news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ada Apa, Sih, dengan Bayern Muenchen?

9 Oktober 2018 15:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para penggawa Bayern Muenchen tertunduk lesu. (Foto: REUTERS/Andreas Gebert/File Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Para penggawa Bayern Muenchen tertunduk lesu. (Foto: REUTERS/Andreas Gebert/File Photo)
ADVERTISEMENT
Setelah sukses melibas empat pertandingan awal Bundesliga dengan kemenangan, Bayern Muenchen lumpuh seketika. Die Roten gagal memetik kemenangan dari Augsburg, tim yang rutin mereka kalahkan dalam enam pertandingan ke belakang.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ, Bayern juga takluk dari Hertha Berlin 0-2 dan keok tiga gol tanpa balas dari Borussia Muenchengladbach. Itu belum dengan hasil imbang yang mereka raih lawan Ajax Amsterdam di panggung Liga Champions.
Alhasil, Bayern cuma nangkring di peringkat keenam klasemen sementara Bundesliga dengan 14 angka, berjarak 4 angka dari Borussia Dortmund di puncak klasemen. Torehan poin tersebut juga menjadi yang terburuk dalam kurun waktu delapan tahun ke belakang.
Krisis poin tentu bukan situasi yang diinginkan klub peraih titel Bundesliga dalam tujuh musim beruntun tersebut. Lalu, apa yang terjadi dengan Bayern saat ini?
Sebelum merambah ke performa, ada baiknya menilik kebijakan Bayern di jendela transfer musim panas lalu. Kenyataaanya, Bayern sendiri tak cukup banyak menggaet personel anyar di musim ini. Terhitung cuma Leon Goretzka yang didaratkan dengan cuma-cuma, sedangkan nama-nama macam Serge Gnabry dan Renato Sanches dipulangkan setelah melakoni masa peminjaman.
ADVERTISEMENT
See? Jauh lebih ekonomis ketimbang pengeluaran rata-rata sebesar 91,8 juta euro dalam tiga musim ke belakang. Sampai di sini, cukup menggambarkan betapa malasnya Bayern dalam mengeluarkan banyak uang di jendela transfer.
Bayern sendiri memang telah melakukan kebijakan transfer dengan berfokus pada para pemain muda, bukan pemain 'jadi'--plus dengan mencaplok pentolan klub-klub kompetitor. Itulah mengapa hanya Goretzka yang didatangkan di awal musim ini.
Namun, kebijakan transfer Bayern nyatanya tak sesukses itu. Mereka masih memfungsikan Arjen Robben dan Franck Ribery. Nama yang disebut belakangan tak cukup efektif karena masih nihil dalam kontribusi gol dan assist. Sebagai gambaran, hingga saat ini Bayern memiliki skuat dengan rata-rata usia 27,3 --tertinggi di Bundesliga.
ADVERTISEMENT
Ribery mencoba menghibur Lewandowski. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Ribery mencoba menghibur Lewandowski. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
Tentu, yang paling mendasar dari masalah Bayern adalah peralihan rezim dari Jupp Heynckes ke tangan Niko Kovac. Oke, Heynckes yang legendaris itu memang sulit tertandingi maginya. Kendati demikian, Kovac juga bukan arsitek sembarangan.
Eintracht Frankfurt sukses dibawanya merengkuh DFB Pokal di musim lalu, trofi pertama klub sejak 20 tahun silam. Terlebih, Kovac juga mafhum dengan atmosfer sepak bola Jerman, baik secara teknis maupun kultur.
Kovac lahir dan besar di Berlin, serta pernah berseragam Bayern dalam rentang waktu 2001 hingga 2003. Catatan tersebut yang membuat Heynckes dan Direktur Olahraga Bayern, Hasan Salihamidzic, yakin untuk mengangkatnya sebagai pelatih klub yang bermarkas di Allianz Arena itu.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, konsistensi Kovak belum teruji secara klinis. Berbeda dengan Frankfurt dengan skuat minimnya, Bayern relatif memiliki stok pemain melimpah yang di sisi lain justru membuat mantan penggawa Tim Nasional Kroasia itu kelimpungan dalam menyusun skuatnya.
Buktinya, dia tak pernah menurunkan susunan pemain yang sama secara beruntun sejauh ini. Dengan kata lain, Kovac belum menemukan pakem ideal Bayern --meski secara formasi dia masih memakai pakem dasar 4-1-4-1, 4-2-3-1, dan 4-3-3, serupa dengan Heynckes musim lalu.
Yang paling kentara adalah keputusannya dalam menurunkan Thiago Alacantara sebagai gelandang bertahan. Perkara distribusi bola, jebolan La Masia itu memang jempolan, tetapi tak cukup kuat untuk menjaga kedalaman.
Tengok saja gol kedua Gladbach via Lars Stindl yang tercipta dari kesalahan Thiago. Mungkin insiden demikan tak akan tercipta bila Kovac memilih Javi Martinez sebagai pelindung back four, ketimbang Alcantara.
ADVERTISEMENT
Pelatih Bayern Muenchen, Niko Kovac, memimpin timnya untuk menghadapi Paris Saint-Germain di International Champions Cup. (Foto: Lisi Niesner/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Bayern Muenchen, Niko Kovac, memimpin timnya untuk menghadapi Paris Saint-Germain di International Champions Cup. (Foto: Lisi Niesner/Reuters)
Satu hal lagi yang jadi problem laten Bayern: Terlalu bergantung pada Robert Lewandowski. Bukan rahasia lagi bahwa topskorer Bundesliga tiga kali itu rutin menjadi penyumbang gol terbanyak Bayern. Dan akan menjadi masalah besar bila Lewandowski mandul. Tengok saja catatan buruk Bayern dalam tiga laga terakhir, yang merupakan buah dari kegagalan Lewandowski mencetak gol.
Lesakan semata wayang ke gawang Ajax pun bukan berasal dari lini kedua, melainkan dari kontribusi Mats Hummels, cukup menggambarkan betapa besarnya candu Bayern akan sosok Lewandowski.
Celakanya, bukan cuma lini kedua yang tak mampu menjadi alternatif goalgetter, Sandro Wagner yang jadi target-man lain juga tak kunjung menunjukkan ketajamannya. Pemain yang diboyong dari Hoffenheim itu urung mencetak gol dalam tiga pertandingan yang dilakoninya.
ADVERTISEMENT
Isu tentang atmosfer ruang ganti Bayern juga sedang tidak kondusif juga jadi sorotan. Suka tidak suka, hal tersebut berdampak pada mental para penggawa Bayern. Kesalahan antisipasi Manuel Neuer yag berbuntut gol menit akhir Augsburg dan tekel ceroboh Jerome Boateng kepada Salomon Kalou yang mengawali penalti Hertha.
Robert Lewandowski pada pertandingan DFB Pokal menghadapi SV Drochtersen/Assel. (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
zoom-in-whitePerbesar
Robert Lewandowski pada pertandingan DFB Pokal menghadapi SV Drochtersen/Assel. (Foto: Reuters/Wolfgang Rattay)
Bayern kini berada dalam titik terendah mereka dalam delapan tahun terakhir. Kovac pun jadi nama terdepan sebagai kambing hitam lantaran gagal memaksimalkan potensi skuat yang ada.
Di satu sisi, Kovac tak bisa disalahkan sendirian karena Bayern kudu mengerti konsekuensi saat merekrut pelatih yang cuma memiliki latar belakang minim. Ya, Kovac sendiri baru membesut Timnas Kroasia dan Frankfurt masing-masing dua musim. Mengharap hasil yang instan, adalah langkah yang keliru.
ADVERTISEMENT
Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi, buruknya performa Bayern juga tak terlepas dari kebijakan transfer mereka yang 'pelit'. Langkah yang mengakibatkan minimnya regenerasi dalam skuat Die Roten dan kian memupuk candu akan sosok Lewandowski.