YLKI: Jangan Sampai Aturan Iuran Urunan Rugikan Konsumen

18 Januari 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi pers BPJS Kesehatan Soal Urun dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan di Gedung BPJS Kesehatan, Jakarta. (Foto: Ema Fitiriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers BPJS Kesehatan Soal Urun dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan di Gedung BPJS Kesehatan, Jakarta. (Foto: Ema Fitiriyani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengeluarkan aturan baru tentang tambahan biaya saat berobat menggunakan kartu BPJS Kesehatan. Beleid itu tertulis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan yang diundangkan pada 17 Desember 2018.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan ini, ada dua poin utama yaitu urun biaya dan selisih biaya. Urun biaya adalah tambahan biaya peserta pada saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan.
Sementara selisih biaya adalah tambahan biaya yang dibayar peserta pada saat memperoleh manfaat pelayaan kesehatan yang lebih tinggi daripada haknya. Antara urun dan selisih biaya memiliki perhitungannya masing-masing seperti yang tertera dalam Permenkes 51/2018.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyambut baik aturan ini. Sebab, kata dia, aturan ini perlu diciptakan agar BPJS Kesehatan bisa melakukan efisiensi biaya pengobatan pasien secara keseluruhan agar tidak terjadi fraud dari oknum rumah sakit atau pun oknum pasien.
Tapi, dia juga menegaskan, ketentuan yang berlaku dalam urun dan selisih biaya dalam BPJS Kesehatan ini harus dipetakan dengan benar. Kata dia, jangan sampai aturan baru ini merugikan konsumen.
ADVERTISEMENT
"Dalam kebijakan ini juga berpotensi anomali terkait dengan adanya biaya ilegal yang notabene tidak diterapkan ke BPJS tapi masuk ke rumah sakit tertentu, sehingga ini harus diwaspadai dan jangan sampai ada eksploitasi terhadap pasien," kata dia di Gedung BPJS Kesehatan Pusat, Jakarta, Jumat (18/1).
BPJS Kesehatan (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
BPJS Kesehatan (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Salah satu contoh yang kerap terjadi adalah tren operasi melahirkan secara sesar. Dia mengatakan, berdasarkan data YLKI, ada 500 ribuan operasi sesar yang sebenarnya tidak diperlukan karena si pasien bisa melahirkan secara normal.
Tapi karena biaya operasi sesar ditanggung BPJS Kesehatan, maka ada dugaan dokter membujuk si pasien agar mau melahirkan secara sesar. Begitu pun dari sisi konsumen, ada pasien yang memaksakan dioperasi sesar karena ingin anaknya lahir di tanggal yang cantik.
ADVERTISEMENT
"Berarti ada kepentingan ekonomi di balik itu. Ini karena (biaya operasi sesar) dicover BPJS Kesehatan, berarti ditanggung negara. Dulu kan sebelum ada BPJS, pasien yang mesti bayar sendiri," kata dia.
Karena itu, Tulus mengatakan, penentuan jenis layanan pada biaya urun yang saat ini masih digodok tim terkait yang terdiri dari BPJS Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, asosiasi, dan Kementerian Kesehatan itu sendiri, harus betul-betul mengakomodir dengan benar.
Aturan lain dalam Permenkes 51/2018 yang dikritisi Tulus adalah tidak berlakunya aturan selisih biaya pada pengguna BPJS Kesehatan kelas PBI dan Jamkesda. PBI merupakan peserta yang tidak membayar premi reguler tiap bulannya alias disubsidi pemerintah.
Kata Tulus, peserta PBI pun harusnya diperbolehkan untuk bisa mengajukan layanan manfaat kesehatan yang lebih tinggi daripada haknya. Kata dia, siapa tahu, dalam biaya pengobatannya, peserta PBI mendapatkan bantuan sejumlah uang dari kolega atau saudara mereka yang kaya sehingga bisa membayar selisih biaya BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
"Jadi bukan berarti PBI ini tidak bisa nambah fasilitas. Saya kira tim harus betul-betul mengakomodir ini. Jangan sampai ini juga menyulitkan pasien di tengah citra BPJS yang dianggap belum baik. Beberapa poin yang bisa ditawar atau direvisi idealnya jangan sampai membatasi hak pasien," ucapnya.