Bagaimana Mafia Bola 'Mengatur' Pertandingan Liga Indonesia?

30 November 2018 18:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Indonesia saat pertandingan melawan Filipina di AFF Suzuki Cup 2018. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Indonesia saat pertandingan melawan Filipina di AFF Suzuki Cup 2018. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Problematika lawas pengaturan skor di sepak bola Indonesia kembali mengemuka. Kali ini, Liga 2 menjadi sasaran tembak dari dugaan pengaturan skor tersebut, yang terjadi pada babak 8 besar lalu.
ADVERTISEMENT
Kecurigaan itu mulanya mengemuka pada laga antara PSS Sleman vs Madura FC dalam babak 8 besar Liga 2 pada 6 November lalu. Laga yang berlangsung di Stadion Maguwoharjo itu dinilai janggal karena gol berasal dari pemain PSS yang kedapatan terperangkap offside lebih dari 2 meter, yang kemudian disambut dengan gol bunuh diri dari pemain Madura FC.
Sorotan semakin tajam manakala munculnya persitiwa tendangan penalti aneh dari pemain PS Mojokerto Putra, Krisna Adi, ke gawang Aceh United dalam laga pamungkas babak 8 besar pada 19 November lalu. Adi seperti sengaja membuang bola. Padahal, jika eksekusi penalti itu masuk, skor menjadi 3-3 yang bakal membawa PSMP melaju ke fase semifinal.
ADVERTISEMENT
Serangkaian kejanggalan itu seakan mencapai puncaknya manakala manajer Madura FC, Januar Herwanto, bernyanyi bahwa ada anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Hidayat, yang mencoba menyuapnya. Peristiwa itu terjadi saat Madura FC menghadapi PSS Sleman di Maguwoharjo. Ketika itu, Hidayat meminta Madura FC untuk mengalah dari sang lawan.
Ya, praktik dugaan pengaturan skor sejatinya telah berlangsung lama di kompetisi Tanah Air. Koordinator Save Our Soccer (SOS), Akmal Marhali, bahkan menyebut pengaturan skor sudah merambah Liga Indonesia sejak 2003 silam.
Menurutnya, selama ini terdapat empat bandar yang bermain di sepak bola Indonesia. Satu orang dari Malaysia dan Hong Kong dan dua orang lainnya berasal dari Singapura.
Lantas, bagaimana modus mereka?
ADVERTISEMENT
Seorang bandar biasanya akan terlebih dahulu menghubungi seorang yang memiliki jaringan kepada runner di Indonesia. Sosok itu disebut sebagai Godfather. Bandar tersebut biasanya akan meminta saran kepada Godfather terkait runner yang akan dipakainya, tentu dengan imbalan tertentu.
Godfather juga berperan untuk membukakan pintu kepada bandar untuk masuk ke kompetisi Indonesia. Ia merupakan sosok yang sudah sangat lama berkecimpung di sepak bola nasional dan memiliki pengaruh sangat besar di kalangan para runner.
Setelah didapat, bandar akan menghubungi runner secara langsung terkait pertandingan yang ingin 'diatur', tim mana yang menang dan kalah bahkan sampai skornya. Nah, bandar itu akan menyerahkan proses selanjutnya kepada runner tersebut.
PSS Sleman vs Madura FC. (Foto: Instagram/@pssleman)
zoom-in-whitePerbesar
PSS Sleman vs Madura FC. (Foto: Instagram/@pssleman)
Runner ini memiliki latar belakang yang berbeda. Rata-rata mereka merupakan mantan pesepak bola, manajer atau wasit. Latar belakang tersebut yang nantinya akan memengaruhi dengan siapa runner tersebut ‘bermain’.
ADVERTISEMENT
“Biasanya runner akan memilih orang yang memiliki kedekatan dengannya. Misalkan, mantan pemain atau wasit, biasanya akan mendekati pemain atau wasit untuk ‘bermain’. Cukup jarang runner berhubungan dengan orang yang tidak memiliki garis kedekatan karena akan berisiko,” ujar Akmal ketika ditemui kumparanBOLA di Jakarta, Jumat (30/11/2018).
Setelah mendapatkan targetnya, runner tersebut akan menentukan ‘permainannya’. Jika kepada pelatih, hal yang bisa dilakukan adalah pemain yang dipasang dalam starting XI. Sementara, kepada manajer ialah dengan memberikan instruksi kepada pemain untuk melakukan ‘pemainannya’.
Sedangkan, ketika runner berhubungan dengan pemain, modus yang digunakan cukup banyak. Biasanya mulai dari tak boleh mencetak gol, membiarkan gawang dibobol oleh lawan, gol bunuh diri hingga memberikan penalti untuk lawan.
ADVERTISEMENT
“Ada juga runner yang menentukan cetak gol pada menit ke berapa atau cetak gol pakai kaki kanan atau kiri atau kepala dan siapa yang dapat kartu kuning pertama. Kalau itu biasanya untuk judi,” ucap Akmal.
Menariknya, lanjut Akmal, para runner ini seakan memiliki peraturan tak tertulis yang tabu untuk dilanggar. Mereka memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Para runner yang biasa bermain di Liga 2 dan 3, tak akan bisa 'masuk' ke Liga 1. Pasalnya, hanya runner tertentu yang bisa 'mengatur' pertandingan di Liga 1.
Skema pengaturan skor (match fixing) di sepak bola Indonesia. (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Skema pengaturan skor (match fixing) di sepak bola Indonesia. (Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan)
Adakah hukuman bagi para pelaku pengaturan skor?
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mengaturnya melalui Kode Disiplin pasal 72 tentang manipulasi pertandingan secara ilegal. Pertama, dalam pasal tersebut dijelaskan siapapun yang berkonspirasi mengubah hasil pertandingan akan mendapat sanksi berupa denda sebesar Rp 250 juta dan sanksi larangan ikut serta dalam aktivitas sepak bola seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Dalam pasal itu juga merinci bilamana pemain yang kedapatan terlibat memanipulasi pertandingan akan dikenai sanksi hukuman denda dengan nominal Rp 250 juta dan saknsi larangan beraktivitas dalam lingkungan sepak bola Indonesia seumur hidup.
Bukan hanya pemain, dalam lima poin di pasal tersebut juga akan menghukum jika perangkat pertandingan, ofisial, dan pengurus klub ikut terlibat dalam mengubah hasil pertandingan, maka besaran denda yang akan dibayarkan berjumlah Rp 350 juta dan Rp 300 juta. Selain itu, juga dilarang beraktivitas di lingkup sepak bola Tanah Air seumur hidup.
Hukuman terberat akan diberikan kepada klub atau badan yang terbukti mengubah peertandingan akan dikenai denda sebesar Rp 500 juta. Tak hanya denda, klub tersebut juga akan mendapat ganjaran dengan didegradasi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya hukuman dalam ranah sepak bola, para pelaku pengaturan skor bahkan bisa dijebloskan ke dalam penjara lewat UU No. 11 Tahun 1980 Pasal 2,3,4, dan 5 tentang tindak pidana suap. Jika terbukti, terdakwa bisa dipidana dengan masa hukuman selama lima tahun penjara dan dena Rp 15 juta.