news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bagi Deschamps dan Pemainnya, Hidup Takkan Pernah Sama Lagi

16 Juli 2018 11:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deschamps bersama trofi Piala Dunia. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Deschamps bersama trofi Piala Dunia. (Foto: Carl Recine/Reuters)
ADVERTISEMENT
Didier Deschamps mengikuti jejak Mario ‘Lobo’ Zagallo dan Franz Beckenbauer sebagai orang yang pernah menjuarai Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih. Kalau sudah begini, hidup memang tidak akan pernah sama lagi buatnya.
ADVERTISEMENT
Hanya tiga orang, dari 88 tahun sejarah Piala Dunia, yang berada dalam klub eksklusif tersebut. Perkara bermain di Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih adalah hal biasa, tetapi menjuarainya dengan status itu adalah perkara spesial.
Zagallo memenanginya bersama Brasil pada 1958 (sebagai pemain) dan 1970 (sebagai pelatih). Sementara Beckenbauer mengangkat trofi sebagai pemain pada 1974 dan menjuarainya lagi sebagai nakhoda tim pada 1990.
Deschamps, si Pengangkut Air itu, memegang peran penting ketika Prancis menjadi juara Piala Dunia 1998. Pada skuat yang dipenuhi genius semodel Zinedine Zidane dan Youri Djorkaeff, serta beberapa pemuda ajaib pada diri Thierry Henry dan David Trezeguet, Deschamps menjadi penyeimbang.
Dialah orang yang rela bekerja keras merebut bola untuk kemudian ‘mengalirkannya’ kepada para gelandang yang lebih kreatif. Dia jugalah yang berteriak memberikan motivasi di ruang ganti —sekaligus menjaga fokus rekan-rekannya— manakala Prancis sudah unggul 2-0 di babak pertama ketika menghadapi Brasil di partai puncak.
ADVERTISEMENT
Sederet pengalaman 20 tahun silam itu menjadi memori yang mengental di kepala Deschamps. Memori itu tidak akan pernah enyah. Kini, ketika ia sukses menjadi juara dunia sebagai pelatih, pria 49 tahun itu membagi cerita seperti apa rasanya mengangkat trofi Piala Dunia sebagai pemain kepada anak-anak buahnya.
“Mulai malam ini, saya akan bersimpati buat mereka, karena segalanya tidak akan pernah sama lagi,” ujar Deschamps seperti dilansir The Independent.
“Mereka tidak akan menjadi pemain yang sama lagi. Mereka adalah juara dunia. Mungkin, mereka akan memenangi gelar-gelar lainnya, tetapi —meski saya tidak mau meremehkan gelar-gelar itu— tidak ada yang bisa mengalahkan rasanya menjadi juara dunia.”
Deschamps adalah aktor utama di balik sukses Prancis. Tidak diragukan lagi. Keputusannya untuk menurunkan ego dan berpikir lebih jernih berujung pada perubahan taktik Prancis. Imbasnya, hasil yang lebih baik pun didapat.
ADVERTISEMENT
Deschamps mengangkat trofi sebagai pemain dan pelatih. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Deschamps mengangkat trofi sebagai pemain dan pelatih. (Foto: AFP)
Pada mulanya, Prancis bermain dengan 4-3-3. Namun, skema ini terbukti tidak cukup jitu. Memasang Antoine Griezmann sebagai penyerang tengah dengan diapit Ousmane Dembele dan Kylian Mbappe justru mengebiri kemampuan masing-masing.
Deschamps kemudian mengubah skemanya menjadi 4-2-3-1. Dalam pakem tersebut, ia memasang Olivier Giroud sebagai penyerang tunggal dengan Griezmann, Blaise Matuidi, dan Mbappe sebagai tiga gelandang di belakangnya.
Skema itu tokcer. Sementara Mbappe dan Griezmann berperan lebih ofensif, Matuidi diberi peran lebih defensif. Munculnya Matuidi sebagai gelandang sayap tetapi mendapatkan tugas untuk bertahan membuat lawan-lawan kian sulit membongkar pertahanan Prancis.
Lalu, bagaimana dengan Giroud? Striker yang satu ini memang urung mencetak gol, tetapi ia berulang kali melakukan pressing dari depan plus ikut turun membantu pertahanan jika dibutuhkan. Dalam hal ini, work-rate Giroud lebih dibutuhkan oleh Deschamps.
ADVERTISEMENT
Prancis, pada akhirnya, memang kerap dikritik karena tampil defensif. Namun, seperti yang dikatakan Griezmann, mereka tidak peduli. Yang mereka inginkan cuma satu: Mengangkat trofi dan menambah tanda bintang di kostum mereka.