YLKI: Ironi, Pajak Rokok untuk Biayai BPJS Kesehatan

20 September 2018 15:35 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua YLKI, Tulus Abadi (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua YLKI, Tulus Abadi (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti rencana penggunaan pajak rokok untuk menambal defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Rencananya, penerimaan BPJS Kesehatan dari pajak rokok diperkirakan mencapai Rp 5,51 triliun atau setara 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima daerah. Selama ini, pemanfaatan pajak rokok minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di daerah.
ADVERTISEMENT
Total prediksi defisit BPJS Kesehatan pada tahun 2018, termasuk di dalamnya pengalihan (carry over) defisit dari 2017, mencapai Rp 10,98 triliun.
Atas defisit ini, pemerintah berupaya menyelamatkan BPJS Kesehatan dengan menyuntiknya pajak rokok yang sebelumnya menjadi jatah daerah.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai pemotongan dan pengalokasian pajak rokok untuk BPJS masih bisa dimengerti. Sebab rokok sebagai barang yang terkena cukai, sebagian dana cukainya memang layak dikembalikan untuk penanggulangan dan pengobatan penyakit akibat dampak negatif rokok.
"Namun, hal ini tidak bisa dilakukan secara serampangan, karena alih-alih akan menimbulkan sejumlah ironi yang justru kontra produktif bagi masyarakat dan BPJS Kesehatan itu sendiri," tulis Tulus dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/9). 
ADVERTISEMENT
Tulus menyebut ironi dibalik kebijakan menyuntik BPJS Kesehatan dengan cukai rokok. Pertama, mengobati orang sakit tetapi dengan cara mengeksploitasi warganya untuk tambah sakit. Sebab, dengan menggali dana cukai rokok untuk menutup BPJS Kesehatan, sama artinya pemerintah menyuruh rakyatnya merokok.
Ilustrasi kartu BPJS dan rokok. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kartu BPJS dan rokok. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
"Sama artinya pemerintah mendorong agar rakyatnya sakit, karena konsumsi rokok," tambahnya.
Kedua, pajak rokok untuk menambal defisit bisa menimbulkan paradigma keliru di kalangan masyarakat, bahwa aktivitas merokok diasumsikan sebagai bentuk bantuan pemerintah dan BPJS Kesehatan agar tidak defisit.
"Para perokok merasa sebagai pahlawan tanda jasa. Bahkan Ketua KNPI pun mengajak masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah. Sebuah ajakan yang sesat," sebutnya.
Ketiga, Tulus menyampaikan ironi yang paling tragis adalah manakala upaya tersebut dibarengi dengan menaikkan produksi rokok. Lanjut Tulus, hal ini sama saja berharap agar angka kesakitan masyarakat akibat dampak negatif rokok semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Padahal, data membuktikan bahwa salah satu jenis penyakit yang dominan diderita pesien BPJS Kesehatan adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi rokok. Oleh karena itu, Tulus berharap kebijakan menyuntik BPJS Kesehatan dengan cukai rokok tidak menjadi kebijakan yang menyesatkan bahkan kontra produktif.
YLKI, ungkap Tulus, meminta pemerintah untuk menghentikan upaya menaikkan produksi rokok, khususnya dari industri rokok berskala besar. Pada 2018, produksi rokok nasional diperkirakan mencapai 321,9 miliar batang.
Kedua, pemerintah harus menaikkan cukai rokok secara signifikan. Ruang untuk menaikkan cukai rokok masih terbuka lebar, hingga mencapai 57 persen. Sementara cukai rokok saat ini baru mencapai rata-rata 40-an persen. Dengan menaikkan cukai rokok akan menaikkan pendapatan pemerintah di satu sisi, dan di sisi lain akan menurunkan jumlah perokok.
ADVERTISEMENT
"Berapapun harga rokok akan dicari masyarakat, karena efek adiksi dari nikotin yang ada pada rokok. Jika Presiden Jokowi tidak melakukan hal tersebut, maka upaya untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dengan cukai rokok hanya menjadi kebijakan yang artifisial, alias sia-sia belaka," tutup Tulus.