Aib di Piala Dunia 1982: Ketika Jerman Barat dan Austria Main Mata

8 Mei 2018 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aib di Dijon: Jerman Barat vs Austria 1982. (Foto: Pinterest)
zoom-in-whitePerbesar
Aib di Dijon: Jerman Barat vs Austria 1982. (Foto: Pinterest)
ADVERTISEMENT
Seperti dalam hidup, pahlawan dan penjahat pun eksis di sepak bola. Mereka yang memberi kebahagiaan akan dipuja sebagai pahlawan dan demikian pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Biasanya, siapa pahlawan dan siapa penjahat akan ditentukan oleh perspektif. Bagi rakyat Uruguay, Luis Suarez adalah pahlawan mereka di Piala Dunia 2010. Sebaliknya, bagi rakyat Ghana, Suarez adalah bajingan tengik yang menghancurkan mimpi mereka lolos ke semifinal.
Namun, subjektivitas itu tidak berlaku ketika yang menjadi korban bukan cuma salah satu tim yang berlaga, melainkan sepak bola itu sendiri. Hampir tidak ada penonton netral yang mengutuk maupun memuja aksi Suarez menahan bola dengan tangan secara berlebihan.
Bagi para penonton netral, apa yang dilakukan Suarez itu, pada akhirnya, hanyalah dinamika sepak bola, khususnya Piala Dunia, itu sendiri. Maka dari itu, untuk bisa dimusuhi secara universal, kejahatan yang dilakukan haruslah berada dalam level berbeda pula.
ADVERTISEMENT
Tim Nasional (Timnas) Jerman Barat dan Austria pernah melakukan itu. Pada Piala Dunia 1982, mereka melakukan pengkhianatan terhadap sepak bola yang membuat hampir semua orang — termasuk orang-orang Jerman dan Austria sendiri — murka. Oleh publik, aksi kejahatan ini diberi banyak julukan. Akan tetapi, julukan yang termasyhur untuknya adalah Aib di Gijon (Disgrace of Gijon).
Semua ini bersumber dari arogansi, khususnya arogansi dari Jerman Barat. Karena arogansi inilah mereka sampai berada dalam situasi terjepit dan karena arogansi ini pula mereka kemudian sampai harus melakukan hal paling hina dalam sejarah Piala Dunia.
Namun, arogansi saja tidak bisa menjelaskan semua yang terjadi. Selain arogansi, ada satu faktor lain yang bermain dan nantinya bakal menjadi korban: Aljazair.
ADVERTISEMENT
***
Rachid Mekhloufi tidak butuh dorongan apa-apa untuk melakukan perlawanan itu. Ketika masih belia, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tentara kolonial Prancis melakukan pembantaian massal di kota kelahirannya, Setif. Maka, ketika kesempatan untuk melawan itu tiba, Mekhloufi langsung mengiyakannya.
Lahir pada 1936, Mekhloufi sudah meninggalkan kota Setif di Aljazair untuk mengadu nasib di Prancis Metropolitan (France Métropolitaine) — sebutan untuk Prancis yang ada di Eropa, bukan koloninya di benua lain — sebagai pesepak bola. Pada 1954, setelah lulus dari akademi USM Setif, Mekhloufi muda memulai karier profesional bersama Saint-Étienne.
Tubuh Mekhloufi tidak besar; tingginya hanya 168 sentimeter. Akan tetapi, dia punya kelincahan dan teknik yang luar biasa bagus. Ini membuat dirinya tak perlu waktu lama untuk menembus tim utama Saint-Étienne dan jadi andalan di sana. Selama empat musim, Mekhloufi bermain 102 kali dan menyarangkan 59 gol.
ADVERTISEMENT
Kegemilangannya di Saint-Étienne itu membawa Mekhloufi ke Timnas Prancis. Dia pertama kali dipanggil oleh pelatih Albert Batteux pada 1956. Sampai 1957, Mekhloufi bermain empat kali untuk Les Bleus, tetapi gagal mencetak sebiji gol pun. Rekor itu tentunya tidak terlalu apik, tetapi di usianya yang kala itu masih muda, masa depan cerah sudah menantinya untuk L'Equipe.
Hanya, masa depan itu tidak akan dia raih bersama Prancis. Pada 1958, Aljazair makin bergejolak. Suara-suara untuk merebut kemerdekaan pun semakin besar.
Perlawanan itu tidak cuma diwujudkan di medan tempur dan meja diplomasi saja. Pada 13 April 1958, para pesepak bola berdarah Aljazair yang merumput di Prancis bersepakat untuk membentuk sebuah tim sepak bola sendiri. Mereka memutuskan untuk membelot dari Prancis dan kembali ke negeri asalnya untuk melakukan diplomasi lewat lapangan hijau. Mekhloufi adalah salah satu dari para patriot Aljazair ini.
ADVERTISEMENT
Mekhloufi saat masih di Prancis. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Mekhloufi saat masih di Prancis. (Foto: AFP)
Nantinya, tim sepak bola ini akan bergabung dengan gerakan Front Pembebasan Nasional (FLN) untuk memerdekakan Aljazair. Secara resmi pun tim mereka nantinya akan memakai nama FLN. Sampai Aljazair merdeka pada 1962, Timnas FLN ini memainkan banyak sekali pertandingan sepak bola internasional untuk memperkenalkan negara Aljazair.
Mekhloufi sendiri kemudian menjadi salah satu penggawa Timnas Aljazair. Antara 1963 s/d 1969, dia terlibat dalam 10 pertandingan dan mencetak 5 gol. Sebagai pemain, Mekhloufi tidak memberi gelar internasional apa pun untuk Aljazair. Akan tetapi, sebagai pelatih ceritanya berbeda.
Pada 1975, Mekhloufi membawa Aljazair meraih medali emas dalam Mediterranian Games yang dihelat di Aljir. Tiga tahun berikutnya, masih di kota yang sama, medali emas All-Africa Games berhasil dipersembahkannya. Namun, itu semua belum apa-apa dibanding keberhasilannya mengantarkan Aljazair ke Piala Dunia 1982.
ADVERTISEMENT
***
"Sembari mengisap cerutu pun kami bakal bisa mengalahkan mereka."
Tidak jelas siapa yang melontarkan perkataan itu. Akan tetapi, kalimat tersebut masih terekam jelas di memori Chaabane Merzekane.
16 Juni 1982, di Estadio El Molinon, Gijon, Timnas Aljazair sudah ditunggu oleh Timnas Jerman Barat. Dengan ukuran apa pun, kelas kedua tim ini tak bisa dibandingkan. Jerman Barat adalah juara dunia dua kali dan juara Eropa dua kali. Di kualifikasi, anak-anak asuh Jupp Derwall itu menang delapan kali dari delapan pertandingan dan punya rekor gol 33-3. Sebaliknya, Aljazair adalah debutan.
Merzekane adalah bek sayap Aljazair yang beroperasi di sisi kanan dan dia bukan satu-satunya pemain yang mendengar celotehan-celotehan penuh kecongkakan dari para penggawa Jerman Barat. Ada pemain lain yang mendengar seorang pemain Jerman Barat berkata bahwa mereka akan mempersembahkan tujuh gol untuk istri-istri mereka dan satu gol lagi untuk anjing-anjing mereka.
ADVERTISEMENT
Kemudian, menurut catatan Raphael Honigstein di ESPN, kiper Jerman Barat, Harald 'Toni' Schumacher, berkata bahwa mereka bisa mencetak empat gol di saat pemanasan. Terakhir, Derwall sendiri berseloroh bahwa dia akan langsung membeli tiket pulang seandainya Jerman Barat kalah.
Ocehan-ocehan itu hanyalah puncak dari segala disfungsi yang ada di Timnas Jerman Barat kala itu. Dikisahkan pula bahwa sebelum pertandingan, Derwall sudah mendapatkan rekaman video uji tanding Aljazair menghadapi tim-tim macam Benfica dan Real Madrid. Namun, Derwall menolak untuk menunjukkan video itu kepada para pemainnya karena takut ditertawakan.
Pada dasarnya, Derwall memang tidak memiliki kuasa atas tim. Paul Breitner, bek kiri sekaligus kapten tim, merupakan pemimpin sejati di tim itu. Breitner yang bohemian itu sedari awal sudah meminta Derwall untuk memberi kebebasan total kepada para pemain. Hasilnya, alih-alih mempersiapkan diri untuk pertandingan, para pemain Jerman Barat lebih kerap mabuk-mabukan dan main perempuan.
ADVERTISEMENT
Arogansi Jerman Barat ini memang bertolak belakang dari bagaimana generasi sebelumnya membawa diri. Honigstein menuliskan bahwa para pemain Jerman Barat yang lahir dan besar di masa Perang Dunia II punya keinginan untuk memperbaiki nama Jerman yang tercoreng itu. Sementara, generasi Breitner dan Karl-Heinz Rummenigge ini sudah tak lagi merasakan itu dan oleh karenanya, mereka jadi doyan berbuat semaunya.
Arogansi itu menguap setelah 90 menit. Aljazair yang lebih banyak mengandalkan serangan balik itu menang 2-1. Pada menit ke-54, mereka mencetak gol lewat Rabah Madjer. Tiga belas menit berselang, Rummenigge menyamakan skor untuk Jerman Barat. Akan tetapi, hanya selang beberapa saat, Aljazair kembali unggul lewat Lakhdar Belloumi dan keunggulan ini bertahan sampai peluit panjang.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Aljazair ini pun jadi kemenangan yang bersejarah. Dengan kemenangan itu, Aljazair menjadi negara Afrika dan Arab pertama yang mengalahkan negara Eropa di Piala Dunia. Kemenangan ini pun disebut-sebut sebagai kejutan terbesar Piala Dunia sejak Italia ditundukkan Korea Utara pada Piala Dunia 1966.
Namun, untuk menyebut ini sebagai kejutan adalah sebuah penghinaan untuk Aljazair yang dipimpin Mekhloufi. Pada pertandingan melawan Jerman Barat itu, Aljazair menunjukkan bahwa mereka lebih siap secara fisik dan lebih kompak. Paul Doyle, dalam kolomnya di Guardian, menyebut bahwa kekompakan ini merupakan hasil dari kebijakan pemerintah yang melarang para pesepak bola bermain di luar negeri sebelum berusia 28 tahun.
Jerman Barat vs Aljazair di Piala Dunia 1982. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jerman Barat vs Aljazair di Piala Dunia 1982. (Foto: AFP)
Hasilnya, tim Aljazair pun jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama selama bertahun-tahun. Selain itu, keberadaan Mekhloufi yang dianggap sebagai ayah oleh para pemain Aljazair juga membantu. Plus, tahun 1982 itu adalah peringatan ke-20 kemerdekaan negara Maghribi tersebut. Maka dari itu, modal Aljazair sangatlah komplet. Mereka memang punya segalanya untuk menang atas Jerman Barat.
ADVERTISEMENT
***
25 Juni 1982, juga bertempat di Estadio El Molinon, Gijon, Jerman dan Austria berjumpa dalam laga terakhir Grup 2. Situasinya saat itu adalah Austria berada di puncak grup, tetapi masih bisa tersingkir seandainya kalah lebih dari tiga gol dari Jerman Barat. Jika itu terjadi, Jerman Barat dan Aljazair-lah yang akan lolos.
Sementara, supaya Jerman Barat dan Austria bisa lolos, Jerman Barat perlu menang dengan margin satu atau dua gol. Lalu, apabila Austria menang atau pertandingan berakhir imbang, maka Austria dan Aljazair yang akan melaju ke babak berikut.
Sebagai negara tetangga, Jerman Barat dan Austria punya relasi sebagaimana tetangga pada umumnya. Awalnya, mereka adalah satu kesatuan yang tergabung dalam Kekaisaran Romawi Suci (Holy Roman Empire) dan Konfederasi Jerman Bersatu, sebelum akhirnya berpisah setelah pembentukan Prusia.
ADVERTISEMENT
Pada 1918, selepas Perang Dunia I, Austria berupaya kembali bergabung dengan Jerman tetapi akhirnya gagal. Lalu, pada Perang Dunia II, Austria dianeksasi oleh Nazi Jerman dalam Anschluss sebelum akhirnya berpisah kembali.
Di satu sisi, Austria dan Jerman sering terlihat bergandeng tangan. Namun, di sisi lain, seperti di sepak bola, mereka adalah rival. Pada Piala Dunia 1978, kedua negara ini bertemu dan Austria keluar sebagai pemenang. Laga itu sendiri kemudian dikenal sebagai Keajaiban Cordoba (Miracle of Cordoba).
Jelang laga penentuan di Piala Dunia 1982, kenangan buruk di Argentina itu masih menghantui Jerman Barat. Ditambah dengan ancaman gagal lolos dari fase grup, Uli Stielike cs. pun langsung memulai laga dengan agresif.
ADVERTISEMENT
Dalam 10 menit pertama, mereka membombardir pertahanan Austria lewat aksi-aksi dari Pierre Littbarski, Horst Hrubesch, serta Rummenigge. Upaya Jerman itu pun berhasil. Di menit kesepuluh, Hrubesch mencetak gol usai memanfaatkan umpan silang Littbarski. Namun, sampai di situ sajalah laga ini berjalan.
Delapan puluh menit berikutnya dihabiskan para pemain Jerman Barat dan Austria untuk berjalan-jalan dan saling mengumpan antarsesama seperti saat latihan. Opta mencatat bahwa dalam pertandingan itu, akurasi umpan para pemain Austria mencapai angka 99%, sementara Jerman Barat 98%. Hal itu terjadi karena mayoritas umpan dilakukan di area permainan sendiri.
Peluang memang ada. Sepuluh menit setelah gol Hrubesch tadi, kiper Austria, Friedrich Koncilia sempat harus membuat penyelamatan gemilang untuk tembakan gelandang Jerman Barat, Wolfgang Dremmler. Akan tetapi, perlahan-lahan, tempo pertandingan terus menurun sampai akhirnya wasit meniup peluit panjang.
ADVERTISEMENT
Jerman Barat dan Austria lolos, Aljazair tersingkir. Amarah pun meledak di El Molinon.
Para penonton Spanyol yang datang ke stadion meneriakkan nama 'Argelia' (bahasa Spanyol untuk Aljazair) sembari mengutuk para pemain Jerman Barat dan Austria. Lalu, para suporter Aljazair berteriak-teriak soal adanya pengaturan pertandingan sembari mengibas-ngibaskan uang. Terakhir, yang paling mencengangkan, seorang suporter Jerman membakar bendera negaranya sendiri karena malu.
Reaksi keras juga datang dari komentator sepak bola di Jerman Barat dan Austria sendiri. Komentator Austria, Robert Seeger, meminta para pemirsa untuk mematikan pesawat televisinya. Sementara, komentator Jerman, Eberhard Stanjek, berkata, "Apa yang terjadi di sini benar-benar memalukan dan tidak ada sangkut pautnya dengan sepak bola. Anda boleh bicara apa saja, tetapi apa pun itu, menghalalkan segala cara tidak bisa dibenarkan."
ADVERTISEMENT
Kritikan paling pedas datang dari mantan pemain Timnas Jerman Barat, Willi Schulz. Sosok yang mengantarkan Jerman Barat ke final Piala Dunia 1966 itu menyebut para pemain yang berlaga di lapangan sebagai bandit. Kata-kata Schulz ini seakan diamini harian Spanyol, El Mercurio, yang menempatkan laporan pertandingan ini di bagian kriminal.
Schulz dan El Mercurio tidak salah karena nyatanya, tidak ada penyesalan sama sekali, baik dari pemain maupun pelatih. Derwall, misalnya, berkata bahwa Jerman Barat cuma ingin lolos dan tidak bermain sepak bola. Lalu, ada pula Lothar Matthaeus yang berucap, "Yang penting kami lolos. Titik."
Sikap semena-mena Jerman Barat ini berlanjut ketika para suporter mendatangi hotel tempat para pemain menginap. Para suporter ini resah dan ingin meminta penjelasan dari para pemain mengapa mereka sampai berbuat sehina itu. Akan tetapi, belum sempat para suporter bisa masuk dan berbincang, mereka sudah dihujani oleh balon plastik berisi air yang dilempar para pemain dari balkon.
ADVERTISEMENT
Ya, sehina itulah Jerman Barat di Piala Dunia 1982.
Secara teknis, memang tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan Jerman Barat dan Austria. FIFA pun akhirnya menolak komplain dan klaim pengaturan skor dari Aljazair karena faktanya, memang tidak ada rencana pengaturan skor apa pun dari kedua kesebelasan.
Banyak yang menyebut bahwa 'Aib di Gijon' ini terjadi berkat 'kesepakatan bersama' di lapangan. Dalam rekaman pertandingan, terekam beberapa kali pemain Jerman Barat dan Austria berangkulan sambil berbisik. Setelah sadar bahwa gol Hrubesch tadi menguntungkan kedua tim, Jerman Barat dan Austria pun kemudian bermain mata.
Meski demikian, FIFA akhirnya melakukan perubahan. Mulai Piala Eropa 1984 sampai detik ini, laga terakhir di fase grup selalu dimainkan secara bersamaan. Perubahan oleh FIFA ini pun ditanggapi secara positif oleh Belloumi.
ADVERTISEMENT
Gol Horst Hrubesch ke gawang Austria. (Foto: Pinterest)
zoom-in-whitePerbesar
Gol Horst Hrubesch ke gawang Austria. (Foto: Pinterest)
"Penampilan kami memaksa FIFA untuk melakukan perubahan. Itu artinya, kami telah meninggalkan jejak penting di sepak bola," kata Belloumi seperti dikutip dari Guardian.
Sementara itu, Merzekane punya pendapat tersendiri soal 'Aib di Dijon' itu. Menurutnya, sikap Jerman Barat dan Austria itu tidak membuat para pemain Aljazair marah.
"Melihat dua kekuatan besar di sepak bola sampai melakukan perbuatan hina untuk menyingkirkan kami adalah penghormatan besar bagi Aljazair. Mereka melaju dengan rasa malu, sementara kami pulang dengan kepala tegak," tuturnya.
Jerman sendiri akhirnya melaju sampai ke partai puncak sebelum dikalahkan Italia 1-3. Namun, sebelum itu mereka juga kembali berbuat ulah ketika bersua Prancis di semifinal. Dalam laga di Ramon Sanchez Pizjuan, Sevilla, itu Jerman Barat menang lewat adu penalti. Namun, yang jadi masalah adalah ketika Schumacher menghantam bek Prancis, Patrick Battiston, sampai pingsan. Schumacher pun kembali menunjukkan arogansinya dengan tidak sedikit pun meminta maaf.
ADVERTISEMENT
Sementara, Austria terhenti di fase grup kedua. Dalam dua laga, mereka hanya bermain imbang 2-2 dengan Irlandia Utara dan kalah 1-4 dari Prancis.
Nantinya, Jerman bakal butuh waktu sangat lama untuk bisa mengenyahkan reputasi sebagai tim yang arogan dan membosankan. Dua puluh empat tahun pasca-Piala Dunia 1982, di bawah asuhan Juergen Klinsmann dan Joachim Loew, reputasi buruk itu baru mulai terangkat. Jerman pun kini menjadi tim yang atraktif dan bersahaja, tetapi tetap perkasa. Bukti nyatanya, tentu saja, adalah trofi Piala Dunia 2014 silam.