Dunia Belum Berakhir bagi Loris Karius

28 Mei 2018 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karius bikin dua blunder. (Foto: AFP/Franck Fife)
zoom-in-whitePerbesar
Karius bikin dua blunder. (Foto: AFP/Franck Fife)
ADVERTISEMENT
Tak semua orang paham apa itu ironi dan tentunya tidak dengan Jermaine Pennant. Sebagai mantan pemain Liverpool, Pennant seharusnya tahu betul apa makna dari slogan You'll Never Walk Alone yang demikian masyhur itu. Bagi Liverpool dan para pendukungnya, slogan itu adalah kredo yang sakral. Di situasi sesulit apa pun, tak boleh ada yang ditinggal sendirian.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah peluit panjang ditiup wasit Milorad Mazic di Stadion Olimpiade Nasional Kiev, Pennant mengunggah sebuah foto di akun Twitter-nya. Di foto berusia sebelas tahun itu, ada sosok Pennant yang tengah bermuram durja. Di sebelah kanan Pennant, Steven Gerrard terlihat menutupi muka dengan tangan dan di belakangnya, ada sosok Harry Kewell yang pikirannya melayang entah ke mana.
Foto itu diambil di Stadion Olimpiade di Athena. Di leher Pennant, terkalung sekeping medali perak yang menunjukkan bahwa hari itu, 24 Mei 2007, dia menjadi pecundang. Liverpool yang dua tahun sebelumnya sukses menciptakan keajaiban di Istanbul pada akhirnya harus mengakui bahwa sebenarnya, mereka memang tidak lebih bagus ketimbang Milan.
Lewat foto tersebut Pennant berusaha menghibur para penerusnya di Liverpool. "Aku pernah mengalaminya dan aku tahu sakitnya seperti apa," tulis Pennant. Tak lupa, pria 35 tahun ini menyematkan tagar 'YNWA' yang merupakan singkatan universal bagi slogan You'll Never Walk Alone tadi.
ADVERTISEMENT
Namun, tagar 'YNWA' Pennant itu justru menjadi ironi. Penyebabnya, tak lain adalah kata-kata yang ditulis mantan pemain Arsenal ini sendiri. Sebelum menyatakan bahwa dia "pernah mengalaminya" dan "tahu sakitnya seperti apa", Pennant terlebih dahulu menulis, "Merasa sangat terpukul atas apa yang dirasakan para pemain dan fans, kecuali si penjaga gawang."
Entah apa yang dipikirkan Pennant. Namun, sangatlah ironis ketika dirinya mengumandangkan lantang-lantang slogan You'll Never Walk Alone, tetapi dia meninggalkan satu orang yang sebenarnya paling pantas untuk diberi pelukan di situasi sulit itu: si penjaga gawang, Loris Karius.
Karius membuat dua blunder fatal di final menghadapi Real Madrid. Karius tahu itu, semua orang tahu itu, dan Juergen Klopp tahu itu. Dua kesalahan itu mengantarkan Real Madrid pada gelar Liga Champions ketiga belasnya dan dua kesalahan itu membuat Karius menangis sesenggukan seusai laga.
ADVERTISEMENT
Jika Karius menangis, siapa yang bisa menyalahkan? Tak ada orang yang ingin membuat kesalahan, sekecil apa pun itu, apalagi di partai seakbar final Liga Champions. Karius pun begitu. Sepekan sebelum final digelar, pemuda asal Jerman itu sudah menegaskan keinginannya. "Eyes on the prize," tulis Karius di akun media sosialnya. Baginya, menjadi juara adalah sebuah kewajiban.
Oleh karenannya, setelah sadar bahwa karena dirinyalah Liverpool gagal, Karius tak punya pilihan lain. Sembari menangis, dia langsung menunjukkan gestur meminta maaf kepada para suporter The Reds yang datang ke Kiev. Sehari berselang, permintaan maaf juga kembali dia haturkan, lagi-lagi, lewat akun media sosialnya.
"Belum benar-benar tidur sampai sekarang... adegan-adegan itu masih mengalir di kepalaku lagi dan lagi... Aku benar-benar minta maaf kepada rekan-rekan setim, untuk kalian para penggemar, dan untuk semua staf," tulis Karius.
ADVERTISEMENT
"Aku tahu bahwa aku mengacaukan segalanya dengan dua kesalahan dan mengecewakan kalian. Seperti yang kukatakan, aku hanya ingin memutar kembali waktu, tetapi itu tak mungkin. Ini bahkan lebih buruk karena kami semua merasa bahwa kami bisa mengalahkan Real Madrid."
"Terima kasih kepada penggemar luar biasa kami yang datang ke Kiev dan berada di belakangku, bahkan setelah pertandingan. Aku tidak menganggap remeh dan sekali lagi itu menunjukkan kepadaku betapa besar keluarga kami. Terima kasih dan kami akan kembali dengan kuat," tutupnya.
Karius merana dan itu sudah semestinya. Persis setelah peluit panjang ditiup, Karius bersimpuh, lantas bersujud. Tangis yang meledak itu coba disembunyikannya rapat-rapat.
Di sekelilingnya, tak ada seorang pun pemain Liverpool. Justru, para pemain Real Madrid-lah yang menghibur. Gareth Bale yang menjadi salah satu sosok paling diuntungkan oleh blunder Karius itu datang sembari memberi pelukan. Di balik rasa syukur Bale, ada rasa bersalah. Di balik pesta Bale, ada pesakitan dalam diri Karius.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, partai final Liga Champions itu adalah ajang bagi Karius untuk membuktikan kepantasannya mengawal gawang Liverpool. Sejak didatangkan pada 2016 silam, Karius baru benar-benar bisa menjadi penjaga gawang utama pada paruh kedua musim 2017/18 ini. Alasannya pun sederhana, yakni karena Simon Mignolet mengaku muak dengan rotasi yang dilakukan Klopp. Sang manajer pun mengiyakan permintaan Mignolet dengan menjadikan Karius kiper utama.
Awalnya, Klopp memang ingin menjadikan Karius sebagai kiper utama. Blunder Mignolet di final Liga Europa 2016 adalah salah satu alasan di balik kebijakan itu. Menurut Klopp, Karius memiliki kemampuan menghentikan tembakan yang lebih baik ketimbang Mignolet.
Ketika mendatangkan Karius, tak banyak uang yang harus dikeluarkan Liverpool; hanya 4,7 juta poundsterling. Untuk ukuran sepak bola modern, nilai transfer sekian tak ubahnya uang receh. Sebagai kiper berusia 22 tahun, Karius ketika itu diharapkan bakal bisa menjadi solusi cerdas jangka panjang Liverpool.
ADVERTISEMENT
Namun, Karius kesulitan. Di musim pertamanya, dia hanya tampil 16 kali dan minimnya penampilan itu tak lain disebabkan karena kerapnya Karius demam panggung. Salah satu kesalahan paling memalukan yang dilakukan mantan pemain Mainz itu adalah menyulap tendangan gawang menjadi tendangan sudut untuk lawan saat menghadapi Sunderland.
Simon Mignolet, kiper cadangan Liverpool. (Foto: Alex Livesey/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Simon Mignolet, kiper cadangan Liverpool. (Foto: Alex Livesey/Getty Images)
Maka dari itu, Klopp pun akhirnya mengalah. Tak ingin timnya terus-terusan dirundung bahaya, Klopp memercayakan gawang Liverpool kepada Mignolet kembali. Sampai akhir musim 2016/17, Mignolet-lah yang menjadi kiper utama Liverpool.
Memasuki musim 2017/18, Klopp masih juga penasaran. Karius dicobanya kembali. Akan tetapi, penampilan pemain kelahiran Biberach an der Riss itu itu tak kunjung meyakinkan. Mignolet pun, lagi-lagi, diberi kesempatan untuk unjuk gigi. Sampai akhirnya, Mignolet merajuk dan kiper asal Belgia ini akhirnya dikirim Klopp ke bangku cadangan. Sejak 27 Januari silam, mantan kiper Sunderland ini belum pernah lagi tampil untuk Liverpool.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, keputusan Klopp untuk tak lagi merotasi dirinya dan Mignolet ini berpengaruh apik pada kepercayaan diri Karius. Sebagai contoh, sebelum laga final lalu Karius adalah salah satu kiper terbaik di Liga Champions dengan catatan nirbobol terbanyak (6). Selain itu, di Premier League, penyelamatan gemilangnya pada laga menghadapi Newcastle United atas tendangan Mohamed Diame semakin menegaskan statusnya sebagai kiper utama Liverpool.
Akan tetapi, final Liga Champions adalah monster yang tak bisa ditaklukkan sembarang orang. Bahkan, Gianluigi Buffon sekalipun tidak pernah melakukannya. Di hadapan lebih dari 60 ribu pasang mata, Karius ditelan bulat-bulat oleh makhluk mengerikan itu tanpa perlawanan sedikit pun.
Tak sampai di situ penderitaan Karius. Dia tahu bahwa dia bersalah. Jikalau orang ingin menghujatnya, itu sah-sah saja. Namun, sosok bertinggi 189 cm ini tentunya tidak mengharapkan keluarganya menjadi sasaran amuk massa dunia maya. Dua gol yang diberikan Karius kepada Real Madrid itu membuat banyak prajurit kibor melontarkan ancaman mati kepada anak-anaknya. Polisi Merseyside pun bahkan sampai turun tangan untuk mencegah hal-hal tak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Loris Karius (Foto: Muhammad Faisal N.)
zoom-in-whitePerbesar
Loris Karius (Foto: Muhammad Faisal N.)
Jika ditarik sampai ke belasan tahun sebelumnya, Karius sebenarnya punya kesempatan untuk lepas dari ini semua. Ayahnya, Harald, dulu ingin mendorong Karius ke dunia otomotif dengan menekuni motocross. Akan tetapi, kakeknya menganggap bahwa Karius punya potensi di sepak bola dan saran dari sang kakek inilah yang akhirnya dia ikuti.
Karius ternyata punya cukup bakat. Di masa muda, dia pernah menjadi pemain akademi Manchester City, meski tak sekali pun dirinya dipercaya untuk mengawal gawang tim senior The Citizens. Akhirnya, Karius dipinjamkan ke tim cadangan Mainz pada 2011. Setahun kemudian, kepindahan itu dipermanenkan.
Dari sinilah Karius perlahan menanjak. Pada usia 19 tahun, 5 bulan, dan 9 hari Karius menjadi kiper termuda di Bundesliga. Pada musim 2012/13 itu, dia dipercaya bermain oleh Thomas Tuchel setelah kiper utama Mainz, Christian Wetklo, diusir wasit. Namun, hanya sekali itulah Karius bermain di musim itu dan baru pada musim berikutnya dia dipercaya menjadi kiper utama.
ADVERTISEMENT
Kejayaan Karius di Bundesliga mencapai puncak pada musim 2015/16. Dengan sembilan nirbobol dan dua penyelamatan penalti, dia dinobatkan menjadi kiper terbaik kedua di Jerman setelah Manuel Neuer. Bersamaan dengan blunder Mignolet di final Piala Liga, Karius pun akhirnya ditarik ke Merseyside.
Karius saat berseragam Mainz. (Foto: AFP/Philipp Guelland)
zoom-in-whitePerbesar
Karius saat berseragam Mainz. (Foto: AFP/Philipp Guelland)
Bersama Liverpool, Karius mencapai puncak tertinggi. Namun, Karius sendirilah yang kemudian menyeret 'Si Merah' ke jurang. Dia memang telah meminta maaf. Akan tetapi, kalaupun permintaan maaf itu diterima, tak ada alasan bagi Liverpool untuk memberi Karius kesempatan lagi. Sekarang, yang bisa dilakukan Karius adalah mengatasi trauma dan bekerja dalam diam untuk mencuri lagi kepercayaan dari pelatih, rekan-rekan, maupun suporter Liverpool.
Karius Bukan yang Pertama dan Takkan Jadi yang Terakhir
ADVERTISEMENT
Kegagalan dan kesalahan bagi pesepak bola adalah dua keniscayaan yang tak bisa dihindari. Namun, seperti dalam hidup, hanya ada satu opsi setelah gagal: bangkit.
David Beckham, misalnya, berhasil bangkit dari keterpurukan di Piala Dunia 1998 dengan menjadi pahlawan Manchester United di musim berikutnya. Selain itu, Beckham juga kemudian berhasil menjadi kapten Tim Nasional Inggris sekaligus aktor paling berjasa dalam meloloskan 'Tiga Singa' ke Piala Dunia 2002 lewat gol tendangan bebasnya ke gawang Yunani.
Selain Beckham, Karius barangkali bisa berkaca dari kiper-kiper terdahulu. Kiper Spanyol, Luis Arconada, menjadi 'pahlawan kemenangan' Prancis di final Piala Eropa 1984. Kala itu, peraih tiga trofi Zamora tersebut gagal menangkap tendangan bebas Michel Platini dengan sempurna. Bola pun tergelincir dan masuk ke gawang Spanyol. Namun, setelah itu Arconada berhasil bangkit dan kariernya di Tim Nasional berakhir bukan karena blunder itu, melainkan karena cedera panjang.
ADVERTISEMENT
Lalu, ada pula Oliver Kahn. Pemain idola Karius ini membuat dua kesalahan yang mengantarkan Brasil menjadi juara Piala Dunia 2002. Akan tetapi, setelah turnamen itu Kahn tetap mampu menjadi kiper tangguh bersama Bayern Muenchen. Setelah blunder itu, Kahn berhasil menyumbangkan delapan trofi domestik untuk Die Roten.
Pendek kata, masih banyak kesempatan bagi Karius. Kalaupun seandainya nanti kesempatan itu tidak hadir di Liverpool, tak jadi soal. Sander Westerveld, misalnya, bersinar bersama Real Sociedad setelah dibuang oleh Liverpool. Di usia yang masih 24 tahun, jalan Karius masih terlalu panjang untuk dianggap sudah habis.