news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dortmund-nya Tuchel dan Inkonsistensi Mereka

13 Februari 2017 15:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dortmund pada laga versus Darmstadt. (Foto: Ralph Orlowski/Reuters)
Pada tahun 2015, majalah FourFourTwo versi Inggris memuat sebuah judul menarik: “Who will land the world's hippest coach?”
ADVERTISEMENT
Judul yang terpampang di halaman muka mereka disertai dengan foto Juergen Klopp, manajer asal Jerman yang juga idola sejuta hipster. Kala itu, Klopp belum menjadi manajer Liverpool, tapi baru saja mengumumkan bahwa dia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manajer Borussia Dortmund di akhir musim.
Munculnya Klopp sebagai bintang di halaman muka itu memantik Uli Hesse untuk menulis kolom di ESPNFC. Ia berucap: “Andai majalah itu dirilis di Jerman, foto di halaman mukanya tentu bukan Klopp, tapi mantan manajer Mainz lainnya, Thomas Tuchel.”
Tuchel, kata Hesse, punya karisma menarik sebagai seorang manajer. Kala itu, ia baru berusia 41 tahun dan Hesse menyebutnya sebagai missing link di antara Klopp dan Pep Guardiola.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, Tuchel, yang waktu itu sudah diumumkan akan menjadi suksesor Klopp, diharapkan bisa mengangkat performa Dortmund. Dan, awalnya, memang beginilah yang terjadi.
Tuchel sedikit mengubah taktik Klopp yang sudah mengakar di Dortmund. Jika Klopp mengandalkan kesalahan lawan untuk mendapatkan kans, Tuchel justru sebaliknya.
Kendati Dortmund masih mengandalkan pressing, Tuchel juga menekankan pentingnya membangun serangan melalui operan-operan pendek. Di sinilah positioning pemain menjadi amat penting.
Dortmund-nya Tuchel memang masih sama agresifnya dengan Dortmund milik Klopp, namun mereka terlatih untuk lebih sabar dalam membangun serangan. Para pemain depan mereka diajarkan dengan betul untuk menempati posisi-posisi tertentu yang pas demi membongkar pertahanan lawan.
Hasilnya, tokcer. Di akhir musim, Dortmund mengakhiri musim di urutan kedua, peningkatan dari musim sebelumnya, di mana mereka finis di urutan ketujuh. Kendati gagal meraih trofi —lantaran kalah di final DFB-Pokal dan tersingkir di perempat final Liga Europa— Tuchel tetap mendapatkan pujian.
ADVERTISEMENT
Namun, musim ini, Dortmund tampil inkonsisten. Kala menghadapi tim-tim semenjana, Dortmund justru kerepotan.
Setelah menang 1-0 atas RB Leipzig di pekan ke-19, Dortmund kalah 1-2 dari Darmstadt 98 di pekan ke-20. Perlu dicatat, Darmstadt kini duduk di urutan ke-18 klasemen alias posisi paling akhir.
Kasus ini sama dengan ketika mereka ditahan imbang 3-3 oleh Ingolstadt pada pekan ke-8. Ingolstadt sendiri kini berada di posisi ke-17, di zona degradasi juga.
Banyak analisis diberikan soal mengapa Dortmund justru limbung ketika menghadapi tim-tim kecil. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya Dortmund menghadapi tim yang melakukan pressing agresif di area yang padat.
Di luar itu, menurut catatan FOX Sports, minim inspirasi tanpa kehadiran Ousmane Dembele. Nama yang disebut terakhir ini baru dimasukkan pada menit ke-62, beberapa menit jelang Darmstadt mencetak gol kedua mereka.
ADVERTISEMENT
Masih ada juga masalah buang-buang peluang. Dalam laga akhir pekan kemarin, Dortmund membuat 14 percobaan untuk mencetak gol, tetapi hanya 4 di antaranya yang mengarah ke sasaran —dan cuma 1 yang jadi gol.
Beberapa hari sebelumnya, Dortmund juga dibuat bersusah payah oleh Hertha Berlin di ajang DFB-Pokal. Dortmund memang akhirnya lolos ke babak perempat final, tetapi mereka harus menundukkan Hertha lewat adu penalti dulu.
Rabu (15/2/2017) dini hari WIB, Dortmund akan bertandang ke markas Benfica untuk melakoni leg I babak 16 besar Liga Champions. Gelandang Dortmund, Marco Reus, menyebut bahwa salah satu yang perlu diperbaiki timnya adalah bagaimana cara mereka bertahan.
“Semua pemain bertahan dengan buruk. Darmstadt punya banyak peluang bagus dan mereka hanya mengandalkan umpan-umpan panjang,” kata Reus.
ADVERTISEMENT
Ini satu PR lagi untuk si missing link di antara Klopp dan Guardiola itu.