Fergie Time dan Pep Time itu Betulan Ada atau Mitos, Sih?

5 Desember 2017 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Adegan Ferguson menunjuk-nunjuk jam itu. (Foto: Andrew Yates/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Adegan Ferguson menunjuk-nunjuk jam itu. (Foto: Andrew Yates/AFP)
ADVERTISEMENT
10 April 1993, Manchester United berhasil merengkuh trofi Premier League perdana mereka. Yang menarik, tentu saja, adalah prosesnya. Steve Bruce mencetak brace di menit-menit akhir dan di laga itu, John Hilditch – sang wasit, memberikan injury time tujuh menit.
ADVERTISEMENT
Itu adalah kali pertama Manchester United diuntungkan karena perpanjangan waktu. Dan Hilditch sendiri bercerita sebagai pelaku sejarah dalam Fergie Time pertama di dunia.
“Kami tak punya fourth official seperti sekarang. Dan ketika itu, orang yang melakukan tugas itu dari FA setempat. Sehingga kami perlu melihat waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan yang adil,” ujar Hilditch. “Teknologi kini telah mengubah permainan, tapi aku rasa, tak mengubah banyak (jalannya) pertandingan.”
Hilditch betul. Dahulu sepak bola tak memiliki ofisial keempat –yang salah satu tugasnya adalah membantu wasit menghitung berapa menit yang telah terbuang. Teknologi sepak bola makin lama kian berkembang. Dahulu, tak ada referee board. Namun, Sir Alex Ferguson, mampu tetap “memanipulasi” wasit. Ia mampu “memaksa" wasit untuk memperpanjang waktu. Setidaknya demikianlah anggapan yang berkembang.
ADVERTISEMENT
Ia punya gerakan khas: di saat timnya butuh kemenangan dan itu di menit akhir, ia akan menunjuk kepada jamnya. Sebuah isyarat bahwa timnya telah dizalimi dan sebagai gantinya, sang wasit harus memberikan injury-time yang banyak kepada timnya. Ini, oleh banyak pengamat, dianggap sebagai sebuah perang psikologis dari Ferguson.
Dari manuver tersebut, Ferguson banyak mendapatkan desas-desus. Misalnya, dia dituding sebagai sosok yang korup dan telah membayar FA agar selalu mampu memenangi wasit. Namun, itu adalah wujud rasa frustasi fans karena timnnya kemudian mampu ditumbangkan oleh timnya Ferguson.
“Jelas (tim lawan takut dengan itu). Sehingga aku mulai terbiasa dengan (menunjuk-nunjuk) jamku,” ujar manajer yang memenangi Liga Champions bersama United pada 1999 dan 2008 itu. “Namun, aku tak pernah melihat jamku. Sejujurnya, aku tak mengerti berapa menit, tapi tiba-tiba saja itu mengganggu pikiran lawan dan wasit. Dan itu hanyalah trik kecil.”
ADVERTISEMENT
Selain brace Steve Bruce pada 1993 itu, tuah Fergie Time juga terjadi kala United memenangi Liga Champions pada 1999. Kala itu, Teddy Sheringham mencetak gol penyama di menit-menit akhir pertandingan kontra Bayern Muenchen, sebelum Ole Gunnar Solskjaer membalikkan keadaan. Lalu pada 2009, kala Federico Macheda mencetak gol kemenangan di menit 93 kala melawan Aston Villa. Pertandingan itu berakhir 3-2, dan itu menjadi salah satu penentu United untuk meraih gelar juara Premier League lainnya.
Ada juga cerita lainnya dari 2009. Mark Hughes, eks-striker United yang saat itu menjadi manajer Manchester City, berang kepada Ferguson karena ia mendapat enam menit injury time. Dan Michael Owen berhasil mencetak gol kemenangan dalam jangka watu tersebut.
ADVERTISEMENT
Cerita-cerita itu lantas digunakan oleh fans yang marah untuk menghakimi manajer yang telah merengkuh 13 trofi Premier League, 5 Piala FA, dan 2 Liga Champions itu.
Dari Fergie Time ke Pep Time
Guardiola pada sebuah laga di Liga Champions. (Foto: Oli Scarff/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Guardiola pada sebuah laga di Liga Champions. (Foto: Oli Scarff/AFP)
Fergie Time kembali menjadi pembahasan, hanya saja, ia kini berubah wujud. Pep Guardiola adalah sebabnya. Sama seperti Ferguson, cerita ini datang ketika Pep sedang menapaki tangga kesuksesannya.
Di tiga laga terakhirnya, City selalu menang di menit-menit akhir, dan itu rahasia lainnya mengapa Guardiola bisa bikin Manchester City punya rekor 13 kemenangan berturut-turut di Premier League. Dalam dua minggu terakhir, City mencetak gol di menit 88 kala bersua Feyenoord, mencetak gol di menit keenam injury time kala menghadapi Southampton, dan pada menit ke-83 kala menghadapi West Ham United.
ADVERTISEMENT
Tentu saja gol kala menghadapi Southampton jadi yang paling fenomenal. Bagaimana tidak, waktu itu tendangan melengkung Raheem Sterling hadir ketika injury time sudah memasuki menit keenam. Namun, bicara soal injury time berlangsung sampai enam menit, hal serupa juga terjadi ketika City bertanding melawan West Ham.
Jadi, apakah Fergie Time sudah berubah jadi Pep Time?
“Aku sudah dengar tentang ‘Fergie Time’. Aku tak di sini kala itu, tapi aku rasa, kalian harus punya sesuatu yang seperti itu,” ujar Guardiola. “Jika kami bisa mengambil sesuatu dari ‘Fergie Time,’ kami akan menerimanya dengan senang hati. Sebuah kebanggaan.”
Guardiola sendiri tidak ambil pusing. Ia lebih suka menyebutnya sebagai unjuk kegigihan pemain-pemainnya.
“Kami menunjukkan hingga di laga terakhir, kami tak menyerah. Lawanku tak ingin bermain. Mereka hanya ingin bertahan –aku paham, aku tak menghakimi, jangan salah paham– tapi ini susah. Kami tak bisa menggunakan high-pressing, tapi mereka memanfaatkan counter-attack dan set piece,” ujar Guardiola. “Tapi, aku senang, karena kami mampu melakukannya di babak kedua.”
ADVERTISEMENT
Benar Adanya atau Hanya Mitos Saja?
Dari sini, mari membongkar misteri: betulkah Fergie Time —atau kini, Pep Time— itu ada? Benarkah injury time panjang hanya didapatkan satu tim khusus saja?
Sebelum kita bicara soal itu, mari kita melihat sebuah fakta: tidak harus menjadi Manchester United untuk bisa mendapatkan tambahan waktu yang panjang. Liverpool dan Arsenal mempraktikkannya kala bertemu di Emirates Stadium pada musim 2010/2011. Saat itu, pertandingan mendapatkan perpanjangan waktu sampai menit ke-12. Sebabnya? Cedera kepala yang dialami Jamie Carragher. Robin van Persie akhirnya mencetak gol di menit 90+7, sementara Dirk Kuyt mengeksekusi penalti pada menit 90+12.
Namun, tidak bisa dipungkiri jika United memang menjadi klub paling banyak mendapatkan injury time sepanjang 2010/2011. Berdasarkan data dari Opta, United rata-rata bermain 93 menit 18 detik ketika menang dan 94 menit 37 detik ketika kalah.
ADVERTISEMENT
Yang berseberangan dengan anggapan umum, United tak sendiri. Kala itu tim enam besar rata-rata relatif diuntungkan karena punya mendapatkan injury time yang lebih panjang jika dibandingkan dengan tim lain di Premier League.
Di posisi kedua, ada Liverpool yang bermain rata-rata 93 menit 27 detik ketika menang dan 94 menit 23 detik ketika kalah. Sementara City? 93 menit 22 detik ketika menang, dan 94 menit 12 detik ketika kalah.
Masih ada juga kesebelasan seperti Tottenham Hotspurs yang memiliki rata-rata bermain 94 menit 12 detik ketika menang dan 94 menit 37 detik ketika kalah. Arsenal punya rata-rata 94 menit 17 detik ketika menang dan 94 menit 35 detik ketika kalah. Chelesea? Mereka punya 93 menit 12 detik ketika menang dan 92 menit 41 detik ketika kalah.
ADVERTISEMENT
Dari catatan di atas, bisa disimak bagaimana beberapa tim juga mendapatkan tambahan waktu yang signifikan —bahkan ketika mereka sedang tertinggal, meski akhirnya tetap saja menelan kekalahan.
Graham Poll, eks-wasit di Premier League, mengatakan bahwa wasit di Premier League tak percaya dengan Fergie Time. “Itu adalah mitologi populer karena ada banyak tim yang cemburu dengan kesuksesan United,” ujar Poll pada 2012.
Namun, sosok yang menjadi wasit di Final Piala musim 1999/2000 itu memberikan kita sebuah petunjuk mengapa fenomena ini terjadi. Salah satunya adalah tekanan yang dirasakan para wasit dan banyak kesebelasan ketika bermain di kandang klub besar. Menurut Poll, atmosfer di kandang klub-klub besar itu bisa memengaruhi psikis.
“Aku rasa, mudah saja untuk mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sampah. Ketika kamu menganalisis dan berpikir secara psikologis apa yang terjadi, tekanan yang kamu rasakan di Old Trafford, Emirates, atau Stamford Bridge, semuanya berada di pundakmu, dan kamu pasti punya efek, bahkan secara tak langsung.”
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal yang dibuat oleh Robbie Butler, David Butler, dan Sean O’Riordan, apa yang diutarakan Poll itu mendapatkan penegasan. Ketiga orang yang merupakan dosen dari University College Cork, Republik Irlandia, tersebut meneliti menit pertandingan Premier League dari tahun 2013 hingga 2015. Hasil temuan mereka dibahas dalam Irish Economic Association Annual Conference tahun ini. Mereka menemukan adanya bias yang membuat injury time yang telampau panjang lekat dengan citra Sir Alex Ferguson.
Mereka, berdasarkan hasil hitung-hitungan secara statistik, bilang bahwa tim besar yang bermain di kandang, akan mampu membuat wasit lebih tertekan sehingga memberikan waktu injury time yang lebih panjang daripada biasanya.
Peluit (ilustrasi) (Foto: Ben Stansall)
zoom-in-whitePerbesar
Peluit (ilustrasi) (Foto: Ben Stansall)
Lalu, agar makin yakin lagi dari dua hasil data yang telah kita simak di atas, mari sekarang kita tengok pada pasal 7 dalam Laws of The Game keluaran FIFA.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan ini, disebutkan tentang apa saja yang harus diperhitungkan seorang wasit kala waktu terbuang karena substitusi, penanganan cedera, tim lawan yang buang-buang waktu, dan faktor lainnya. Akan tetapi, aturan ini tak menyatakan berapa menit yang harusnya wasit. Sang pengadil dibiarkan menghitung sendiri berapa waktu yang terbuang oleh hal-hal tersebut.
Menurut Poll, hal itu kerap bikin wasit berada dalam situasi dilematis.
“Kamu jadi berpikir, ‘Oke, tadi ada beberapa substitusi, gol, ada buang-buang waktu juga, cedera di sana, jadu… tiga atau empat (menit).’ Lalu, kamu bilang ke dirimu sendiri, ‘lima (menit)’,” ujar salah satu wasit terbaik fersi IFFHS itu.
“Lalu, ada sesuatu yang membuatmu terdiam dan menganalisisnya kembali. Karena seorang berkata ‘Dari mana waktu ini datang?’. Dan itu membuat ragu mulai mengganggumu. Hanya wasit yang kuat yang mampu menjelaskannya dan membuat dirinya sendiri yakin bahwa ia tak termakan jebakan itu.”
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, perkara injury time yang panjang itu memang tidak hanya menghinggapi satu tim tertentu saja. Jika sampai saat ini Anda masih beranggapan soal identiknya injury time yang panjang dengan Ferguson atau Manchester United, cobalah mulai memperhatikan tim-tim besar lainnya.