi.
Ilustrasi Timah (Foto: Instagram/@officialtimah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Timah (Foto: Instagram/@officialtimah)
WALHI Kepulauan Babel menilai masyarakat pesisir dan nelayan sangat dirugikan karena pertambangan dapat leluasa mengakses dan mengekploitasi ruang hidup dan sumber kehidupan masyarakat pesisir, yang tersisa hanyalah kehancuran yang ditunggalkan oleh aktivitas pertambangan.
ADVERTISEMENT
"Aktivitas pertambangan di laut merupakan ancaman nyata bagi ekologi, secara langsung menghancurkan ekosistem laut, merampas ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat pesisr dan nelayan. WALHI Babel juga menegaskan RZWP3K Provinsi Kepulauan Babel harus steril dan bebas dari IUP Laut. Perda zonasi pesisir dan pulau pulau kecil harus mengakomodir masyarakat pesisir dan nelayan tradisonal bukan mengakomodir korporasi yang melakukan penambangan laut dan merusak lingkungan," tegasnya.