Waspadai Ancaman Resesi AS, Apa yang Perlu Dilakukan Indonesia?

20 Agustus 2019 11:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dana asing. Foto: Pixabay/geralt
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dana asing. Foto: Pixabay/geralt
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat (AS) saat ini sedang menghadapi ancaman resesi atau mini krisis. Kondisi itu tak lepas dari imbas perang dagang AS-China yang kemudian berbuntut saling mengenakan tarif atas produk impor. Tak hanya menyangkut kedua negara itu, perang dagang itu lantas berdampak secara global. Termasuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, transmisi ancaman resesi AS ke Indonesia akan melalui dua jalur. Yang paling cepat lewat jalur pasar keuangan.
Semakin terintegrasinya pasar saham dan surat utang Indonesia dengan pasar global, menurutnya berarti transmisi resesi kali ini akan jauh lebih cepat menjalar dibandingkan 21 tahun lalu atau saat krisis Asia 1998.
Apalagi, banyak korporasi yang agresif terbitkan global bond dalam beberapa tahun terakhir. Porsi asing di surat utang negara (SUN) yang melebihi 46 persen juga berisiko ke stabilitas moneter.
"Investor akan panic sell off dan keluar dari negara berkembang. Memicu jatuhnya nilai tukar rupiah dan anjloknya IHSG. Kondisi ini juga berpotensi menaikkan kembali suku bunga acuan BI untuk menahan arus modal keluar," ujar Bhima ketika dihubungi kumparan, Selasa (20/8).
ADVERTISEMENT
Bhima melanjutkan, jalur transmisi resesi AS ke Indonesia yang lebih lambat kemudian ada di sektor perdagangan. Meski terdampak, Indonesia tidak akan langsung mengalami penurunan ekspor secara drastis seperti Singapura atau Vietnam.
Mengutip World Bank tahun 2018, porsi ekspor terhadap PDB Indonesia hanya 17,6 persen. Sedangkan, Singapura porsi ekspornya 76,4 persen dan Vietnam 95,4 persen.
Melihat kondisi itu, Bhima memprediksikan target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di tahun 2020 nampaknya mustahil tercapai.
"Ya mungkin akan slowdown dibawah 5 persen kalau sampai ada resesi di AS," kata dia.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Kurs rupiah pun, menurutnya bakal berisiko menembus level Rp 15.000 lagi apabila resesi AS terjadi. Pasalnya, investor mulai melakukan antisipasi dengan mengurangi kepemilikan di satu bulan terakhir, dana asing mencatatkan penjualan bersih Rp 9,16 triliun di pasar modal Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Arus dana asing di FDI atau penanaman modal langsung juga melambat. Sekarang investor bermain aman, pegang emas dan surat utang jangka panjang," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam berpendapat perang dagang tak dipungkiri memang sudah berdampak. Namun, AS tak serta merta bakal segera resesi.
"Perang dagang sudah berdampak tapi belum menunjukkan bahwa AS menunjukkan arah bahwasannya mereka mau resesi," tegasnya.
Meski begitu, ia mewanti-wanti Indonesia tetap perlu waspada. Utamanya, terkait dampak kebijakan the Fed yang merespons perang dagang AS-China itu.
"Kondisi di AS akan berdampak ke global, tapi yang lebih dampaknya lebih terasa dari kebijakan The Fed, kebijakan trump tadi perang dagang itu belum terasa di AS, tapi sudah terasa di global, makanya merevisi pertumbuhan ekonomi dari 3,9 persen, ke 3,5 persen dan 3,2 persen itu adalah dampak dari perang dagang," papar dia.
ADVERTISEMENT
Adapun dampak yang akan dialami secara global akibat itu ialah menurunkan permintaan global. Baik itu harga global hingga volume perdagangan global yang artinya tingkat output global turun.
Bukan saja AS-China, Indonesia pun juga terkena imbasnya. Yaitu, lebih sulit meningkatkan ekspor utamanya yang berbentuk komoditas.
"Ekspor kita kan utamanya dalam bentuk komoditas, pertambangan, perkebunan, CPO, batu bara, produk andalannya kita. Di tengah perlambatan ekonomi global, harga-harga komoditas itu akan sulit naik, akan tetap rendah seperti saat ini," terangnya.
Implikasinya, Piter memprediksi defisit neraca perdagangan Indonesia masih akan berlanjut bahkan bisa melebar di kisaran 3 persen. Begitu pun dengan rupiah, ia menilai masih akan tertekan sehingga mengalami pelemahan akibat melebarnya transaksi berjalan.
ADVERTISEMENT
"Satu-satunya harapan kita ya aliran modal asing. Kalau aliran modal asing masih besar, kita relatif aman," kata dia.
Piter Abdullah. Foto: Facebook/ @Piter Abdullah
Lantas, langkah-langkah apa yang perlu dilakukan Indonesia?
Piter berpendapat pemerintah perlu memfokuskan cara untuk meningkatkan permintaan domestik agar perekonomian tetap terjaga. Sebab, Indonesia punya pasar domestik yang besar dan cukup berpengaruh.
"Good news-nya adalah, sebetulnya perekonomian kita sebetulnya tak banyak bergantung pada ekspor, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi itu hanya sekitar 10-15 persen net ekspor. Nah artinya, kita masih punya peluang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi kita," tegasnya.
Tak hanya bertahan, Piter menekankan pemerintah juga mesti lebih masif dalam ekspansi fiskal ataupun moneter.
Ia menyebut, ekspansi fiskal itu paling utama ada di tangan Kementerian Keuangan. Nantinya, lantas direalisasikan hingga kementerian/lembaga terkait yang berwenang atas realisasi anggaran.
ADVERTISEMENT
"Bentuk ekspansinya ialah menyediakan anggaran yang ekspansif. Belanja yang lebih besar, lalu realisasi belanja itu kan ada di kementerian PUPR, Perhubungan, dan macam-macam. Mereka diberi anggaran melakukan belanja baik modal maupun non modal," kata Piter.
Selanjutnya, ialah pelonggaran pajak. Piter menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan upaya untuk menurunkan pajak di tengah situasi ini. Sebab, itu akan mendorong berbagai sektor modal dan produksi untuk menggenjot kinerjanya.
"Satu lagi, moneter, walaupun ini bukan domainnya pemerintah, ini adalah otoritas BI, tapi diharapkan mengimbangi ekspansi fiskal dan ekspansi moneter. Itu sudah dilakukan BI sejak awal tahun, tapi diharapkan BI lebih agresif," tandasnya.