Derby della Mole: Tentang Siapa yang Berkuasa di Turin

22 September 2017 19:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Derby della Mole di tahun 1960-an. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Derby della Mole di tahun 1960-an. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Inter Milan boleh saja menyebut mereka sebagai rival sejati Juventus lewat Derby d'Italia. Pun dengan AC Milan yang sah-sah saja mengklaim diri mereka sebagai pesaing terberat Juventus soal kesebelasan Italia dengan gelar terbanyak di semua kompetisi.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi Juventus, lawan mereka yang sebenar-benarnya adalah Torino, yang juga berasal dari Turin. Pertandingan antar kedua kesebelasan jamak disebut sebagai Derby della Mole, mengacu pada simbol Turin bernama Mole Antonelliana.
Bagi keduanya, Derby della Mole adalah ajang untuk membuktikan diri. Lewat kemenangan di Derby della Mole, Juventus membuktikan bahwa mereka adalah borjuis yang paling hebat. Bagi Torino, hasil apik di Derby della Mole menunjukkan bahwa mereka adalah proletariat yang istimewa.
Juventus lahir dari bibit-bibit kaya yang bersekolah di Massimo D'Azeglio. Memasuki 1900-an, masuk pengusaha sapu tangan lokal bernama Marco Ajmone-Marsan. Kebesaran Juventus diperkuat dengan hadirnya korporasi bernama FIAT, yang secara tidak langsung memberi suntikan keuangan, sejak 1920-an.
Kekuatan finansial yang dimiliki oleh Juventus berbanding terbalik dengan apa yang dimiliki Torino.
ADVERTISEMENT
Torino didirikan pada 1906 di sebuah bar oleh orang-orang Football Club Torinese dan bekas petinggi Juventus, Alfred Dick. “Mereka (Torino) adalah kesebelasan kelas pekerja: baik dari provinsi atau negara tetangga, masyarakat kelas menengah dan orang-orang miskin,” kata novelis Italia, Mario Soldati di Le Due Citta.
Pertandingan pertama antara kedua kesebelasan dimulai pada 13 Januari 1907. Laga tersebut menjadi derby pertama yang digelar di Italia dan menjadi salah satu derby yang patut disarankan untuk ditonton, demikian menurut laporan footballderbies.com.
Meski lebih muda, Torino tidak selalu berada di bawah bayang-bayang Juventus. Sejarah pernah mencatat bahwa Torino pernah berjaya atas saudara tuanya tersebut.
Lewat sebuah proyek yang dipimpin oleh pria bernama Ferruccio Novo dan Valentino Mazzola, Torino menjejakkan namanya di Italia dengan sebutan Grande Torino. Proyek tersebut membuat Torino meraih lima gelar Serie A pada periode 1940-an.
ADVERTISEMENT
Kejayaan Grande Torino berakhir dengan tabrakan pesawat yang membawa rombongan Torino dengan lembah Superga atau yang sering disebut Tragedi Superga. Seiring dengan tragedi tersebut, berakhir pula dinasti yang juga menjadi tulang punggung Tim Nasional Italia saat itu.
Duel derby ini di tahun 1976. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Duel derby ini di tahun 1976. (Foto: Wikimedia Commons)
Menurunnya Torino jadi kesempatan bagi Juventus untuk mengambil kembali status penguasa Turin. Diasuh oleh pria Inggris bernama Jesse Carver, Juventus mendapatkan gelar juara Serie A Italia musim 1949/50, satu tahun setelah Tragedi Superga.
Kedigdayaan Juventus di Turin semakin lekat setelah itu. Torino yang mulai kehabisan bensin, mereka hanya dapat melihat Juventus dari kejauhan. Memasuki era 1950-an, Juventus semakin tak terkejar setelah mereka mendapatkan gelar bintang usai menjuarai empat Serie A melalui trio Omar Sivori, John Charles, dan Giampiero Boniperti.
ADVERTISEMENT
Dominasi Juventus tidak dapat dilawan oleh Torino di lapangan. Persaingan kedua kesebelasan dalam satu rumput yang sama selalu disudahi oleh kemenangan Juventus. Menurut John Foot, penulis buku ‘Calcio: A History of Italian Football’, hanya ada satu yang hal bisa dimenangi oleh Torino: baku hantam.
Para pemain Juventus merayakan gol. (Foto: Stringer/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Juventus merayakan gol. (Foto: Stringer/Reuters)
Torino mulai menanjak pada awal 1990-an. Mengandalkan pemain-pemain muda macam Luca Marchegiani, Enzo Scifo, dan Gianluigi Lentini, Torino mencapai final Piala UEFA 1991/92, meski harus mengakui keunggulan Ajax Amsterdam.
Musim berikutnya, Torino mendapatkan gelar Coppa Italia 1992/93 setelah mengalahkan AS Roma dengan agregat 5-5. Kala itu, mereka menang karena agresivitas gol tandang. Beberapa bulan setelahnya, Marchegiani hijrah ke Lazio, Scifo ke Monaco, dan Lentini ke AC Milan. Puncaknya, Torino pindah liga ke Serie B.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Juventus kembali menggamit kembali singgasananya di Turin. Torino bahkan sempat mengumumkan bahwa mereka kesulitan mencari dana untuk operasional musim 2004/05. Biar pun Juventus sempat turun ke Serie B, Torino tetap tak mampu mengembalikan nama besarnya di Turin.
Salah satu andalan Torino, Adem Ljajic. (Foto: Reuters/Giorgio Perottino)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu andalan Torino, Adem Ljajic. (Foto: Reuters/Giorgio Perottino)
Setelah berulang kali naik turun level kompetisi, Torino akhirnya konsisten menjaga penampilannya di Serie A. Dipimpin oleh pelatih bertangan dingin, Gian Piero Ventura, Torino mulai mengejar ketertinggalan mereka dari Juventus.
Di bawah Ventura, level Torino mulai menanjak. Di sisi lain, Juventus terus menjaga martabat mereka sebagai kesebelasan paling besar di Italia lewat gelar di kompetisi domestik. Perlahan, Torino mulai mengejar dan menyulitkan Juventus di Serie A.
2015 lalu, terjadi bentrokan besar antarpendukung kedua kesebelasan dan menjadi salah satu tawuran terbesar yang melibatkan Torino dan Juventus. Dalam bentrokan itu, 300 pendukung Torino menyetop bus Juventus. Pada lain tempat, pendukung Juventus melemparkan bom kertas dan menyebabkan 10 pendukung Torino luka parah.
ADVERTISEMENT
Tahu banner terbesar yang diperlihatkan oleh pendukung Torino dalam tawuran tersebut? “Kalian bukan satu-satunya yang ada di Turin!”