Dari Zaman Kuda Gigit Besi, Man United Sudah Jadi Komoditi Seksi

16 Oktober 2018 15:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Manchester United juara Piala FA 1909 di bawah kepemilikan John Henry Davies (paling kanan, mengenakan top hat). (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Manchester United juara Piala FA 1909 di bawah kepemilikan John Henry Davies (paling kanan, mengenakan top hat). (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Manchester United adalah klub yang lahir dari sebuah kemujuran. Tanpanya, United bisa jadi bakal mati bahkan sebelum nama mereka berubah menjadi Manchester United.
ADVERTISEMENT
Abad ke-20 baru memasuki tahun keduanya ketika seorang pria bernama Harry Stafford dilanda sebuah kecemasan besar. Stafford adalah kapten Newton Heath dan dia adalah orang yang merasa paling bertanggung jawab atas masa depan klub tersebut. Pada tahun 1901 tersebut, Newton Heath sedang berlaga di Divisi Dua dan terbenam dalam utang yang nilainya mencapai 2.670 poundsterling -- sekitar 320 ribu poundsterling di tahun 2018 ini.
Stafford sebenarnya sudah berusaha keras. Setiap pekannya, dia mengajak anjing St. Bernard kesayangannya, Major, untuk menarik uang iuran dari para suporter klub. Di leher Major selalu tergantung sebuah kantong kecil tempat uang iuran dimasukkan. Akan tetapi, cara demikian tidak cukup untuk menyelamatkan Newton Heath dari utang yang kian membengkak seiring berjalannya waktu.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, Stafford punya ide. Alih-alih melakukan penggalangan dana secara sporadis, dia memilih untuk menggelar sebuah bazar di sebuah aula di Oxford Street. Di sana, Stafford berpikir bahwa penggalangan dana bisa dilakukan dengan lebih mudah dan terpusat. Pejabat-pejabat dan orang berada diundang demi mengumpulkan dana 1.000 poundsterling. Tidak cukup untuk menutup utang sepenuhnya, tetapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Namun, bazar itu tak berjalan sesuai harapan. Para pejabat memang datang, tetapi tidak dengan orang-orang lainnya. Alhasil, 1.000 poundsterling di benak Stafford itu tinggal angan-angan.
Situasi semakin memburuk bagi Stafford ketika dia kemudian menyadari Major telah hilang. Yang tak diketahui Stafford saat itu adalah hilangnya Major itu bakal menjadi awal dari terselamatkannya Newton Heath, meski segala identitas dari klub tersebut nantinya bakal berubah drastis.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah bazar yang sepi peminat itu, Major memilih untuk berjalan-jalan sendirian. Sampai akhirnya, dia ditemukan oleh seorang pemilik pub bernama Tuan Thomas. Pub milik Thomas itu adalah pub yang lisensinya dipegang oleh seorang hartawan bernama John Henry Davies.
Singkat cerita, ditemukannya Major itu membawa Stafford ke hadapan Davies. Bersama beberapa investor lain, Davies kemudian melunasi utang-utang Newton Heath dan mulai melakukan re-branding terhadap klub tersebut.
Warna klub diganti dari hijau-kuning menjadi merah-putih dan nama baru pun dicari. Awalnya, Manchester Central dan Manchester Celtic sempat dipertimbangkan, sampai seorang suporter berusia 19 tahun, Louis Rocca, mengusulkan nama yang bertahan sampai kini: Manchester United.
Investasi yang dilakukan oleh Davies itu akhirnya jadi peletak fondasi atas segala keberhasilan Manchester United, bahkan sampai di abad ke-21. Salah satu hal terpenting yang dilakukan oleh pengusaha bir itu adalah memastikan keberadaan stadion baru. Davies memastikan Manchester United tak lagi harus bermain di Bank Lane karena pada 1909 dia telah memulai pembangunan Old Trafford.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Old Trafford inilah yang jadi kunci stabilitas Manchester United. Pada era di mana hak siar televisi sama sekali belum dikenal, pendapatan tiket masuk stadion adalah segalanya. Old Trafford, dengan kapasitasnya yang besar itu, mampu menjaga Manchester United untuk selalu bisa berdiri tegak. Soal prestasi, memang ada pasang-surut, tetapi mereka selalu mampu bangkit karena modal yang mereka punyai sudah cukup besar.
Old Trafford, kandang United (Foto: Richard Heathcote/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Old Trafford, kandang United (Foto: Richard Heathcote/Getty Images)
Percaya tidak percaya, sejak Old Trafford berdiri, Manchester United sama sekali tidak pernah memiliki utang. Ketika Davies wafat pada 1927, United memang sempat hampir mengalami kebangkrutan lagi, tetapi kemudian diselamatkan oleh James W. Gibson. Nantinya, dari tangan Gibson, kepemilikan United sempat berpindah tangan ke sang istri, Lilian, dan sang putra, Alan, sebelum kemudian dijual kepada Martin Edwards.
ADVERTISEMENT
Di bawah Edwards, Manchester United meraih kejayaan dengan bimbingan dan gemblengan Sir Alex Ferguson. Akan tetapi, di masa kepemilikan Edwards itu pulalah United mulai menjadi rebutan orang-orang kaya lainnya. Pada 1984, misalnya, pemilik Mirror Group, Robert Maxwell, berusaha untuk melakukan takeover, tetapi gagal karena penawarannya tidak sesuai permintaan Edwards.
Lima tahun setelah takeover Maxwell yang gagal itu, giliran Edwards yang berupaya untuk melego Manchester United ke tangan Michael Knighton dengan nilai 20 juta poundsterling. Pada masa itu, angka tersebut adalah yang tertinggi dalam sejarah sepak bola Inggris. Namun, lagi-lagi penjualan ini tak terwujud, meski Knighton akhirnya menjadi salah satu anggota direksi klub.
Pada 1991, Manchester United akhirnya dilepas ke lantai bursa dan dari sana mereka berhasil mendapatkan dana sampai 6,7 juta poundsterling. Tak lama kemudian, Premier League mulai digulirkan dan Manchester United pun baru benar-benar jadi kekuatan dominan di persepakbolaan Inggris. Inilah yang kemudian membuat Rupert Murdoch tertarik untuk membeli klub tersebut.
ADVERTISEMENT
Kala itu, jajaran direksi United sudah menyetujui tawaran Murdoch -- yang dilakukan via British Sky Broadcasting -- sebesar 623 juta poundsterling. Upaya Murdoch itu akhirnya gagal karena diblok oleh Komite Kompetisi yang berada di bawah Departemen Bisnis, Inovasi, dan Kemampuan. Alasannya, karena pembelian Manchester United itu dianggap akan terlalu menguntungkan Sky dalam pertarungan bisnis dengan saluran-saluran lain.
Rupert Murdoch. (Foto: Reuters/Jason Reed)
zoom-in-whitePerbesar
Rupert Murdoch. (Foto: Reuters/Jason Reed)
Sampai akhirnya, takeover Glazer itu pun terjadi pada 2005. Sejak saat itu, Manchester United pun menjadi sapi perah bagi Malcolm serta dua anaknya, Avram dan Joel. Kedatangan keluarga Glazer itu membuat Manchester United jadi memiliki utang untuk pertama kalinya dalam seabad. Jumlahnya pun tak main-main, yakni 790 juta poundsterling.
Takeover yang dilakukan oleh Glazer, seperti halnya upaya takeover dari Murdoch itu, sebenarnya sudah mendapatkan tentangan luar biasa dari para suporter. Bahkan, beberapa suporter yang terlibat dalam protes takeover Murdoch tadi kemudian terlibat pula dalam protes melawan takeover Glazer. Sayangnya, upaya mereka melawan agresivitas Glazer sama sekali tak berhasil.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, Manchester United masih berada di bawah kepemilikan Glazer dan menurut hitung-hitungan seorang akuntan bernama Andy Green pada 2015, Glazer sudah mengantongi uang sebesar 1 miliar poundsterling. Besarnya jumlah keuntungan inilah yang ditengarai membuat Glazer menolak untuk melepas Manchester United meski sudah ada tawaran 3 miliar poundsterling dari Pangeran Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MbS).
Dari catatan perjalanan kepemilikan Manchester United di atas, bisa dilihat bahwa sepanjang sejarahnya, klub ini sama sekali tak pernah kekurangan peminat. Dari awal saja, Davies sudah melihat bahwa Newton Heath punya potensi untuk jadi klub besar dan dia sama sekali tidak salah. Prediksi itu akhirnya terbukti jauh setelah dia meninggal dunia.
Mulai dari Maxwell, Knighton, Murdoch, Glazer, bahkan keluarga Gaddafi yang sempat hampir melakukan takeover terhadap Manchester United sebelum Glazer, semua melihat klub ini sebagai ladang uang. Pendapatan 1 miliar poundsterling yang diraih Glazer tadi tentu bisa jadi patokan. Apalagi, di era modern ini Manchester United sudah memiliki jenama yang begitu kuat dan nilai saham yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Joel (kiri) dan Avram Glazer. (Foto: AFP/Oli Scarff)
zoom-in-whitePerbesar
Joel (kiri) dan Avram Glazer. (Foto: AFP/Oli Scarff)
Saat ini, nilai saham per lembar United ada di angka 24,60 poundsterling dan itu membuat nilai total klub berada di angka 4 miliar poundsterling. Perlu dicatat bahwa jumlah tersebut diraih ketika United sedang kering prestasi. Artinya, klub ini sebenarnya tidak butuh prestasi untuk terus menjadi klub paling bernilai di dunia karena citra mereka sudah telanjur begitu kuat.
Tentu saja, citra United yang kuat itu bisa ada karena prestasi. Namun, ada hal-hal lain, seperti beragam cerita kepahlawanan yang terus direproduksi dan dimonetisasi, yang membuat Manchester United tetap bisa meraup untung meskipun permainannya di atas lapangan begitu menjemukan. Pendek kata, Manchester United adalah perlambang kesuksesan, kejayaan, keglamoran, dan itu tidak bisa disamai oleh klub mana pun.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana dengan MbS? Apakah Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi itu memang membutuhkan Manchester United untuk meraup keuntungan finansial? Well, bisa jadi tidak. Sebab, umumnya pemilik klub dari Timur Tengah punya pandangan berbeda ketika mereka berusaha masuk ke sepak bola Eropa.
Manchester City dan Paris Saint-Germain, dua klub yang dikenal karena investasi besar-besaran dari Timur Tengah itu, sebenarnya tak lebih dari sekadar mesin cuci. City digunakan oleh emirat Abu Dhabi pimpinan keluarga Al Nahyan untuk membersihkan citra kotor yang dimiliki rezim tersebut. PSG dengan gelontoran duit dinasti Al Thani dari Qatar pun setali tiga uang.
Citra kotor kedua rezim tersebut erat kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia. Penangkapan orang-orang yang dianggap subversif serta penyiksaan terhadap mereka dianggap sebagai dua noda rezim Abu Dhabi yang paling besar. Akan tetapi, Manchester City sampai sekarang berhasil menjernihkan citra buram tersebut. Apalagi, duit dari Abu Dhabi itu juga digunakan untuk merevitalisasi wilayah kota tempat City berada.
ADVERTISEMENT
Dari Qatar, situasinya agak sedikit berbeda di mana dosa terbesar pemerintah adalah pembunuhan terstruktur terhadap para pekerja migran yang ikut membangun infrastruktur Piala Dunia 2022. Selain itu, hak-hak minoritas, termasuk kaum LGBT, juga mendapat represi habis-habisan dari Doha. Lewat PSG, khususnya transfer Neymar Junior yang memecahkan rekor dunia itu, Qatar berusaha membersihkan reputasinya.
Neymar bersama Nasser Al Khelaifi. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
zoom-in-whitePerbesar
Neymar bersama Nasser Al Khelaifi. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
Ini tak berbeda dengan kasus MbS. Meski dikenal sebagai sosok progresif, MbS sebenarnya punya beberapa dosa, seperti agresi militer ke Yaman dan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Membeli Manchester United dan melakukan renovasi besar-besaran terhadap klub itu adalah langkah strategis yang masuk akal bila dilakukan oleh MbS.
Selain masuk akal, langkah itu juga sebenarnya tidak mengejutkan jika dilakukan oleh MbS. Sebab, putra Raja Salman bin Abdul Aziz itu selama ini dikenal dekat dengan putra mahkota Abu Dhabi, Muhammad bin Zayid Al Nahyan, yang merupakan kakak dari Syekh Mansour bin Zayed Al Nahyan. Terlebih, saat ini Arab Saudi -- bersama Uni Emirat Arab -- juga sedang berseteru dengan Qatar.
ADVERTISEMENT
Manchester United, lagi-lagi, 'beruntung' karena Glazer masih belum mau melepas klub kelahiran 1878 tersebut. Barangkali, karena duit 3 miliar poundsterling yang disodorkan MbS itu memang belum sesuai dengan valuasi klub di bursa saham, atau bisa juga karena Manchester United adalah anjungan tunai mandiri yang bisa dengan mudah diakses oleh mereka.
Apa pun alasan Glazer, Manchester United tetap 'beruntung', karena jika mereka sampai lepas ke tangan MbS, itu artinya 'Iblis Merah' akan terlibat dalam sebuah perang proksi soft power Timur Tengah yang semestinya tak ada sangkut pautnya dengan mereka. Setidaknya, di bawah kendali Glazer, citra United tidak kemudian tereduksi menjadi kendaraan politik seorang pangeran yang reputasinya tidak bersih.
Pada akhirnya, sekali lagi, Manchester United adalah klub yang lahir dari kemujuran dan sampai sekarang kemujuran itu masih menaungi mereka meskipun tuahnya secara gradual terus menurun dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT