news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

FIFA Anggap Maroko Terlalu Berisiko untuk Jadi Tuan Rumah Piala Dunia

2 Juni 2018 19:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Timnas Maroko turun ke jalan. (Foto: AFP/Fadel Senna)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Timnas Maroko turun ke jalan. (Foto: AFP/Fadel Senna)
ADVERTISEMENT
Mimpi Maroko menggelar Piala Dunia 2026 bisa layu sebelum berkembang. Pasalnya, tim inspeksi FIFA menilai bahwa negara Afrika utara tersebut masih memiliki banyak sekali kekurangan terkait infrastruktur yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Maroko sudah lama berambisi menjadi tuan rumah Piala Dunia. Sebelumnya, mereka sudah pernah mengajukan diri untuk edisi 1994, 1998, 2006, dan 2010. Namun, di empat gelaran itu mereka kalah dari Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Afrika Selatan.
Menyusul intransparansi pada penunjukan tuan rumah 2018 (Rusia) dan 2022 (Qatar) yang berujung pada lengsernya rezim Sepp Blatter, FIFA mengubah sistem pemilihan tuan rumah Piala Dunia. Kali ini, penunjukan tuan rumah dilakukan lewat voting yang diikuti oleh 207 negara anggota pada 13 Juni mendatang.
Inspeksi yang dilakukan FIFA itu bertujuan untuk memberi rekomendasi kepada para negara pemilih. Penunjukan Maroko, kata tim inspeksi dari FIFA itu, dinilai 'berisiko tinggi' karena hanya mencatatkan skor 275 dari nilai maksimal 500.
ADVERTISEMENT
Untuk menggelar Piala Dunia 2026, Maroko kudu bersaing dengan tiga negara Amerika utara -- Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko -- yang bakal menjadi tuan rumah bersama. Oleh FIFA, kesiapan negara-negara Amerika utara ini dinilai sudah mencapai angka 402 dari total skor 500. Oleh karenanya, kemungkinan Maroko untuk menggelar Piala Dunia 2026 bisa dikatakan sangat kecil.
"Infrastruktur baru yang harus disiapkan Maroko untuk mewujudkan pergelaran Piala Dunia 2026 luar biasa banyak," kata tim inspeksi FIFA tersebut seperti dilansir Associated Press.
Piala Dunia 2026 nanti memang berbeda dari edisi-edisi sebelumnya. Di situ, FIFA bakal menambah jumlah peserta dari 32 menjadi 48. Maka dari itu, pertandingan yang digelar pun bakal jauh lebih banyak (dari 64 menjadi 80) dan infrastruktur yang diperlukan juga semakin banyak.
ADVERTISEMENT
Dari penilaian tim inspeksi FIFA tadi, AS, Kanada, dan Meksiko mendapat nilai tertinggi (5 dari 5) dari segi pengadaan tiket dan keramahtamahan (hospitality). AS, Kanada, dan Meksiko dalam proposalnya menyatakan sanggup menghasilkan pendapatan sampai 14,3 miliar dolar, hampir dua kali lipat ketimbang milik Maroko yang hanya mencapai 7,2 miliar dolar.
Meski demikian, negara-negara Amerika utara itu mendapat nilai terendah (2 dari 5) dalam hal biaya penyelenggaraan. Semestinya, dengan menggelar 60 laga, Amerika Serikat hanya butuh 12 stadion, tetapi dalam proposalnya mereka mengusulkan untuk menggunakan 16 stadion. Ini membuat biaya penyelenggaraan jadi membengkak.
Secara keseluruhan, ada 20 kategori yang dinilai. AS, Kanada, dan Meksiko dianggap memiliki tiga area yang masuk kategori risiko menengah -- dukungan pemerintah, HAM dan standar ketenagakerjaan, dan biaya penyelenggaraan -- dan 17 area berisiko rendah. Sedangkan, Maroko dianggap memiliki tiga risiko tinggi, 10 risiko menengah (juga termasuk HAM dan standar ketenagakerjaan), serta tujuh risiko rendah.
ADVERTISEMENT
Salah satu risiko tinggi yang dihadapi Maroko adalah soal stadion. Masalahnya, mereka harus membangun ulang atau merenovasi 14 stadion sekaligus. Sementara, di Amerika utara, jumlah stadion yang harus dibenahi hanya enam. Untuk mempersiapkan stadion-stadion itu, Maroko diprediksi bakal membutuhkan dana 16 miliar dolar.
Selain buruknya nilai dari tim inspeksi FIFA, Maroko juga menghadapi masalah tersendiri dari sosok Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Pada akhir April lalu, Trump mengatakan bahwa negara mana pun yang tidak memilih Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko tidak akan mendapat dukungan dari negaranya.
Namun, di sisi lain, Trump juga menjadi penghalang tersendiri bagi Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko untuk menjadi tuan rumah. Kebijakan imigrasinya yang diskriminatif terhadap negara mayoritas muslim dinilai bakal menyulitkan mobilitas rombongan pemain dan suporter, khususnya dari Iran yang merupakan raksasa sepak bola Asia.
ADVERTISEMENT