news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Egoisme Neymar versus Karier Indah Mbappe

10 Oktober 2018 20:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Neymar dan Kylian Mbappe di laga PSG vs Liverpool pada penyisihan Grup C Liga Champions 2018/19. (Foto: Reuters/Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Neymar dan Kylian Mbappe di laga PSG vs Liverpool pada penyisihan Grup C Liga Champions 2018/19. (Foto: Reuters/Carl Recine)
ADVERTISEMENT
Para penggawa Paris Saint Germain (PSG) terlihat bergerombol Parc des Princes setelah laga. Mereka mengerumuni seorang pemuda yang tampil luar biasa di malam itu --pemain berusia 19 tahun yang empat kali mengoyak jala Olympique Lyon dalam waktu 14 menit. Pemuda itu bernama Kylian Mbappe.
ADVERTISEMENT
Sementara Neymar --yang cuma mencetak sebiji gol dari titik putih-- terlihat berada sedikit jauh dari kerumunan itu dengan tatapan serius. Pandangan yang mungkin berbeda dengan rekan-rekan setimnya. Sejumlah komentar di internet menafsirkannya dengan miring: Neymar iri. Sekiranya demikian interpretasi yang bisa ditangkap dari foto yang diunggah Sportbible dalam akun instagramnya.
"Buat saya, dia (Mbappe) adalah fenomena. Saya harap itu akan berlanjut dalam beberapa tahun ke depan karena sepak bola akan berterima kasih kepadanya", kata Neymar sebagaimana dilansir Sky Sport.
Neymar memang memuji sosok Mbappe. Di satu sisi, di balik hati yang paling dalam, Mbappe adalah kompetitornya. Anggapan di atas bukan tanpa alasan, sebab Neymar bukanlah figur yang bisa dinomor duakan. Dia ingin menjadi yang terpenting, menjadi segalanya.
ADVERTISEMENT
"Ketika masih bocah dulu, dia ingin menjadi segalanya: Superman, Power Rangers. Dia sangat hiperaktif dan masih begitu sampai sekarang," demikian ayah Neymar menjelaskan tentang karakter anaknya.
Sebelum mendarat ke PSG, Neymar lebih dulu melangkah bersama Barcelona, kesebelasan dengan deretan titel bergengsi dan skuat bertabur bintang. Lionel Messi, Andres Iniesta, Xavi Hernandez, dan Gerard Pique jadi rekan sepermainannya.
Pada satu sisi, gemerlap skuat El Barca membuat Neymar kesulitan berpijar di Camp Nou. Terlebih saat itu mereka diasuh Gerardo ‘Tata’ Martino, yang gagal meneruskan era emas Pep Guardiola.
Cuma 9 gol dan 8 assist yang dibuatnya di La Liga edisi 2013/2014. Jumlah yang tak sebanding dengan mahar 57,1 juta euro yang dikeluarkan Barcelona untuk memboyongnya.
ADVERTISEMENT
Messi dan Neymar: Raja dan Ratu? (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Messi dan Neymar: Raja dan Ratu? (Foto: Reuters)
“Beberapa bulan pertama begitu berat, dan saya sempat malu untuk berbicara dengan Messi. Mereka semua idola saya. Sementara saya anak baru dan masih muda,” ujar Neymar kepada Caldeirao do Huck.
Kepercayaan dirinya mulai muncul seiring kedatangan Luis Enrique. Mantan kapten Barcelona itu mengandalkan permainan yang lebih direct dan lebih intens dalam melancarkan serangan balik. Dan Neymar, dengan kecepatan serta kemampuan dribel mumpuni, benar-benar menjelma jadi penggawa andalan Barcelona.
Dalam rentang waktu musim 2014/2015-2015/2016, Neymar rata-rata memproduksi 23 gol dan 9,5 assist. Spesial? Tentu saja. Namun, masih tak lebih baik ketimbang torehan Messi.
Edisi 2016/2017 jadi klimaksnya. Torehan gol Neymar hanya mencapai 13, tertinggal jauh dari Messi (37 gol), dan Suarez (29 gol). Setali tiga uang dengan kuantitas assist yang juga tak lebih banyak dari Suarez.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya Neymar harus menyadari, bahwa hampir mustahil untuk menggeser Messi, bahkan Suarez. Ketimbang sekadar menjadi 'pelayan', Neymar kemudian memilih untuk melancong ke PSG.
Pilihan yang logis, karena untuk menjadi raja Neymar tak perlu menyingkirkan lawan berat. Terhitung cuma Edinson Cavani dan Angel Di Maria yang akan jadi rivalnya di garda terdepan.
Namun, PSG mendatangkan superstar muda 28 hari setelah mendaratkan Neymar, tepat sebelum ditutupnya jendela transfer musim panas. Ya, Mbappe itu tadi. Sejak saat itu segalanya menjadi rumit.
PSG sebagai kesebelasan yang tengah membangun kekaisaran anyar, butuh ikon dalam skuatnya. Ya, mirip-mirip dengan yang dilakukan Manchester City saat menggaet Sergio Aguero. Dan sejak Zlatan Ibrahimovic angkat kaki, tak ada nama yang benar-benar mampu merpresentasikan PSG dengan sempurna.
ADVERTISEMENT
Hal itu yang menjadi dasar PSG saat memboyong Neymar. Sebaliknya, kapten Tim Nasional Brasil itu juga membutuhkan wilayah kekuasaan. Simbiosis mutualisme ideal, bukan?
Masalahnya, kini Neymar bukanlah matahari satu-satunya dalam tubuh PSG. Mbappe memancarkan pendar yang tak kalah terang. Berbagai rekor yang dipecahkannya di usia muda, plus trofi Piala Dunia yang direngkuhnya pada perhelatan termutakhir. Selain itu, Mbappe juga memiliki satu hal yang tak dipunyai Neymar: kewarganegaraan Prancis.
Suka tidak suka, pemain yang jadi ikon klub akan makin sempurna bila dia bukanlah legiun asing, syukur-syukur putra daerah. Hal ini pula yang membuat Neymar sulit untuk menyingkirkan Mbappe begitu saja, seperti yang dilakukannya terang-terangan kepada Cavani.
ADVERTISEMENT
Masih ingat saat Neymar dan Cavani berebut untuk menjadi algojo September tahun lalu? Secara hirearki, bomber Uruguay itu lebih berhak. Menurut L’Equipe, Cavani bersikeras menjadi algojo karena berstatus sebagai pencetak gol terbanyak PSG. Setali tiga uang dengan keistimewaan yang diberikan Ibra sebelumnya.
Dualisme dalam skuat semacam ini berpotensi menjadi duri dalam daging. Manchester United pernah mengalaminya 2006 silam. Saat itu Ruud van Nistelrooy mulai merasa terganggu degan potensi Cristiano Ronaldo.
Dalam otobiografi kedua Sir Alex Ferguson, dia menuliskan tentang Van Nistelrooy yang enggan berbicara mengenai Ronaldo. Ending-nya, Ferguson melego Nistelrooy dan sinar Ronaldo makin menjadi. Pun demikian dengan United yang sukses meraih mahkota Premier League tiga kali beruntun plus trofi Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Neymar dan Edinson Cavani. (Foto: Christophe Simon/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Neymar dan Edinson Cavani. (Foto: Christophe Simon/AFP)
PSG mungkin tak sesulit United di ajang domestik. Berbeda dengan 'Iblis Merah' di aras Premier Legue, Ligue 1 terasa terlalu mudah bagi PSG -- setidaknya sejak setengah dekade ke belakang.
Hingga pekan kesembilan, Les Parisiens sudah unggul 8 angka dari Lille di peringkat kedua. Bagaimana tidak, semua pertandingan berhasil mereka sapu bersih. Jadi, tak ada alasan kuat bagi Thomas Tuchel untuk mendepak salah satu dari mereka.
Akan tetapi, ini bukan perkara keberhasilan PSG dalam mendulang titel. Tetapi juga tentang karier indah Mbappe, serta kebintangan dan egoisme dalam diri Neymar.