Di antara City dan United, Ada Sir Matt Busby

7 Desember 2017 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Busby (kiri) dan Mercer saat bermain. (Foto: Twitter/@Theleaguemag)
zoom-in-whitePerbesar
Busby (kiri) dan Mercer saat bermain. (Foto: Twitter/@Theleaguemag)
ADVERTISEMENT
Manchester United dan Manchester City, mau dilihat dengan cara apa pun, adalah saudara sekandung. Kedua institusi ini dilahirkan di kota yang sama dan meski usia United lebih tua dua tahun, pengaruh mereka di Manchester sama besarnya. Semua penduduk Manchester, kalau tidak merah, pasti biru langit.
ADVERTISEMENT
Asal muasal mereka pun sebenarnya tidak jauh berbeda. Kedua kesebelasan ini sama-sama lahir ketika Manchester sedang berada di puncak industrialisasi. Hanya saja, situasinya sedikit berbeda.
United didirikan pada 1878 oleh para pekerja Lancashire and Yorkshire Railway sebagai sarana untuk melepas penat. Nama Newton Heath pun jadi pilihan karena para pekerja ini memang ketika itu ditempatkan di daerah Newton Heath. Tim sepak bola yang mereka bentuk ini nantinya terlibat dalam pertandingan-pertandingan antardepartemen di perusahaan atau melawan tim perusahaan lain.
Sementara itu, asal muasal City sedikit lebih kelam. Pada masa itu, industrialisasi memang menjadi zeitgeist kota, tetapi dari situ turut muncul pula berbagai efek samping. Salah satu efek samping tersebut adalah bermuculannya geng remaja yang oleh khalayak disebut scuttlers.
ADVERTISEMENT
Para scuttlers ini punya dua hobi: mabuk-mabukan dan berkelahi. Celakanya, hal seperti ini terjadi di seluruh penjuru Greater Manchester. Tak cuma di Kota Manchester saja, keberadaan para scuttlers ini pun mencapai kota-kota lain seperti Salford.
Maraknya kekerasan di kalangan pemuda ini kemudian menggugah para jemaat dan pendeta di Gereja St. Mark. Mereka kemudian berinisiatif untuk menyelamatkan para pemuda ini dan salah satu metode yang mereka gunakan adalah dengan membentuk sebuah tim sepak bola. Tim inilah yang kemudian menjadi Manchester City.
Itu semua, tentu saja, adalah kisah masa lalu dan baik United maupun City saat ini sudah tidak selusuh itu. Kini, mereka adalah dua dari enam klub terbesar Inggris dan itu terbukti dari bagaimana kini mereka bertengger di urutan teratas papan klasemen Premier League. City di urutan satu, United mengekor di belakangnya.
ADVERTISEMENT
Namun, apa yang kini menjadi identitas dari United dan City tidaklah dicapai dalam semalam. Tentunya ada perjalanan panjang yang membuat mereka bisa bertransformasi dari klubnya para buruh dan preman menjadi dua klub terkaya di Inggris.
Sebenarnya, dalam perjalanan sejarahnya, gurat nasib kedua kesebelasan ini tidak kerap berkelindan. Selama hampir 140 tahun, paling-paling hanya sesekali mereka benar-benar saling memengaruhi. Selebihnya, mereka lebih kerap berjalan sendiri dan itu dibuktikan dengan bagaimana City lebih kerap berada di bawah bayang-bayang United yang beberapa kali menjadi penguasa dunia.
Kontrasnya nasib United dan City itu pun seperti menjadi narasi yang rasanya tidak mungkin bisa dibalikkan ketika Sir Alex Ferguson bertakhta di Old Trafford. Bayangkan saja, ketika United meraih trigelar pada 1999, City sedang berkubang di Divisi Dua (sekarang Football League One).
ADVERTISEMENT
Ferguson bersama trofi Liga Champions 1999. (Foto: Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ferguson bersama trofi Liga Champions 1999. (Foto: Getty Images)
Itu semua memang berakhir ketika Ferguson akhirnya pensiun dan City menjadi kaya mendadak. Sejak Fergie pensiun, United belum pernah lagi menjadi juara liga, sementara City sukses menyegel trofi ketiga mereka pada musim 2013/14 atau hanya semusim setelah Fergie paripurna. Saat ini, terlepas dari jumlah trofi yang diraih pada masa lalu, City dan United adalah kekuatan yang setara, kalau City tidak boleh dibilang sedikit lebih kuat.
Akan tetapi, sebenarnya pergeseran kekuatan di Manchester ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada akhir dekade 1960-an, United pun pernah dikudeta oleh City dan untuk menceritakan kisah itu berarti menceritakan kisah Alexander Matthew Busby dan Joseph Mercer Jr.
***
"Seorang pesepak bola telah datang ke rumah ini," kata dokter yang membantu persalinan Helen Busby. Rumah yang dimaksud sang dokter itu sebenarnya tidak bisa disebut rumah. Ia lebih pas disebut sebagai pondok.
ADVERTISEMENT
Helen belum lama menikah dengan Alexander Busby ketika bayi itu lahir. Mereka pun kemudian memutuskan untuk menamainya Alexander Matthew. Untuk membedakan dengan sang ayah, dia kemudian dipanggil Matthew, atau Matt.
Sir Matt Busby (Foto: Dok. Manchester United)
zoom-in-whitePerbesar
Sir Matt Busby (Foto: Dok. Manchester United)
Matt Busby lahir pada 26 Mei 1909 di sebuah desa yang dihuni oleh para penambang batu bara. Ayahnya pun, seperti sudah bisa diduga, merupakan seorang penambang. Walau begitu, delapan tahun usai Matt Busby lahir, ayahnya meninggal dunia di medan perang. Alexander Busby tewas diterjang peluru tentara Poros di Arras, sebuah kota kecil di Prancis.
Di sebuah tempat yang tak jauh dari Arras, seorang serdadu Inggris lain tumbang. Nama serdadu itu Joseph Mercer. Walau tidak sampai meninggal, Joe--begitu dia biasa disapa--akhirnya bisa kembali ke rumah dan bersua dengan putranya yang masih berusia tiga tahun. Seperti halnya Alexander Busby, Joe Mercer pun menamai putra sulungnya itu dengan namanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Alexander Busby dan Joe Mercer, bisa jadi saling kenal, bisa jadi tidak. Tak ada yang tahu. Yang jelas, putra mereka, Matt dan Joseph Jr., kelak bakal menjadi sobat karib.
Busby yang lebih tua lima tahun dari Mercer sempat hampir tidak jadi terjun ke dunia sepak bola. Ketika itu usianya 18 tahun dan dia dihadapkan pada dua pilihan: Bermain sepak bola di Inggris atau ikut ibunya beremigrasi ke Amerika Serikat. Busby, seperti sejarah sudah mencatat, memilih sepak bola. Dia pun bergabung dengan Manchester City dengan kontrak 5 poundsterling per pekan.
Seperti halnya ketika dia biasa bermain di kampung halaman, Matt Busby memulai kariernya di City sebagai seorang kanan-dalam (semacam penyerang lubang yang beroperasi dari pinggir). Namun, itu semua tidak bertahan lama karena ternyata, performa Busby sebagai kanan-dalam tidaklah sebaik yang diharapkan. Setelah sukses membawa City promosi ke Divisi Satu pada musim perdananya, Busby kemudian kesulitan bermain di lini depan saat harus menghadapi pemain-pemain terbaik.
ADVERTISEMENT
Matt Busby saat di Manchester City. (Foto: Twitter/@BeforetheD)
zoom-in-whitePerbesar
Matt Busby saat di Manchester City. (Foto: Twitter/@BeforetheD)
Beruntung, kariernya kemudian diselamatkan oleh sang manajer, Peter Hodge. Oleh Hodge, posisi Busby diubah dari depan ke tengah. Di sinilah kemudian Busby benar-benar menunjukkan kelasnya. Berduet dengan Jackie Bray pada formasi 2-3-5, Busby bahkan mampu menggusur kapten tim Jimmy McMullan ke lini depan. Performa Busby itu sempat memikat Manchester United. Sayangnya, "Iblis Merah" tidak mampu menyanggupi biaya transfer yang diminta City.
Sayangnya, meski memiliki rekan-rekan berkualitas, Busby tidak mampu membawa City menjadi juara liga. Walau begitu, di Piala FA ceritanya lain. Pada musim 1932 dan 1933 mereka mencapai semifinal dan final sebelum akhirnya benar-benar menjadi juara pada 1934. Di final, Manchester City berhasil menumbangkan Portsmouth dengan skor 2-1. Busby sendiri kemudian bertahan di City dua tahun lagi sebelum akhirnya dilego ke Liverpool.
ADVERTISEMENT
Ketika Busby hengkang ke Liverpool, Mercer sedang menjalani musim keempatnya bersama Everton. Dia pun harus rela melihat calon karibnya itu mengangkat tinggi-tinggi trofi juara liga pada 1939.
Setelah menjalani musim-musim sebagai pesepak bola, Busby dan Mercer baru benar-benar menjadi dekat ketika Perang Dunia II datang. Kala itu, mereka sempat merasakan bagaimana rasanya berada di garis depan peperangan di Prancis, Italia, dan Yunani. Walau begitu, sebagai pesepak bola, mereka tidak benar-benar dikirim berperang. Dengan pangkat sersan mayor, tugas mereka kala itu adalah melatih fisik para prajurit dan tentu saja, melatih tim sepak bola untuk mengangkat moral.
Mercer (kiri) dan Busby (tengah) saat PD II. (Foto: Twitter/@andythephotoDr)
zoom-in-whitePerbesar
Mercer (kiri) dan Busby (tengah) saat PD II. (Foto: Twitter/@andythephotoDr)
Perang Dunia II itu praktis mengakhiri karier Busby dan setelah perang usai, Busby pun akhirnya benar-benar bergabung dengan Manchester United, meski kali ini, sebagai manajer. Sedangkan, Mercer sendiri nantinya bakal bermain sampai tahun 1955 dan hanya pensiun setelah mengalami patah kaki di usia 39 tahun.
ADVERTISEMENT
Sebagai manajer United, Matt Busby adalah sosok terpenting. Tanpa mengecilkan peran Alex Ferguson, tanpa Busby identitas kesuksesan United itu takkan pernah ada. Busby adalah orang yang membangkitkan akademi Manchester United dan membentuk para pemainnya sedemikian rupa sampai akhirnya menguasai Eropa pada 1968.
Perjalanan Busby itu, tentunya tidak sesederhana itu. Dalam prosesnya, dia harus mengalami Tragedi Udara Muenchen dan untuk menjadi juara European Cup pada 1968, dia harus membangun ulang timnya dari nol.
Di sini yang menarik adalah ketika menjadi juara Eropa tahun 1968 itu, Manchester United milik Matt Busby sebenarnya sedang berada di ambang kemunduran. Hal ini pun ditandai dengan keberhasilan Manchester City menjadi juara liga pada musim yang sama. City, ketika itu, diasuh oleh Joe Mercer.
ADVERTISEMENT
Saat itu memang merupakan masa-masa emas persepakbolaan Manchester. Pada dekade 1960-an, Busby mampu menyumbangkan dua gelar liga, satu Piala FA, dua Charity Shield, dan tentunya, satu European Cup. Sementara itu, setelah trofi liga pada 1968 tadi, Mercer kemudian juga membawa City menjadi juara Piala FA 1969, Piala Liga 1970, dan yang paling fenomenal, Piala Winners 1970.
Joe Mercer dengan trofi Piala FA 1969. (Foto: Dok. Manchester City)
zoom-in-whitePerbesar
Joe Mercer dengan trofi Piala FA 1969. (Foto: Dok. Manchester City)
Dari sini, muncul sebuah cerita menarik. Pada 1968, ketika City menjadi juara liga, tidak ada rasa benci sedikit pun dari Busby kepada Mercer. Malah, secara terang-terangan Busby menyelamati kawan karibnya itu.
"Persis setelah dia menjejakkan kaki di Maine Road (kandang lawas City, red), Joe langsung mengangkat nuansa kelam dari dari Manchester City. Dia langsung berhasil memberi stabilitas kepada klub. Sinar di wajahnya tentu saja membantu, tetapi itu cuma merupakan sebuah ilusi yang menutupi otak sepak bola briliannya," puji Matt Busby kala itu.
ADVERTISEMENT
Busby sendiri kemudian meninggalkan United pada musim 1969. Sementara itu, Mercer bertahan bersama City sampai 1971. Namun, efek yang mereka tinggalkan masih terasa sampai setidaknya tahun 1974. Ketika itu, United yang terus memburuk akhirnya terdegradasi setelah dikalahkan City yang masih stabil. Namun, yang paling membuat sakit hati adalah fakta bahwa gol penentu kemenangan City itu justru dicetak oleh satu dari trinitas suci United, Denis Law.
United sendiri pada akhirnya baru mulai bangkit pada dekade 1980-an saat dibesut Ron Atkinson dan Alex Ferguson. Sedangkan, City justru semakin lama semakin terpuruk pula berkat kecerobohan pemilik mereka, Peter Swales. Kecerobohan Swales ini akhirnya terus menimbulkan efek domino sampai akhirnya, mereka terjun ke divisi tiga pada dekade 1990-an. Tanpa bantuan dari Timur Tengah, City pun tampaknya takkan punya harapan untuk kembali menanjak.
ADVERTISEMENT
***
This is the place
In the north-west of England. It’s ace, it’s the best
And the songs that we sing from the stands, from our bands
Set the whole planet shaking.
Our inventions are legends. There’s nowt we can’t make, and so we make brilliant music
We make brilliant bands
We make goals that make souls leap from seats in the stands
...
(Potongan puisi "This is The Place" dari Tony Walsh, dibuat menyusul Teror Manchester 2017)