news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Final Liga Champions: Tanpa Oxlade-Chamberlain, Klopp Harus Apa?

24 Mei 2018 17:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi Salah, Klopp, dan Chamberlain. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Salah, Klopp, dan Chamberlain. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
ADVERTISEMENT
“Saya adalah pemain yang tak ragu mengambil kesempatan besar meski dalam tekanan. Karena saya sudah melakukannya selama karier saya.”
ADVERTISEMENT
Oke, kalimat yang dikatakan Alex Oxlade-Chamberlain kepada The Guardian pada Januari silam mungkin awalnya terdengar lucu, tapi seiring waktu, mantan pemain Arsenal itu membuktikan bahwa ia tak hanya asal ngomong saja.
Usai Philippe Coutinho pindah pada Januari silam, Chamberlain dipersilakan mengisi pos gelandang tengah dengan peran free-eight. Berada di posisi tersebut, Chamberlain sukses cetak lima gol dan tujuh assist dalam lintas kompetisi.
Satu dari lima gol itu adalah salah satu penyebab kenapa Liverpool bisa melangkah sampai ke final Liga Champions. Yep, satu gol yang dimaksud adalah gol tendangan jarak jauh saat melawan Manchester City dalam leg I babak perempat final.
Namun, Chamberlain tidak akan berlaga di final Liga Champions. Cedera yang ia derita sejak laga melawan AS Roma dalam partai leg I babak semifinal silam adalah penyebabnya. Lantas, kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan Juergen Klopp?
ADVERTISEMENT
Berharap pada Wijnaldum
Juergen Klopp bermain russian roulette dengan memainkan Georginio Wijnaldum untuk mengganti Chamberlain saat menghadapi I Lupi dalam dua lega laga babak semifinal. Siapa sangka, Wijnaldum bisa melakukan pergerakan tanpa bola, operan cepat, apalagi melancarkan aksi dribel tanpa kerepotan berarti.
Di partai leg I babak semifinal, Wijnaldum bermain pada menit 14, 20 menit kemudian, Liverpool sukses cetak gol. Usai Roberto Firmino melancarkan umpan kepada Mohamed Salah yang saat itu sudah di kotak penalti, Wijnaldum pun memutuskan untuk berlari pelan melewati empat pemain Roma di kotak penalti. Aksi tersebut membuat bek Roma terdistraksi, sehingga Salah pun bisa mencetak gol.
Setelah satu gol itu, keran gol Liverpool mengucur deras. Liverpool pun sukses cetak lima gol, sementara Roma hanya mampu membalasnya dengan dua gol.
ADVERTISEMENT
Namun, partai leg II sendiri berjalan tak mudah. Memang, saat laga berjalan 9 menit Liverpool sukses bobol gawang Roma. Namun, lima menit kemudian Liverpool kebobolan akibat gol bunuh diri James Milner. Beruntung, pada menit 24 Liverpool sukses cetak gol lagi. Nah, pencetak gol kedua itu adalah Wijnaldum. Di akhir laga, Liverpool pun berhak ke final akibat menang agregat 7-6.
Berkaca dengan narasi tersebut, rasanya adalah sebuah pilihan yang logis untuk memasang Georginio Wijnaldum di posisi free-eight seperti yang sudah-sudah dengan Jordan Henderson dan James Milner sebagai tandemnya dalam formasi 4-3-3.
Namun, andaikata Wijnaldum malah dimatikan Casemiro, Klopp harus melakukan keputusan nekat seperti memasang Adam Lallana, yang tak lama ini baru sembuh dari cedera, atau Emre Can. Jika tidak, ganti saja satu gelandang dan mainkan Solanke dalam formasi 4-4-2.
ADVERTISEMENT
Solanke dan Ganti Formasi
Mungkin, Juergen Klopp bisa juga menerapkan hasil eksperimennya saat menghadapi Brighton and Hove Albion pada 13 Mei silam. Saat itu, Liverpool lepas dari kebiasaan menyerang dari sayap dalam formasi 4-3-3 yang sudah menjadi identitasnya.
Mereka bermain dengan skema 4-4-2 dengan Henderson dan Wijnaldum sebagai double pivot, sayap kiri dan kanan ada Mane dan Salah. Di depan, ada Dominic Solanke bersama Firmino.
Di awal laga, saat Liverpool menyerang, formasi ini bisa berubah jadi 4-2-4. Baik Firmino dan Solanke bertugas sebagai false nine supaya Salah dan Mane bisa lepas dari kawalan bek lawan. Serangan sendiri dipusatkan ke kotak penalti lawan.
Di menit-menit akhir, formasi ini bisa menjadi 2-4-4 dengan full-back kanan dan kiri, Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson, juga menyerang dari sisi sayap demi menambah variasi serangan. Implikasi dari taktik ini sungguh terasa. Taktik low-block, yang menitikberatkan kepada mencegah distribusi bola ke kotak penalti, yang dilancarkan The Seagulls hancur berantakan.
ADVERTISEMENT
Brighton kepayahan menghadapi counterpressing Liverpool sejak menit awal sehingga mereka tak sempat bikin gol. Di sisi lain, penyerang-penyerang Liverpool sukses cetak gol terus. Pertandingan ini pun selesai dengan skor 4-0 bagi Liverpool.
Tentu, Brighton dan Madrid punya kelas berbeda. Akan tetapi, jika Madrid memilih bertahan dengan cara Brighton di final nanti, sementara formasi 4-3-3 yang biasa dilancarkan Liverpool buntu, tidak ada salahnya untuk mencoba.