Antara Noel Gallagher, 'Wonderwall', dan Perayaan Gelar Juara City

14 Mei 2019 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemain Manchester City merayakan kemenangan menjadi juara Liga Premier. Foto: REUTERS/Toby Melville
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Manchester City merayakan kemenangan menjadi juara Liga Premier. Foto: REUTERS/Toby Melville
ADVERTISEMENT
Noel Gallagher ada di sana. Ia ada di ruang ganti tim tamu di Amex Stadium yang jadi markas Brighton and Hove Albion. Larut menjadi satu dalam euforia gelar juara, menyanyikan Wonderwall yang masyhur itu.
ADVERTISEMENT
Pertandingan itu seharusnya bukan laga sulit untuk Manchester City. Namun, kesalahan setitik saja bisa mengubah perjalanan mereka di Premier League 2018/19. Pasalnya, kemenangan adalah perkara wajib untuk mengunci gelar juara. Liverpool yang di laga lain melawan Wolverhampton Wanderers pun demikian. Mereka cuma berjarak satu angka dari City.
Akhirnya kemenangan dan gelar juara datang kepada City. Tak pelak ruang ganti itu meriah bukan kepalang. Suasananya tambah hidup karena yang mulia satu itu ada di sana. Yang terdengar setelahnya adalah Wonderwall. Lagu kebangsaan sebagian penggemar Oasis.
Sebenarnya pemilihan lagu ini lucu juga. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan Noel bicara blakblakan--kapan juga ia tak bicara 'seenak jidat'--bahwa ia tak menyukai lagu itu. Tapi, yang bisa ia lakukan cuma menciptakan lagu, bukannya mengatur para fans menyukai lagu yang mana.
ADVERTISEMENT
Noel Gallagher, fan Manchester City itu. Foto: BEN STANSALL / AFP
City dan Wonderwall punya hubungan karib. Lagu ini digunakan sebagai theme song untuk dokumenter perjalanan City pada 2017/18 dan dinyayikan oleh suporter saat mereka menjadi juara Premier League 2011/12. Jadi, untuk menjawab pertanyaan pada judul, hal ini boleh dipakai sebagai jawaban pertama.
Pertanyaan selanjutnya, memangnya kenapa dengan Wonderwall? Kenapa bukan lagu lain, misalnya, Champagne Supernova? Toh, sepintas, lagu ini lebih pas untuk merayakan dua musim fantastis yang diukir City.
Pada 30 September 1995, NME merilis wawancara dengan Noel soal lagu-lagu yang muncul di album (What's The Story) Morning Glory. Misalnya, Morning Glory yang rasanya sempat menjadi lagu wajib banyak orang di pagi hari. Di sini, ia bicara bahwa Morning Glory merupakan pandangan sinis soal obat-obatan terlarang.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara tersebut, ia tentu juga bicara soal Champagne Supornova. Noel bilang, lagu ini bicara soal pandangan naif anak-anak muda soal kelompok tertentu yang mereka bisa melakukan hal besar untukmu, tapi pada kenyataannya nihil aksi.
"Sebagai seorang anak muda, Anda selalu percaya bahwa Sex Pistols akan menaklukkan dunia dan melakukan hal hebat dalam prosesnya. Band-band seperti The Clash baru saja meredup di era itu," seperti itu petikan wawancara Noel bersama NME.
"Punk rock seharusnya menjadi revolusi, tetapi apa yang mereka lakukan? Yang ingin kami lakukan waktu itu cuma satu: Kami ingin menciptakan lagu-lagu yang bagus buat didengarkan," jelas Noel.
Premier League pun seperti ini. Ada berapa banyak orang yang mencibir evolusi City? Dibilang sebagai klub bergelimang duit para pemodal belaka dan blablabla lainnya.
ADVERTISEMENT
Yang mereka inginkan klub-klub dengan tradisi kuat macam Manchester United, contohnya, seharusnya menjadi juara. Tapi, memangnya apa yang dilakukan oleh United setelah ditinggal Sir Alex Ferguson? Alih-alih beradaptasi dengan perubahan era, mereka ibarat bercokol dalam lubang yang sama.
Liverpool pun dianggap sebagai perubahan besar pada 2018/19. Penampilan mereka luar biasa. Hingga Premier League 2018/19 selesai, cuma satu kekalahan yang mereka cicipi. Bahkan pada pekan ke-19 mereka unggul tujuh poin atas City. Di Liga Champions? Silakan tonton kembali bagaimana mereka menghajar Barcelona dengan comeback.
Para pemain Manchester City merayakan gol saat melawan Brighton and Hove Albion. Foto: REUTERS/Toby Melville
Tak berlebihan jika Liverpool digadang-gadangkan dapat mengubah daftar juara Premier League, menggeser dominasi City. Tapi, apakah ekspektasi itu terwujud di Premier League 2018/19? Ternyata tidak, City tetap jadi juara.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari hal tadi, rasanya Champagne Supernova akan menjadi lagu yang keren untuk mewarnai pesta juara City. Menyanyikan lagu ini sambil menenggak champagne dan bir yang dibagikan--membayangkannya saja bikin haus.
Lagipula, supernova, bukankah itu pemilihan diksi yang sophisticated? Toh, sophisticated merupakan salah satu penggambaran yang tepat soal City di era modern.
Tapi, pada kenyataannya, tetap Wonderwall yang berkumandang. Noel memang tidak bicara mengapa lagu ini pada akhirnya dipilih untuk City--terlepas dari fakta bahwa ia memang penggemar klub asal Manchester Timur ini. Tapi, jika melihat tentang apa sebenarnya Wonderwall, pemilihan lagu ini ada benarnya juga.
Ada banyak orang yang menganggap bahwa Wonderwall ditulis untuk Meg Mathews, mantan istri Noel. Tentang bagaimana Meg menyelamatkan hidup Noel, menjadi invisible hands yang menopang perannya sebagai pentolan Oasis dan kepala keluarga sekaligus.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, anggapan ini juga bukan muncul tanpa alasan. Dalam wawancaranya bersama NME itu, Noel memang menyinggung Meg sebagai alasan di balik lahirnya lagu ini. Hanya, dalam wawancaranya bersama BBC Radio pada 2002, Noel juga bicara soal sudut pandang lain yang menjadi fondasi lagu ini.
"Makna lagu itu seperti dirampas dari saya oleh media yang mengangkatnya. Dan bagaimana bisa saya tidak bilang kepada si nyonya (sa ae, Mas!) bahwa lagu itu bukan untuknya ketika ia pertama kali membaca liriknya?" ucap Noel kepada BBC Radio.
"Wonderwall adalah lagu yang bercerita soal teman imajiner yang pernah datang dan menyelamatkanmu dari dirimu sendiri," lanjut Noel.
Paduka Noel Gallagher di The Best FIFA Football Awards 2018. Foto: Ben STANSALL / AFP
Oke, untuk sosok tak riil saja ia bisa menciptakan lagu seperti itu. Yang mulia memang luar biasa.
ADVERTISEMENT
"I said maybe, you're gonna be the one that saves me. And after all, you're my wonderwall."
Gelar juara Premier League, pemain-pemain yang tampil brilian, dan rekor demi rekor, rasanya hanya akan menjadi imajinasi belaka sebelum kedatangan Sheikh Mansour pada 2008.
Kalau boleh jujur, memangnya ada dari kita yang sebelumnya tertarik untuk menjadi fans City? Jangankan jadi fans, menyadari keberadaan mereka saja rasanya mustahil untuk dilakukan di waktu lampau.
Tapi semuanya berubah sejak gelontoran uang dari Uni Emirat Arab itu datang. Hebatnya, City tak hanya mengumpulkan pemain bintang, tapi membangun masa depan. Mereka tak mau untuk menjadi klub hebat di Inggris saja, tapi dunia. Dan yang terjadi setelahnya adalah champagne football ala Manchester.
ADVERTISEMENT
Para pemain Manchester City merayakan gol saat melawan Brighton and Hove Albion. Foto: John Sibley/Reuters
Jadi, apakah Sheikh Mansour merupakan teman imajiner untuk City? Masuk akal, toh, rangkaian elegansi ini berawal dari kedatangannya.
Namun, tampaknya teman imajiner yang datang menyelamatkan tim asuhan Pep Guardiola, terlebih di musim ini, bukan si sang bos besar--tapi, satu poin keunggulan City.
Berhitung mundur, City sudah tertinggal tujuh poin dari Liverpool pada pekan ke-19. Mereka bahkan tak lagi jadi runner up sementara. Adalah Tottenham Hotspur yang mengambil tempat di bawah Liverpool kala itu, sementara City ada di peringkat ketiga. Bahkan, kala itu Liverpool belum kalah sama sekali. Mereka mengamankan 16 kemenangan dan tiga hasil imbang.
Bagi manusia seabsurd Guardiola pun, tak ada momen yang lebih mengerikan di musim ini selain kala mereka tertinggal tujuh angka dari The Reds. Tambah seram karena pada pekan ke-21 mereka mesti bertanding melawan Liverpool. Celaka entah berapa belas jika mereka gagal menyegel kemenangan pada duel sepenting itu. Kalau City kalah, Liverpool bakal unggul 10 poin.
ADVERTISEMENT
Bukan, ini bukan perayaan gelar juara Premier League 2018/19 Foto: REUTERS/Phil Noble
"Saya lebih gugup sebelum laga melawan Liverpool di Etihad karena kami tertinggal tujuh poin, sementara masih ada lima bulan lagi sampai akhir musim. Saya bahkan sampai bicara seperti ini: Akan menjadi periode yang sangat menyulitkan jika kami kalah dari Liverpool," ucap Guardiola pada laman resmi City.
Kabar baiknya, Liverpool justru menutup laga di Etihad itu dengan kekalahan 1-2 dari City. Kekalahan tipis, kekalahan yang secara hitung-hitungan peringkat bisa diwajarkan. Tapi, celah itu pulalah yang dimanfaatkan City untuk menggerus segala peluang Liverpool mengulang gelar juara 1989/90.
Kesempatan emas bukannya tak datang lagi kepada Liverpool tiga pekan berselang. Bagaimana tidak? City takluk dari Newcastle United. Menyebut 'takluk' sebenarnya berlebihan, karena City cuma kalah tipis 1-2. Tapi, yang menjadi lawan ini adalah Newcastle yang tak pernah sanggup menjejak ke papan atas di musim ini.
ADVERTISEMENT
Bahkan, laga ini dibuka dengan terciptanya gol tercepat dalam sejarah Premier League sejak 2013. Memanfaatkan aksi cerdik David Silva menjauhkan bola dari jangkauan kiper Martin Dubravka, Sergio Aguero bisa mencetak gol dengan mudah ketika laga berjalan 24 detik.
Namun, Newcastle menggebrak setelahnya. Masing-masing satu gol dibawa pulang oleh Salomon Rondon dan Matt Richie.
Para pemain Manchester City merayakan kemenangan menjadi juara Liga Premier. Foto: REUTERS/Toby Melville
Seharusnya Liverpool bisa mengambil kesempatan emas ini. Hanya, Liverpool pun juga gagal meraih kemenangan atas Leicester City. Kala itu, mereka hanya bermain imbang 1-1, di Anfield pula.
Di sinilah Guardiola membuktikan bahwa ia bukan pelatih sembarangan. Oke, City memang klub pertamanya di Inggris. Guardiola juga tak mampu meraih gelar juara apa pun pada tahun pertamanya bersama City. Tapi, jika musim 2017/18 bisa ditutupnya dengan gelar juara dan 100 poin, kegeniusan serupa bisa saja mengantarkannya kepada singgasana juara Premier League 2018/19.
ADVERTISEMENT
Yang terjadi setelahnya, Guardiola memenangi 14 laga beruntun--termasuk atas Brighton pada pekan pemungkas. Liverpool dan City memang tak berjarak jauh. Yang jadi soal, saat kemenangan demi kemenangan diamankan City, Liverpool tidak begitu. Tak cuma melawan United, melawan West Ham United dan Everton saja mereka cuma mampu mengambil satu poin alias seri.
Padahal, laga melawan Everton itu ada pada pekan ke-29. Pekan krusial yang ditutup City dengan kemenangan 1-0 atas Bournemouth. Sejak saat itu, Liverpool tergusur dari puncak klasemen sementara. Liverpool memang beberapa kali naik lagi ke puncak. Tapi, itu cuma masalah jadwal karena Liverpool bermain duluan ketimbang City.
Dari hitung-hitungan hasil laga, Liverpool memang lebih impresif. City kalah empat kali, sementara Liverpool satu kali. Yang menjadi persoalan, gelar juara bukan ditentukan berapa kali menang dan kalah, tapi poin yang dikumpulkan--setidaknya untuk hitung-hitungan pertama.
ADVERTISEMENT
Pep Guardiola merayakan kemenangan Manchester City atas Burnley. Foto: Reuters/Andrew Yates
Lantas, kuncinya ada di laga imbang. Liverpool imbang tujuh kali, sementara City empat kali. Itu berarti, di sepanjang musim Liverpool melepas 17 poin, sedangkan City... 16 poin.
Satu angka itu terlihat tak krusial. Tapi satu angka ini ibarat teman imajiner City yang tak dilihat oleh tim-tim lain--termasuk Liverpool.
Ia hanya menampakkan wujudnya pada City, pada Guardiola, dan pada akhirnya datang menyelamatkan, mengantarkan The Citizens pada keberhasilan mengulang gelar juara musim lalu. Sosok tak kasatmata ini ibarat membukakan pintu bagi City ke 'taman bermain pribadi', pencapaian yang terakhir kali terjadi pada 2007/08, kala United mengulang gelar juara 2006/07.
Dalam jurnalnya untuk Universitas Manchester pada 2005, Mike Connor menjelaskan bahwa pengalaman memiliki teman imajiner terjadi pada anak-anak yang umumnya berusia empat hingga delapan tahun. Teman imajiner ini bukannya tanpa fungsi.
ADVERTISEMENT
Keberadaannya ibarat cara mereka untuk melalui periode-periode sulit--seperti pertama kali masuk sekolah, kelahiran adik, bahkan kepergian orang tua. Dalam masa seperti ini, seorang anak akan menciptakan teman imajinernya sendiri, jadi ia tak datang sendiri.
Suporter Manchester City mereka merayakan kemenangan Liga Premier. Foto: REUTERS/Toby Melville
Begitu pula yang terjadi dengan City. Satu poin itu tidak datang dengan sendirinya. Perpaduan antara pemahaman taktik, kualitas pemain, dukungan suporter dan manajemen, hingga konsistensi melahirkan satu poin yang pada kenyataannya menjadi plot twist di Premier League 2018/19.
Tapi, teman imajiner bukan sosok yang abadi. Itu pula yang mesti disadari oleh Guardiola dan City.
Barangkali, tak akan ada cerita serupa di musim depan. Barangkali tim-tim rival akan bangkit sejak awal, mempertahankan konsistensi, atau mungkin Guardiola akan kehilangan pemain-pemain kunci. Maka, yang dilakukan Guardiola cuma satu: menjejak pada realitas.
ADVERTISEMENT