5 Tahun, 4 Pelatih: Mourinho Bukan Satu-satunya Problem di United

18 Desember 2018 20:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mourinho persembahkan gelar juara Liga Europa pertama untuk Manchester United. (Foto: Reuters / Andrew Couldridge/File Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Mourinho persembahkan gelar juara Liga Europa pertama untuk Manchester United. (Foto: Reuters / Andrew Couldridge/File Photo)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Alex Ferguson ditunjuk untuk menangani Manchester United pada 1986 dan bertahan lebih dari dua dekade (27 tahun, tepatnya) sebelum akhirnya memutuskan pensiun. Begitu ia angkat kaki dari Old Trafford, United tidak pernah sama lagi.
ADVERTISEMENT
Ferguson memang tidak langsung menjadi pahlawan. Malah, sederetan hasil buruk selama masa-masa awalnya menjadi pelatih sempat bikin dongkol suporter. Sejumlah pendukung menyarankan, sebaiknya ia dipecat saja.
Namun, beruntunglah United keputusan untuk memecat Ferguson itu tidak mereka ambil. Dengan tangan besinya, Ferguson memperbaiki kultur klub dari nol. Ia membabat habis pemain-pemain alkoholik dan menendang mereka satu per satu keluar dari klub. Ia juga menata ulang akademi United.
Eric Harrison, pelatih yang sukses memoles pemain-pemain Class of 92 seperti David Beckham, Ryan Giggs, dan Paul Scholes, pernah mengatakan bahwa salah satu hal yang dilakukan Ferguson adalah merombak struktur scouting. Dari situlah kemudian United sukses menelurkan pemain-pemain muda jempolan.
Pemain-pemain muda itu --Beckham, Giggs dkk.-- kemudian bahu-membahu bersama sejumlah pemain senior dan pemain bintang yang dibeli dari klub lain, menjadikan United powerhouse Premier League di pertengahan 1990-an hingga menjelang akhir 2000-an.
ADVERTISEMENT
Ferguson sendiri mendapatkan gelar kebangsawanan, 'Sir', pada 1999, tak lama setelah mengantarkan United meraih treble. Namun, apa yang ia tinggalkan lebih dari sekadar trofi dan kejayaan, melainkan juga sebuah kultur.
Sir Alex Ferguson di laga terakhirnya. (Foto: Reuters/Eddie Keogh)
zoom-in-whitePerbesar
Sir Alex Ferguson di laga terakhirnya. (Foto: Reuters/Eddie Keogh)
Kendati di masa-masa akhirnya sebagai manajer ia kerap keteteran menghadapi manajer-manajer yang jauh lebih muda dan klub-klub yang secara taktik lebih progresif, pencapaian Ferguson jelas tidak bisa dihapus begitu saja. Ironisnya, United salah jalan begitu pria kelahiran Glasgow, Skotlandia, itu memutuskan pensiun di pertengahan 2013.
Bersamaan dengan perginya Ferguson, United juga kehilangan David Gill. Ia mundur dari jabatannya sebagai chief executive klub. Well, nama Gill memang tidak sementereng Ferguson, tetapi perannya tetap penting. Dialah yang menjaga roda manajemen United secara keseluruhan tetap berjalan.
ADVERTISEMENT
Jika Ferguson beroperasi atas kesebelasan di atas lapangan, Gill adalah orang yang memastikan United tidak kehilangan arah secara manajemen. Setiap keputusan pun dibuat sebijak mungkin.
Ferguson dan Gill memang tidak jauh-jauh dari klub setelah itu. Namun, kapasitas mereka hanyalah sebagai direktur, jabatan yang mereka duduki bersama Sir Bobby Charlton --legenda klub-- dan Michael Edelson. Mereka tidak campur tangan dengan kinerja klub sehari-hari.
Pengganti Gill adalah Ed Woodward, seorang akuntan dan bankir. Ia menduduki jabatan executive vice-chairman klub. Tidak salah, memang, memberikan seseorang tanpa latar belakang sepak bola untuk mengurusi manajemen klub. Lumrah. Masalahnya, di tangan Woodward, segala sesuatunya menjadi bisnis belaka.
Dengan Woodward, United memang begitu gampang menggaet bintang-bintang mahal dan mengeluarkan gaji selangit. Ini bukan perkara besar, toh klub untung terus. Sudah begitu, sponsor juga tidak pernah berhenti berdatangan. Saban waktu, situsweb resmi United sering betul mengumumkan kerja sama dengan brand ini dan brand itu.
ADVERTISEMENT
CEO Man. United, Ed Woodward. (Foto: AFP/Oli Scarff)
zoom-in-whitePerbesar
CEO Man. United, Ed Woodward. (Foto: AFP/Oli Scarff)
Kesuksesan dari segi finansial itu tidak berjalan selaras dengan keberhasilan di lapangan. Bahwa sebuah klub raksasa dewasa ini beroperasi layaknya sebuah perusahaan besar --dan bukannya klub bola belaka-- itu adalah hal yang wajar, tetapi United dan Woodward jadi melulu berbicara soal kesuksesan finansial alih-alih prestasi di lapangan. Ucapan Woodward yang mengatakan bahwa United masih bisa menggaet pemain bintang meski tidak mendapatkan trofi adalah bukti dari arogansi itu.
Dengan bergerak sebagai gurita bisnis belaka, United jadi tidak punya visi yang jelas akan bagaimana tim mereka akan bermain selanjutnya. Jangan bicara value (nilai), punya taktik dan gaya main yang khas di lapangan saja mereka tidak punya. Singkat kata, setelah kepergian Ferguson, kontinuitas hilang dari 'Iblis Merah'.
ADVERTISEMENT
Buktinya bisa dilihat dari banyaknya duit yang mereka habiskan untuk menggaji dan memecat pelatih, mulai dari David Moyes, Ryan Giggs (pelatih interim), Louis van Gaal, dan Jose Mourinho. Empat pelatih sudah menangani United sejak Ferguson pensiun pada 2013, tapi tak ada satu pun yang mampu memberikan dampak signifikan.
Oke, Moyes memang ditunjuk atas keinginan Ferguson. Itu pun karena dia dianggap punya akar yang sama dengan Ferguson --sama-sama berasal dari kelas pekerja dari Glasgow sana. Namun, etos dan kerja keras saja tidak cukup; Moyes tidak cukup punya imajinasi taktikal yang memadai.
Moyes yang miskin progresi dalam taktik itu pun jadi bulan-bulanan dan dipecat. Ia harus kerja keras ketika semestinya United melakukan kontinuitas dari apa yang sudah mereka bangun dengan Ferguson. Untuk urusan ini, Arsenal sesungguhnya masih lebih baik. Ketika Arsene Wenger memutuskan hengkang, The Gunners mencari pelatih yang setidaknya punya ciri permainan yang sama dengan Wenger --kalau bukan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Mourinho gantikan Van Gaal sebagai pelatih Manchester United. (Foto: REUTERS/Andrew Yates/File Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Mourinho gantikan Van Gaal sebagai pelatih Manchester United. (Foto: REUTERS/Andrew Yates/File Photo)
Repotnya, begitu Moyes pergi, United bukannya membenahi visi dan manajemen mereka, melainkan menunjuk manajer dan memberikannya segunung duit untuk belanja pemain. Alhasil, tanpa rencana klub yang jelas, pemain bintang pun datang dan pergi tanpa memberikan hasil signifikan.
Nama-nama tenar seperti Angel Di Maria, Radamel Falcao, hingga Henrikh Mkhitaryan, cuma numpang lewat. Sementara Romelu Lukaku dan Paul Pogba dianggap belum mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.
Per Selasa (18/12/2018), United berpisah dengan Mourinho setelah pria asal Portugal tersebut gagal menunjukkan hasil yang manis di atas lapangan. Ini masih ditambah dengan gaya main yang tidak jelas niat dan cita-citanya.
Musim panas kemarin, Mourinho memang sempat meminta untuk dibelikan bek tengah, tetapi permintaan ini tidak dituruti. Di satu sisi, Mourinho benar, lini belakang United memang butuh perombakan. Di sisi lain, sudah ada beberapa pemain yang diminta Mourinho --seperti Eric Bailly Nemanja Matic-- yang tak kunjung mengeluarkan kemampuan terbaik.
ADVERTISEMENT
Perbedaan antara Mourinho dan manajemen itu menunjukkan bahwa United tidak bekerja dalam arah yang jelas. Maka, muncul kabar bahwa mereka berusaha merestukturisasi manajemen klub dan mempekerjakan direktur olahraga.
Kini, melihat Mourinho pergi dan United dalam keadaan gamang, orang-orang yang duduk di manajemen klub pun ikut kena sorotan. Percuma gonta-ganti pelatih kalau visi dan grand design klub tidak jelas.
Tidak percaya? Cek klub-klub besar (atau kaya) Eropa yang menjalankan klubnya dengan cara modern semisal Juventus dan Manchester City; pelatih boleh datang dan pergi, tetapi konsistensi klub tetap terjaga. Semuanya karena visi dan misi klub terencana dengan rapi.