Aremania: Disanjung Setinggi Langit, Dicaci Serendah-rendahnya

16 April 2018 16:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koreo 3D dari Aremania. (Foto: Instagram @indofans_id)
zoom-in-whitePerbesar
Koreo 3D dari Aremania. (Foto: Instagram @indofans_id)
ADVERTISEMENT
Andai Arema tak ada, maka takkan ada pula Aremania. Dan, jika Aremania tak eksis, maka Kota Malang mungkin takkan punya identitas.
ADVERTISEMENT
Dahulu, Malang adalah kota yang akrab dengan kekerasan. Ada begitu banyak geng bermunculan di Malang dan sangat lumrah sekali satu geng berkelahi dengan geng lainnya di sudut-sudut 'Kota Apel' itu.
Bagi geng yang menang, wilayah kekuasaan mereka akan bertambah. Begitu jua sebaliknya bagi yang kalah.
Adapun, geng-geng itu diisi oleh masyarakat menengah bawah di Malang. Kebanyakan mereka pengangguran, atau kalau pun ada satu-dua dari anggota geng itu yang bekerja, tentulah bergaji rendah.
Alhasil, mereka tak dapat menjangkau hiburan kelas menengah seperti menonton di bioskop, apalagi menikmati konser hingga berkreasi dalam bidang seni yang notabene butuh duit tak sedikit.
Hidup dalam kecemasan akibat kekerasan tentulah tak mengenakkan bagi masyarakatnya. Tak terkecuali dengan almarhum H. Acub Zaenal dan anaknya, almarhum Lucky Acub Zaenal.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah solusi, keduanya menciptakan identitas baru. Dari situ, mereka berharap bisa mempersatukan Malang, terutama kelas menengah bawah. Keduanya kemudian mendirikan Arema Malang pada 1987.
Memang, hadirnya Arema di Malang berhasil meminimalisir aksi kekerasan di Malang. Akan tetapi, ketika awal klub ini berdiri, kecemasan warga Malang belum betul-betul hilang. Stadion Gajayana (‘kuil suci’-nya Arema sebelum Stadion Kanjuruhan) kemudian jadi pusat kekerasan di Malang.
Penggemar Arema kala itu sangat mudah tersulut emosinya. Bak api tersulut minyak, ketika seseorang penggemar Arema berteriak di Stadion Gajayana dan penggemar lainnya tak suka, adu argument langsung terjadi.
Kalau tidak selesai, ya, akan dilanjutkan dengan adu jotos. Atau, skenario terburuk, saling bacok dan pulang dengan tambahan titel ‘almarhum’ di depan nama juga bisa terjadi.
ADVERTISEMENT
Mengetahui ini, Lucky mendirikan komunitas suporter Arema. Pada 1988, Sam Ikul – begitulah Lucky akrab disapa – mendirikan Arema Fans Club (AFC) sebagai wadah suporter yang dikelola langsung oleh manajemen klub. Namun, karena dianggap terlalu ‘mewah’, AFC tak begitu digandrungi. Pada 1994, AFC lantas dibubarkan.
Menariknya, pembubaran itu menjadi titik terang bagi Malang dan kelamnya dunia kekerasan. Penggemar Arema yang sudah lelah dengan aksi kekerasan pun mendirikan sebuah komunitas suporter baru yang disebut Aremania.
Tidak ada yang tahu siapa yang mendirikannya. Atau, kapan tepatnya komunitas ini berdiri. Satu hal yang pasti, semboyan ‘Salam Satu Jiwa’ menjadi nyata sejak Aremania ada.
***
Ya, tidak ada ketua di Aremania. Yang ada hanyalah Koordinator Wilayah (Korwil) dengan tugas untuk mengorganisir tindak-tanduk setiap Aremania di wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Menariknya, tidak ada gesekan berarti diantara satu Korwil dengan Korwil lainnya. Meski berbeda wilayah, semua Korwil punya satu kesamaan yang kuat.
Korwil-korwil itu terinsipirasi dengan penggemar sepak bola nun jauh di Eropa sana. Hal paling dasar yang mereka ikuti adalah ketertiban dan tak mudahnya penggemar-penggemar klub di Eropa terpancing provokasi. Hingga hal-hal megah seperti kreativitas yang berhasil Aremania emulasikan ketika Arema berlaga.
Saat Arema bertanding, bendera demi bendera akan berkibar. Spanduk akan terbentang. Kedua lengan sebagian suporternya akan membentangkan syal. Koreografi yang membuat pasang mata siapapun takjub. Tentulah, mulut-mulut yang tak putus-putus menyanyikan yel-yel selayaknya ustaz membacakan selawat.
Khusus untuk urusan yang terakhir, sudah terlampau banyak musisi asal Malang yang menyumbangkan yel-yel untuk dinyanyikan Aremania. Tersebutlah Ovan Tobing yang boleh dinyatakan sebagai pionir dari tren ini.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1990-an, penyiar radio asal Malang itu membujuk musisi-musisi Malang untuk turut menciptakan yel-yel. Upaya Ovan ini dapat dikatakan berhasil.
Hasilnya, yel-yel seperti ‘Singa Bola’-nya Arema Voice, ‘Kita di Sini Arema’-nya d’Kroos dan ‘Ongis Nade’-nya Can A Rock kini dinyanyikan oleh Arema.
Dukungan yang masif ini membuat citra pendukung Arema yang brutal pun memudar. Malah, akibat kreativitasnya, Aremania pun dicintai seluruh Malang.
Eh, tidak, Aremania tak lagi menjadi punya Malang saja. Di berbagai daerah di Indonesia, ada begitu banyak mereka yang mengenakan kaos Arema meski bukan orang Malang. Di sisi lain, anak-anak dan perempuan sudah biasa ke Kanjuruhan.
Maka, jangan heran andaikata Aremania kerapkali mendapatkan penghargaan suporter terbaik di berbagai kompetisi yang diikuti Arema. Penghargaan Suporter Terbaik Ligina VI pada tahun 2000, Copa Dji Sam Soe pada 2006, hingga teraktual, Suporter Terbaik Piala Jenderal Sudirman pada dua tahun silam sudah mereka sabet.
ADVERTISEMENT
Namun, makin tinggi sebuah pohon, maka makin kencang pula anginnya. Dan ketika Aremania kerapkali dipuji karena kreativitasnya, mereka juga beberapa kali duji.
***
Pada 16 Januari 2008 tentulah tak bisa dilupakan oleh Aremania. Di Stadion Brawijaya, Kediri, berlangsung partai delapan besar Divisi Utama Liga Indonesia yang mempertemukan Arema dengan Persiwa Wamena.
Laju laga ini tidak dapat dikatakan baik. Dua gol Patricio Morales dan Emile Mbamba, dua jagoan Arema saat itu, tidak disahkan oleh wasit.
Kondisi ini membuat Aremania yang hadir di tempat merasa kecewa sekaligus marah bukan kepalang. Pada menit ke-71, mereka turun ke lapangan. Pertandingan pun terhenti. Kurun waktu lima menit, stadion rusak.
Bagi Komisi Disiplin (Komdis) PSSI, aksi ini sangat tak bisa diterima. Komdis PSSI pun menghukum Aremania dengan larangan memakai atribut klub kesayangannya ketika Arema berlaga plus larangan bagi Aremania untuk mengawal timnya bertadang.
ADVERTISEMENT
Hukuman ini harus mereka lakukan selama dua tahun lamanya. Meski begitu, dalam kurun dua tahun itu, Aremania tetap hadir mendukung Arema di kandang.
Mereka tak datang dengan baju biru -- warna kebesaran Arema, melainkan kaus hitam. Tidak ada bendera Arema, hanya ada bendera Merah-Putih. Tersiksa? Tentu saja. Namun, bagi Aremania, lebih baik begitu daripada tidak mendukung timnya sama sekali.
Hukuman ini berakhir pada 16 Januari 2010. Bagi Aremania, bebasnya hukuman itu mungkin sama hebohnya dengan ketika Ir. Soekarno menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Di Alun-Alun Kota Malang, Yuli Sumpli, Dirjen Aremania, melantangkan ‘Proklamasi Kemerdekaan Aremania’.
“Kami Aremania, suporter Arema Indonesia. Hari ini, tanggal 16 Januari 2010, telah terbebas dari segala sanksi hukuman dari Komisi Disiplin PSSI. Oleh karena itu, maka, kami Aremania, suporter Arema Indonesia akan kembali menjadi suporter yang kreatif dan atraktif kebanggaan bumi Arema dan Indonesia,” ucap Yuli kala itu.
ADVERTISEMENT
***
Apa yang terjadi pada 16 Januari 2008, malangnya, harus terjadi lagi pada Minggu (15/4/2018).
Ketika laga Arema melawan Persib menuju masa perpanjangan waktu, Aremania tumpah ruah ke stadion. Belum jelas apa penyebab di balik aksi tersebut, tetapi pada laga tersebut sudah terlihat beberapa tanda bahwa pertandingan akan berakhir dengan kericuhan.
Sejak awal para pendukung Arema sudah menyuarakan ketidakpuasannya terhadap hasil yang diraih Arema pada musim kompetisi ini. Mereka menjalani laga ini dengan modal satu poin dari tiga laga perdana. Para suporter pun membentangkan spanduk yang berbunyi 'Rindu Rasanya Menang'.
Tanda-tanda rusuh semakin terlihat manakala Ezechiel N'Douasel mencetak gol kedua Persib pada menit ke-78. Sesaat setelah gol tercipta, sejumlah botol minuman dilemparkan ke bagian belakang gawang Arema.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan antara Arema vs Persib (Foto: Instagram/@adebayuindra)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusuhan antara Arema vs Persib (Foto: Instagram/@adebayuindra)
Kejadian lain yang membuat para suporter Arema berang adalah diusirnya Dedik Setiawan pada menit ke-89. Dalam situasi tersebut, Dedik tengah berebut bola dengan Gozhali Siregar, tetapi wasit memutuskan bahwa Dedik kedapatan menyikut pemain belakang Persib tersebut.
Dedik yang harus meninggalkan lapangan dibuntuti oleh aksi Aremania yang merangsek masuk ke lapangan. Seketika itu juga suasa di lapangan menjadi tak kondusif karena pagar penjagaan keamanan pun tak kuasa menahan banyaknya massa yang turun. Sama seperti kejadian pada 2008, sanksi keras sudah membayangi Aremania saat ini.
Pertanyaannya, apakah kejadian kali ini akan betul-betul membuat Aremania belajar bahwa ada banyak cara untuk melayangkan protes? Satu hal yang pasti, setelah kejadian ini, Aremania butuh upaya ekstra keras untuk membangun citra baik mereka kembali.
ADVERTISEMENT