YLKI Usul Cukai Rokok Naik Jadi 57 Persen Demi BPJS Kesehatan

9 Oktober 2018 14:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kartu BPJS dan rokok. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kartu BPJS dan rokok. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
ADVERTISEMENT
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan hingga akhir 2018 mencapai Rp 10,98 triliun. Perkiraan lain menyebut defisit BPJS Kesehatan hingga akhir tahun ini Rp 16,5 triliun.
ADVERTISEMENT
Untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan, ada beberapa opsi kebijakan yang dapat diambil pemerintah. Pertama menaikkan iuran/premi. Namun ini kebijakan yang amat tidak populer di tahun politik.
Opsi lainnya adalah dengan menaikkan cukai rokok untuk menambah dana subsidi bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
"Jika pemerintah tidak punya nyali untuk menaikkan iuran/premi, mengingat ini tahun politik dan atau tidak punya dana untuk menambah subsidi bagi peserta PBI, maka pemerintah harus menyuntik BPJS dengan cara lain yang win-win solution, yakni menaikkan cukai rokok," kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Selasa (9/10).
Menurut Tulus, langkah pemerintah menyuntik BPJS Kesehatan dengan pajak rokok daerah tak cukup untuk menyelamatkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dana dari pajak rokok daerah ditaksir hanya mencapai Rp 1,1 triliun.
ADVERTISEMENT
"Jadi suntikan dari pajak rokok tidak berarti apa-apa dibanding defisit total BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 16,5 triliun itu. Belum lagi pajak rokok itu haknya Pemda, yang seharusnya untuk aspek preventif promotif, bukan kuratif," ujarnya.
Karena itu, Tulus mengusulkan agar cukai rokok dinaikkan menjadi 57 persen dari saat ini hanya 38-40 persen.
"Potensi untuk menaikkan cukai rokok secara regulasi masih terbuka lebar. Menurut UU tentang Cukai, cukai rokok bisa digenjot sampai 57 persen, sementara sekarang rerata cukai rokok nasional baru mencapai 38-40 persen. Jadi masih terbuka ruang yang sangat lebar bagi pemerintah untuk menaikkan cukai rokok. Sebagian dari dana cukai itulah yang digelontorkan untuk menutup defisit BPJS. Bukan pajak rokok daerah," cetusnya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, jika pemerintah berani menaikkan cukai rokok sampai angka 57 persen sebagaimana mandat UU Cukai, maka potensi pendapatan pemerintah dari cukai akan naik tajam, berkisar Rp 200-250 triliun, bahkan Rp 300 triliun.
Ketua YLKI, Tulus Abadi (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua YLKI, Tulus Abadi (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
"Tidak seperti sekarang yang hanya Rp 148 triliun. Agar tidak mematikan industri rokok kecil, maka kenaikan 57 persen cukup dikenakan pada industri rokok besar. Toh, selama ini yang mengusai pangsa pasar produk rokok, ya industri rokok besar itu, baik industri rokok nasional maupun industri rokok multinasional," kata Tulus.
Menurutnya, secara filosofis alokasi cukai rokok untuk BPJS Kesehatan tidak melanggar regulasi atau pun etika. Sebab, cukai adalah 'sin tax' alias 'pajak dosa' yang dikenakan pada produk yang menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya/konsumen, dan orang lain.
ADVERTISEMENT
"Alokasi cukai untuk pengendalian konsumsi, bisa diperuntukkan sisi preventif-promotif, dan juga kuratif. Selain itu, kenaikan cukai rokok akan menekan karakter penyakit akibat rokok, yang selama ini sangat mendominasi pasien/konsumen BPJS Kesehatan," katanya.
"Menaikkan cukai rokok akan berdampak multi efek. Pendapatan negara via cukai naik signfikan, masyarakat semakin sehat sehingga tidak membebani BPJS Kesehatan. Dan, industri rokok juga masih tetap eksis dan menangguk profit besar," tutupnya.