Class of 95 dan Jejak Ajax Amsterdam di Liga Champions

18 Desember 2018 21:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Louis van Gaal di sebuah konferensi pers. (Foto: Philippe Desmazes/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Louis van Gaal di sebuah konferensi pers. (Foto: Philippe Desmazes/AFP)
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Ajax Amsterdam menjadi raksasa Eropa diawali dengan keberhasilan mereka mengalahkan Real Madrid. Keberhasilan Ajax mengalahkan Madrid diawali dengan kegigihan Louis van Gaal untuk keluar dari bayang-bayang Johan Cruyff.
ADVERTISEMENT
Tak ada ucapan selamat datang yang membangkitkan gairah merengkuh gelar juara di awal kedatangan Van Gaal ke Ajax pada 1991. Yang ada justru pertentangan. Bahkan media setempat, De Telegraaf, merilis satu tulisan yang pada dasarnya menuntut Van Gaal sadar diri dan segera angkat kaki dari Ajax karena yang diinginkan oleh orang-orang Amsterdam adalah kembalinya sang legenda hidup, Cruyff.
Penolakan ini beralasan. Van Gaal bukan sosok berpengalaman yang dianggap pantas untuk mengemban tugas mahamulia ini. Apa boleh bikin, predikat mulia berbarengan dengan tanggung jawab tak ringan dan tak sedap.
Kau boleh membusungkan dada dan berteriak lantang “Hei, sekarang saya bos di sini, atau “Saya pelatih dan kalian harus menurut omongan saya,“ bahkan “Saya ini pelatih yang akan mempersembahkan gelar juara untuk klub ini.” Tapi begitu kau tergelincir sedikit saja, maka tamatlah riwayatmu dengan segala omong besarmu.
ADVERTISEMENT
“Ajax bukan hanya sekadar tim 1990-an, mereka hampir menjadi utopia sepak bola. Konsep sepak bola mereka adalah gabungan dari permainan indah dan kekuatan fisik. Mereka adalah Beauty and the Beast sesungguhnya,” seperti itulah komentar Jorge Valdano, pelatih Real Madrid pada 1995, menyoal kekuatan Ajax--dikutip dari FourFourTwo.
Valdano tidak ujug-ujug bicara soal Ajax. Komentar Valdano tidak cuma lahir dari pengamatan lewat siaran televisi atau pertandingan-pertandingan yang ditontonnya secara langsung. Komentar itu lahir dari pengalaman, saat tim asuhannya diganjar dengan dua kekalahan di babak grup Liga Champions 1995/96.
Ajax Amsterdam (Foto: ajax.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Ajax Amsterdam (Foto: ajax.nl)
Van Gaal adalah anak kandung dari kedisiplinan khas Belanda. Van Gaal dibesarkan oleh didikan religius yang kelewat saklek. Gaya hidup yang demikian dibawanya sampai ke lapangan bola. Jangan harap anak-anak asuhnya bisa hidup atau berlaku seenaknya selama ia melatih. Untuk memahami kedisiplinan Van Gaal kita hanya perlu menghabiskan waktu dua hingga tiga menit dengan mesin pencari internet dan menemukan petikan-petikan wawancara pemain-pemain yang pernah dididiknya.
ADVERTISEMENT
Kedisiplinan yang dibawa Van Gaal di atas lapangan tidak cuma berakar dari gaya hidupnya sejak kecil. Kedisiplinan itu adalah hasil kawin silang antara didikan keluarga dan cara orang-orang Belanda bertahan hidup di wilayahnya yang sempit dan dikelilingi oleh perairan. Kondisi yang seperti itu membuat orang-orang Belanda harus disiplin merawat tanah dan menata ruang yang ada.
Total football-nya orang-orang Belanda itu pun lahir dari pemikiran serupa. BAgaimana memanfaatkan ruang di lapangan bola yang tidak pernah melebar atau menyempit, tapi acap diisi oleh orang-orang yang beringas di atas lapangan.
Yang ditekankan dengan teramat sangat oleh Van Gaal adalah setiap pemainnya harus mau dan sanggup memainkan peran apa pun demi mempertahankan struktur formasi selama laga berlangsung. Ketika mereka kehilangan bola, mereka akan diminta untuk menekan lawan dengan padu supaya dapat merebut bola secepat mungkin. Maka, untuk mendukung gaya permainannya itu setiap pemain membutuhkan bakat yang disusun oleh kecerdasan dan kekuatan fisik serta satu hal yang tak kalah penting, daya tahan.
ADVERTISEMENT
Benar Van Gaal membutuhkan talenta-talenta brilian dan muda sekaligus. Tapi, memiliki talenta saja tak cukup. Siapa pun yang ingin berkembang di bawah asuhan Van Gaal adalah pemain yang punya daya tahan, dalam hal ini kerelaan untuk memainkan peran apa pun di atas lapangan (ingat, peran, bukan posisi).
Artinya, jangan harap kau bisa merengek-rengek karena peran yang diinstruksikan oleh Van Gaal tidak sesuai dengan harapanmu. Kepelatihan Van Gaal adalah kepelatihan yang menolak pemain yang hanya mau mengerjakan apa yang disukainya.
Profesionalisme adalah nilai yang mesti dipegang teguh oleh siapa pun yang ada dalam timnya. Artinya, bersama Van Gaal kau tidak akan selalu mendapatkan yang kau inginkan, tapi kau akan mendapatkan yang kau butuhkan sebagai bagian dari tim.
ADVERTISEMENT
Jika kau anti dengan nilai ini, silakan angkat kaki dan temukan tim yang bisa memenuhi keinginanmu atau tim yang acap membuatmu mengerjakan apa yang kau sukai. Toh kalau kau memang berbakat, pasti akan ada tim yang mau menampungmu.
Suporter Ajax Amsterdam. (Foto: Wikimedia Commons.)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Ajax Amsterdam. (Foto: Wikimedia Commons.)
Madrid di musim 1995/96 bukanlah Madrid yang kelewat menakutkan. Benar mereka baru menutup musim 1994/95 dengan gelar juara La Liga. Tapi, musim 1995/96 itu adalah musim transisi dari kepelatihan Valdano ke Fabio Capello di musim selanjutnya. Namun demikian, bukan berarti Madrid nihil pemain-pemain muda potensial. Itu adalah musim kedua bagi nama besar macam Raul Gonzales, Fernando Hierro, atau Fernando Redondo.
Karena ada banyak hal yang dituntut oleh Van Gaal dalam timnya, ia lebih suka untuk membentuk pabrikan pemainnya sendiri ketimbang mendatangkan nama-nama besar yang sudah matang. Maka, jangan heran bila melihat daftar pemain Ajax besutan Van Gaal yang didominasi oleh pemain-pemain Belanda. Bahkan saat menjejak ke laga final Liga Champions 1994/95 melawan Milan, hanya ada dua empat pemain yang usianya di atas 25 tahun -termasuk Danny Blind dan Frank Rijkaard yang sudah veteran-- dan tiga orang remaja di timnya.
ADVERTISEMENT
Van Gaal tidak asa-asalan membentuk pemainnya. Segala macam ahli didatangkan. Bahkan, untuk memperbaiki teknik berlari anak-anaknya saja, Van Gaal sampai memperkerjakan pelatih lari dan mantan pemain basket, Laszlo Jambor. Bahkan demi meningkatkan fleksibilitas fisik para pemain, staf kepelatihan juga acap menyarankan mereka melakoni olahraga selain sepak bola.
Untuk mengukur efisiensi setiap latihan, setiap pemain harus memakai monitor denyut jantung sementara lemak tubuh dicek berulang kali. Sepintas, hal-hal macam itu lebih terlihat sebagai kerumitan belaka. Namun, dari detail-detail macam itulah Van Gaal membangun Ajax menjadi raja muda di eropa sana.
Datang ke Liga Champions 1995/96 sebagai juara bertahan, Ajax sudah harus berhadapan dengan Madrid di fase grup. Laga leg pertama tidak berjalan dengan mudah walaupun dihelat di kandang Ajax. Kemenangan tipis 1-0 itulah yang menjadi buktinya. Gol tunggal di laga itu dicetak oleh Marc Overmars di menit 14. Sementara, pertandingan leg kedua yang berlangsung di Santiago Bernabeu berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk tim bentukan Van Gaal.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pertanyaan, jika Ajax memang tim yang menjanjikan mengapa laga itu tidak ditutup dengan skor yang spektakuler? Jawabannya, karena Ajax bukan tim yang kelewat ambisius untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya. Ajax adalah tim yang bermain dalam pola yang mengantarkan mereka pada kemenangan yang dibutuhkan. Ya, serupa teknik arsitektur Belanda yang mengharuskan siapa saja tidak berboros-boros lahan, maka permainan Ajax di kedua laga itu juga bukan permainan yang menghambur-hamburkan serangan dan tenaga.
Pada dasarnya, ada dua formasi yang digunakan oleh Van Gaal, 3-4-3 dan 4-3-3 walaupun skema yang disebut pertamalah yang paling dominan dipakai. Di sepanjang laga, seluruh pemain harus bergerak mengikuti pola yang sudah dirancang oleh Van Gaal. Misalnya ada pemain yang harus turun untuk menerima bola, maka pemain lain harus berlari ke arah gawang.
ADVERTISEMENT
Nah, pemain-pemain sayap juga mesti bersiaga dengan untuk berulang kali lari ke depan supaya dapat membuka ruang dan menerima umpan-umpan panjang dari area belakang. Sementara gelandang punya tugas untuk melindungi para pemain sayap dengan berdiri di belakang mereka setiap saat. Jika satu sisi serangan tumpul, maka mereka harus mengarahkan bola ke sisi berlawanan secepat-cepatnya.
DI laga melawan Madrid ini, Van Gaal bermain dalam pakem 3-4-3. Winston Bogarde diinstruksikan sebagai sweeper sehingga mampu menjadi sosok yang acap mengacaukan serangan pemain-pemain Madrid terutama di area sepertiga akhir. Sementara, yang bertugas untuk menjaga penyerang-penyerang lawan adalah duet bek sayap, Michael Reiziger dan Franck de Boer. Dengan begini, Bogarde akan lebih leluasa untuk memulai aliran bola dari area belakang.
ADVERTISEMENT
Peran Reizeger dan Franck yang mengawal dua penyerang Madrid membuat pemain-pemain sayap Madrid akan memiliki area yang lebih leluasa untuk menyerang ke depan. Tapi, tenang, Van gaal punya solusinya. Ia akan menginstruksikan dua gelandang tengahnya, Edgar Davis dan Ronald de Boer, untuk tetap menjaga pemain-pemain sayap ini.
Oke, persoalan pertama selesai. Persoalan kedua, karena Davis dan Ronaldo bertugas untuk menguntit pemain sayap, tentu ia akan meninggalkan Martijn Reuser di tengah sendirian dan menghadapi kemungkinan akan berhadapan dengan lebih dari satu pemain tengah. Untuk mengantisipasi situasi ini, Van Gaal menugaskan Jari Litmanen yang mengambil posisi di depan duet Davis-Ronald untuk bermain lebih dalam demi membantu Reuser di lini tengah.
ADVERTISEMENT
Berpindah ke lini serang, dua pemain sayap diharuskan untuk memiliki kecepatan dan kekuatan fisik mumpuni karena mereka akan kerap bergerak aktif untuk membuka ruang. Sementara, yang bertugas sebagai penyerang tengah adalah Nwankwo Kanu.
Di benak kepelatihan Van Gaal, sepak bola adalah murni olahraga tim yang membikin para pemainnya saling bergantung. Seorang pemain harus menyadari apa yang menjadi perannya dan melakukan tugasnya itu untuk disiplin. Siapa pun yang menjejak ke arena mesti bertanding dengan kesadaran bahwa mereka tidak ada di satu tim untuk kepentingan pribadi.
Berbekal pemahaman seperti itulah, Ajax memenangi laga leg pertama melawan Madrid. Gol tunggal Overmars yang lahir di menit 14 itu diawali dengan kepiawaian Franck mengosongkan area sayap kiri tempat Overmars memulai aksi individunya sebelum akhirnya melesakkan tembakan dari luar kotak penalti.
ADVERTISEMENT
Begitu pula di laga leg kedua. Pertandingan yang berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk Ajax itu lahir berkat dua gol yang sama-sama dibangun dari area sayap kanan. Proses golnya cenderung mirip. Pemain-pemain Ajax berusaha untuk memancing lawan untuk memenuhi area sayap kanan sehingga meninggalkan satu pemain tanpa kawalan di area tengah pertahanan lawan. Begitu pemain yang diproyeksikan sebagai penyelesai akhir mendapat ruang yang cukup, bola langsung dikirimkan dan ditutup dengan lesakan yang tak mampu diamankan oleh penjaga gawang. Adapun, dwigol di laga ini ditorehkan oleh Litmanen dan Patrick Kluivert.
Perjalanan Ajax di Liga Champions 1995/96 itu bukan perjalanan yang mudah. Pasalnya, berbagai masalah di luar sepak bola menimpa sejumlah pemain usai menutup musim 1994/95 sebagai juara Eropa. Kluivert dinyatakan bersalah karena menyebabkan kecelakaan mobil yang fatal. Alhasil, ia tak hanya harus berjuang di atas arena, tapi juga melawan rasa bersalah dan depresi. Sementara, Finidi George yang menjadi penyerang sayap kanan andalan Van Gaal itu juga harus berhadapan dengan kenyataan pahit, saudaranya ditembak mati di Nigeria. Itu belum ditambah dengan cedera yang mendera Overmars.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kemenangan atas masalah-masalah tadi yang dilanjutkan dengan kemenangan atas Madrid yang berakhir dengan tepuk tangan meriah dari para penghuni Bernabeu itu tidak terus-terusan terjadi hingga di laga final. Di partai puncak, Ajax menutup laga melawan Juventus dengan skor imbang 1-1. Babak adu penalti menjadi penentu. Van Gaal gagal mengantarkan timnya merengkuh mahkota sepak bola Eropa dalam dua musim berturut-turut.
Class of 1995 Ajax ibarat catatan sejarah. Tak dilupakan walau sebagian besar orang menganggap tak akan mungkin terulang lagi. Namun, sepak bola adalah sepak bola. Ia berkawan akrab dengan kejutan. Bukannya tidak mungkin di Liga Champions 2018/19 ini sepak bola muak dengan juara yang itu-itu saja sehingga menghadirkan kisah lama yang datang dalam wujudnya yang baru: Ajax sang raksasa Eropa.
ADVERTISEMENT