Bencana di Monaco dan Berakhirnya Laju Sejarah Sepak Bola Prancis

12 November 2018 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Thierry Henry di sesi latihan Monaco. (Foto: AFP/Valery Hache)
zoom-in-whitePerbesar
Thierry Henry di sesi latihan Monaco. (Foto: AFP/Valery Hache)
ADVERTISEMENT
Tulisan ini, mau tak mau, harus dibuka dengan sebuah pertanyaan dasar: Untuk apa sebenarnya kita menonton sepak bola?
ADVERTISEMENT
Tentunya, jawaban yang muncul bisa banyak sekali karena dengan penggemar yang mencapai miliaran jumlahnya, sepak bola bisa dimaknai begitu berbeda oleh orang satu dan yang lainnya. Ada yang menonton sepak bola karena menyukai tim tertentu, ada pula yang melakukannya karena terkagum-kagum akan kemolekan fisik para pemainnya. Ada lagi sebagian orang yang menonton sepak bola karena terpaksa, mungkin karena itu memang sudah tugasnya.
Namun, satu hal yang pasti. Sepak bola ditonton karena ia adalah salah satu olahraga kompetitif yang mudah untuk dicerna. Sebelas orang melawan sebelas orang, di mana masing-masing tim berusaha sekuat tenaga untuk lebih banyak mencetak gol ke gawang lawan. Syaratnya, tidak boleh main kasar, tidak boleh pakai tangan, tidak boleh offside --oke, aturan ini memang paling ribet, tetapi tidak sampai seribet traveling di bola basket.
ADVERTISEMENT
Intinya begitu. Sepak bola adalah sebuah kompetisi. Namun, apa yang terjadi ketika sebuah tim berhenti memberi perlawanan kepada tim lainnya? Mau jadi apa sepak bola?
Paris Saint-Germain adalah tim perusak tatanan kompetitif di Liga Prancis. Hal ini sudah terjadi selama sedikitnya enam tahun. Dengan harta melimpah (dan bantuan dari UEFA), mereka memanipulasi kompetisi Ligue 1. Pemain-pemain hebat, yang dalam situasi normal takkan datang ke Prancis, berhasil mereka angkut. Ligue 1 pun jadi milik PSG, yang lain hanya menumpang.
Dalam perjalanannya menguasai Ligue 1 ini, PSG sebenarnya sempat mendapatkan dua tantangan berat. Pertama, dari Montpellier yang berhasil merebut gelar juara pada musim 2011/12. Musim itu adalah musim di mana Qatar Sports Investment mengambil alih kepemilikan PSG. Namun, apa yang dicapai Montpellier itu bisa terjadi karena pada waktu itu proyek QSI di PSG belum betul-betul matang.
ADVERTISEMENT
Baru pada musim berikutnya PSG mulai mendominasi. Di masa-masa ini, muncul satu klub spesial yang, dengan pemain-pemain muda potensialnya, mampu mencuri satu gelar dari PSG yang semestinya bisa secara otomatis didapatkan. Peristiwa pencurian ini terjadi pada musim 2016/17 dan pelakunya adalah Monaco.
Mulai dari situlah Monaco kemudian dipandang sebagai sebuah harapan. Di tengah dominasi --yang mungkin sudah pantas disebut sebagai hegemoni-- PSG itu, Monaco muncul untuk memuaskan dahaga akan kompetisi sejati di Ligue 1. Hal itu sebetulnya masih tampak pada musim lalu ketika Monaco yang kehilangan Benjamin Mendy, Kylian Mbappe, Tiemoue Bakayoko, dan Bernardo Silva sanggup finis sebagai runner-up.
Di musim 2017/18 itu, Monaco terlihat ngos-ngosan, tetapi benih-benih regenerasi mulai tampak dengan kemunculan pemain-pemain macam Rony Lopes. Oleh karena itu, Monaco musim ini pun masih dilihat sebagai penantang terbesar PSG, terutama karena mereka cukup aktif berbelanja. Benjamin Henrichs, Aleksandr Golovin, Samuel Grandsir, dan Antonio Barreca diharapkan mampu jadi pengawal era baru Monaco.
ADVERTISEMENT
Namun, di saat yang bersamaan, Monaco juga harus kehilangan lebih banyak lagi pemain. Thomas Lemar, Fabinho, Rachid Ghezzal, Joao Moutinho, Keita Balde Diao, semua angkat kaki dari Stade Louis II. Monaco tidak mampu mengintegrasikan nama-nama baru untuk mengisi lubang menganga yang ditinggalkan pemain-pemain tadi.
Kylian Mbappe-Lottin memukau  (Foto: Ralph Orlowski/Reuters )
zoom-in-whitePerbesar
Kylian Mbappe-Lottin memukau (Foto: Ralph Orlowski/Reuters )
Kini, Monaco terjerembab di posisi kedua dari bawah klasemen. Dari 13 pertandingan, mereka cuma menang sekali, yakni pada pekan pertama menghadapi Nantes. Setelah itu, Monaco terus terjungkal dan terjungkal sampai akhirnya Leonardo Jardim, pelatih yang membawa mereka ke semifinal Liga Champions 2016/17, dipecat.
Jardim diberhentikan, Thierry Henry diangkat. Keputusan ini memang mengandung risiko karena Henry memang belum punya pengalaman melatih di level tertinggi. Sebelum ini, dia 'hanya' berstatus sebagai asisten Roberto Martinez di Timnas Belgia. Namun, Henry punya keunggulan tersendiri karena dia paham betul pemain-pemain yang ada di Monaco sekarang. Setidaknya begitu menurut wakil presiden klub, Vadim Vasilyev.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, di bawah Henry, Monaco belum kunjung beranjak dari keterpurukan. Mereka tetap belum bisa menang baik di Ligue 1 maupun Liga Champions. Teranyar, pada Senin (12/11/2018) dini hari WIB, mereka dihajar empat gol tanpa balas oleh PSG.
Monaco kalah telak dari PSG itu hal yang sebelumnya sudah pernah terjadi. Saat Monaco juara Ligue 1, misalnya, mereka juga harus menelan kekalahan 1-4 di final Coupe de la Ligue serta 0-5 di semifinal leg pertama Piala Prancis. Jadi, itu bukan hal mengejutkan.
Akan tetapi, yang membuat kekalahan terbaru ini berbeda adalah cara pemain Monaco menyikapi pertandingan. Usai dihantam Club Brugge 0-4 di Liga Champions pekan lalu, Henry sudah pernah berkata bahwa para pemain Monaco seperti sudah kalah sebelum bertanding dan akhirnya mereka terlihat ogah-ogahan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Pelatih Monaco, Thierry Henry, menyaksikan Radamel Falcao berjalan ke bangku cadangan. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Monaco, Thierry Henry, menyaksikan Radamel Falcao berjalan ke bangku cadangan. (Foto: Reuters/Eric Gaillard)
Hal yang sama terjadi di laga kontra PSG. Sampai-sampai, pelatih PSG Thomas Tuchel berkata, "Situasi yang ada sekarang memang sulit untuk Thierry Henry. Mereka benar-benar tidak mampu memberi kami perlawanan."
Para pembaca yang budiman, pernyataan Tuchel itu adalah pertanda bahwa laju sejarah sepak bola Prancis sedang berhenti. Seperti kata ilmuwan politik Amerika, Francis Fukuyama, ini adalah the end of history karena PSG, sebagai ide utama, berhenti mendapat perlawanan dari antitesis-nya yang bernama Monaco.
Lalu, apa yang membuat laju sejarah sepak bola Prancis itu berhenti? Fukuyama, dalam 'The End of History and the Last Man' berargumen bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah bab terakhir dari evolusi sosial budaya manusia. Menurutnya, tak ada lagi ide yang bisa mengalahkan demokrasi liberal tadi.
ADVERTISEMENT
Namun, Fukuyama salah. Atau, setidaknya, dia banyak dikritik. Argumen para kritikus ini sangat banyak, mulai dari kebangkitan Islam radikal sampai korupsi yang menggerogoti negara-negara penganut demokrasi liberal. Pendek kata, apa yang dicetuskan Fukuyama tadi tidak bisa dilihat sebagai sebuah kebenaran hakiki.
Walau demikian, demi menghindari argumen lebih lanjut, marilah kita sepakat bahwa saat ini, laju sejarah di sepak bola Prancis sedang berhenti. PSG adalah raja yang rasanya bakal berkuasa dalam waktu lama. Marseille dan Lyon masih berusaha untuk bangkit dengan modal seadanya. Sedangkan, Monaco situasinya sedang begitu.
Situasi di Ligue 1 itu tentunya masih akan bisa berubah. Namun, saat ini, apa yang terjadi persis seperti yang dikatakan Fukuyama 26 tahun silam. Sejarah tengah berhenti berprogres.
ADVERTISEMENT
Selebrasi gol pemain PSG (Verratti, Neymar, dan Cavani) kala bersua FK Crvena Zvezda. (Foto: REUTERS/Charles Platiau)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi gol pemain PSG (Verratti, Neymar, dan Cavani) kala bersua FK Crvena Zvezda. (Foto: REUTERS/Charles Platiau)
Untuk menjelaskan mengapa Monaco bisa terpuruk, sebenarnya kita harus kembali ke kebijakan transfer mereka tadi. Sederhananya, para pemain yang didapuk sebagai pengganti tidak bisa menutup gap kualitas dengan para pendahulunya. Nacer Chadli, misalnya, gagal bersinar dan cuma bermain tujuh kali musim ini di Ligue 1.
Selain pemain yang tampil buruk, sebab lain adalah badai cedera. Stevan Jovetic dan Golovin, misalnya, baru memainkan total 11 pertandingan di antara mereka. Padahal, Ligue 1 sudah memasuki pekan ke-13. Tak pelak, Henry pun kudu mengandalkan banyak pemain pelapis yang kualitasnya cukup jauh dengan para pemain utama.
Situasi ini diperparah dengan buruknya penampilan sosok-sosok senior macam Radamel Falcao, Kamil Glik, Jemerson, serta Djibri Sidibe. Jadi, pada prinsipnya, Henry sampai sejauh ini gagal karena dia mewarisi tim yang bobrok. Suasana tak kondusif sejak awal musim akhirnya berpengaruh pada mental pemain dan situasi tim pun jadi seperti ini.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, Henry kini cuma punya satu misi. Yakni, mengembalikan keberanian Monaco dalam menghadapi pertandingan. Salah satu caranya adalah dengan memberi kesempatan pada debutan-debutan berusia belasan. "Pemain-pemain muda ini tidak punya rasa takut. Mungkin merekalah yang kami butuhkan sekarang," kata Henry usai timnya diihajar Brugge.
Namun, upaya Henry ini tidak akan mudah. Pasalnya, masalah mental Monaco untuk saat ini tampak sudah terlalu akut. Plus, situasi klub secara umum sedang tidak sehat, khususnya usai sang pemilik, Dmitry Ryobovlev, dicokok polisi atas kasus korupsi. Barangkali, saat ini yang dibutuhkan Henry bukan cuma keberanian, tetapi juga keajaiban.