Geger karena Hormat Militer

16 Oktober 2019 14:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemain-pemain Timnas Turki, termasuk Cenk Tosun (9), merayakan gol dengan hormat bagi militer negaranya. Foto: Reuters/Huseyin Aldemir
zoom-in-whitePerbesar
Pemain-pemain Timnas Turki, termasuk Cenk Tosun (9), merayakan gol dengan hormat bagi militer negaranya. Foto: Reuters/Huseyin Aldemir
ADVERTISEMENT
Enes Kanter memang bukan pebasket biasa. Bahkan ketika musim kompetisi belum resmi dimulai pun dia sudah menjadi buah bibir lewat aktivitas ekstrakurikulernya. Lewat sebuah op-ed (editorial opini) di harian Boston Globe, Kanter buka suara soal penindasan kebebasan di negara asalnya, Turki.
ADVERTISEMENT
'Enes Kanter: I will not be silenced over Turkey', demikian judul op-ed terebut. Dalam tulisan yang tak terlampau panjang itu Kanter bercerita soal ancaman yang dihadapinya sebagai penentang Recep Tayyip Erdogan. Bahkan, di Amerika Serikat pun, ancaman itu secara rutin dia terima.
Seusai melaksanakan salat Jumat di sebuah masjid di Boston dua pekan lalu, Kanter diteriaki oleh seseorang yang sengaja datang untuk mengganggu dirinya. "Pergi saja ke masjid bapakmu. Dasar pengkhianat!" kata orang itu.
Cap pengkhianat diberikan karena vokalnya Kanter dalam menyuarakan perlawanan terhadap rezim otoriter Erdogan. Oleh pemerintah, dia dan keluarganya dituduh punya relasi erat dengan sosok Fethullah Guelen. Guelen adalah ulama yang dikambinghitamkan atas upaya kudeta militer 2016 silam.
ADVERTISEMENT
Apa yang dialami Kanter dalam suasana ibadah Jumat itu bukan satu-satunya. Lebih lanjut lagi, mantan pemain New York Knicks itu mengatakan dirinya senantiasa menerima ancaman mati dalam beberapa tahun terakhir. Bagi Kanter, kebebasan memang begitu mahal harganya.
Op-ed di Boston Globe itu sendiri diterbitkan pada 10 Oktober 2019, persis sebelum invasi Turki ke Suriah. Invasi itu sendiri dilancarkan kepada para milisi Kurdi yang berbasis di perbatasan Turki-Suriah. Sampai 15 Oktober kemarin, ratusan milisi Kurdi sudah tewas karenanya.
Pada 15 Oktober itu pula Kanter kembali buka suara. Lagi-lagi, dia mengungkit soal penindasan yang dia alami. Namun, kali ini ada konteks lain yang mendasari pernyataan Kanter. Adalah ketidaktegasan LeBron James yang membuat Kanter naik pitam.
ADVERTISEMENT
Sehari sebelumnya James mengkritik Manajer Umum Houston Rockets, Daryl Morey, soal twit dukungan terhadap Hong Kong. kumparanSPORT sudah pernah menjelaskan duduk perkara twit tersebut dan bagaimana impaknya terhadap aktivitas NBA di China.
James sendiri mengatakan bahwa Morey tidak sepantasnya memberi komentar mengenai protes anti-China di Hong Kong karena dia 'tidak punya cukup informasi'. Ini ironis. Sebab, James sebelumnya adalah pahlawan bagi mereka yang tertindas di Amerika sana.
Pernyataan James itu pun kemudian memicu respons dari Kanter. Pria 27 tahaun itu menulis daftar bentuk penindasan yang dia alami, termasuk percobaan penculikan kala dirinya berkunjung ke Indonesia. Di akhir daftar itu, dengan capslock menyala, Kanter menulis, "KEBEBASAN ITU TIDAK DIDAPAT DENGAN GRATIS."
ADVERTISEMENT
***
Kanter benar. Kebebasan memang tidak bisa didapat dengan gratis. Suatu kali, seorang suporter Slovakia pernah bertanya kepada suporter Bosnia-Herzegovina. "Kenapa, sih, kalian selalu menonton pertandingan tandang dengan orang sebanyak ini?" tanya si orang Slovakia.
Mendengar itu, si orang Bosnia menjawab, "Bung, kalian mendapat kemerdekaan hanya dengan goresan pena. Sementara, aku harus kehilangan dua saudaraku untuk mendapatkannya."
Tidak jelas, memang, kapan pertemuan si Bosnia dan Slovakia itu terjadi. Namun, percakapan tersebut telah menjadi anekdot tersendiri dalam lingkaran suporter sepak bola Bosnia. Bagi orang-orang Bosnia, ini adalah cara untuk menjiwai pengorbanan mereka yang gugur dalam perang kemerdekaan.
Kebebasan memang tidak bisa didapat dengan gratis. Apa yang terjadi pada akhir Oktober 2017 di Derbi Interkontinental antara Galatasaray dan Fenerbahce bisa menjadi rujukan. Pada pertandingan itu suporter Galatasaray membentangkan sebuah tifo yang membuat mereka dituduh berafiliasi dengan Guelen.
ADVERTISEMENT
Tifo itu bergambar Rocky, karakter petinju dari film yang diperankan Sly Stallone. Sebagai pendamping tifo itu para suporter Galatasaray juga menampilkan spanduk bertuliskan 'Siz diz çöktüğünüz için onlar büyük görünüyor ayağa kalk'.
Dalam bahasa Indonesia, kata-kata itu artinya 'Mereka terlihat besar karena kau berlutut'. Oleh rezim Erdogan, kata-kata itu langsung diasosiasikan dengan gerakan Guelenist karena sebelumnya Guelen pernah menggunakan kata 'bangkit' dalam sebuah puisi yang dialamatkan ke Provinsi Sakarya.
Serba salah, memang. Apa yang semestinya terlihat tak berdosa pun tiba-tiba saja menjadi tampak durjana. Mata-mata yang menatap dengan curiga senantiasa mengiringi tindak-tanduk mereka yang dianggap sebagai liyan. Siapa menyalak, dia akan kena tembak.
Turki sudah lama bergolak. Namun, sebelum 10 Oktober 2019 lalu pergolakan cuma (betul-betul) dirasakan oleh mereka yang punya kaitan langsung dengannya. Dengan kata lain, warga negara Turki seperti Kanter dan para suporter Galatasaray tadi.
ADVERTISEMENT
Kini, situasinya sudah berubah. Erdogan tak cuma menjadi penindas di negerinya sendiri tetapi sudah menjadi agresor. Alasannya, tentu saja, adalah untuk menumpas pemberontakan dalam negeri. Akan tetapi, efeknya dirasakan oleh mereka yang ada di luar batas negara.
Turki menyerang Suriah dan kecaman pun mereka terima dari pelbagai arah. Para pentolan Uni Eropa seperti Jerman dan Prancis bahkan sudah menyatakan bakal menghentikan penjualan senjata ke sana. Meski begitu, Ankara bergeming. Bom, mortar, dan pelor terus ditembakkan ke Suriah bagian utara.
Di tengah kecaman-kecaman tersebut, rezim Erdogan seperti mendapat bantuan dari para pesepak bola Turki yang berlaga di Kualifikasi Piala Eropa 2020. Dalam pertandingan melawan Albania dan Prancis, mereka secara banal menunjukkan dukungan terhadap aksi ofensif militer Turki tadi.
ADVERTISEMENT
Hormat militer mereka lakukan sebagai bentuk selebrasi. Cenk Tosun, striker Everton, menjadi salah satu pelaku. Bek muda Juventus, Merih Demiral, pun tak ketinggalan. Selain itu, akun Federasi Sepak Bola Turki pun mengunggah foto yang menunjukkan para pemain melakukan hormat militer di ruang ganti.
Akan sangat gegabah untuk berasumsi bahwa para pemain sepak bola itu mendapat paksaan untuk melakukan hormat militer. Toh, tidak semua melakukannya. Para pemain yang bermain di Jerman, seperti Kaan Ayhan yang mencetak gol penyama kedudukan ke gawang Prancis, misalnya, tidak ikut arus.
Meski begitu, gegabah pula untuk melabeli pemain yang memberi hormat militer tadi sebagai orang-orang pro-agresi, pro-Erdogan, pro-militer, dan lain sebagainya. Tak ada yang benar-benar tahu mengapa mereka melakukan hormat militer seperti itu.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, para pemain itu melakukan hormat militer setelah Turki melakukan invasi ke Suriah. Tosun bahkan dengan gamblang menyatakan itu semua merupakan bentuk penghormatan bagi tentara yang mempertaruhkan nyawa untuk negara.
Itu artinya, ada kemungkinan besar para pemain tersebut bakal mendapat sanksi dari UEFA. Investigasi sudah dilakukan dan pasal 16 ayat 2(e) Kode Disiplin UEFA akan menjadi panduan untuk menjatuhkan sanksi. Di situ dijelaskan bahwa pesan provokatif yang berkaitan dengan politik, ideologi, dan agama tidak diperkenankan muncul di arena.
Tahun lalu, pada Piala Dunia 2018, FIFA menjatuhkan sanksi kepada tiga pemain Swiss akibat pesan politis pro-Kosovo yang mereka tunjukkan pada laga melawan Serbia. Xherdan Shaqiri, Granit Xhaka, dan Stephan Lichtsteiner ketika itu masing-masing dijatuhi denda.
ADVERTISEMENT
Para pemain Turki tadi tahu bahwa ada risiko seperti itu dan mereka tetap melakukannya. Ada kemungkinan, keberanian ini muncul lantaran Federasi Sepak Bola Turki sendiri punya sikap yang sudah jelas terkait gerakan separatis Kurdi yang dipandang sebagai organisasi teroris.
Awal 2018 lalu Federasi Sepak Bola Turki menjatuhkan sanksi kepada pesepak bola Jerman berdarah Kurdi, Deniz Naki. Ketika itu Naki masih aktif bermain di klub divisi dua Turki, Amed SK. Namun, setelah mengetahui sikap politis Naki, mereka menjatuhkan hukuman larangan bermain tiga tahun kepadanya.
Terlepas dari itu semua, memang mustahil untuk memisahkan politik dari olahraga. Otoritas berwenang bisa saja membuat aturan yang menurut mereka 'pantas' tetapi itu tak pernah jadi penghalang.
ADVERTISEMENT
Lagipula, menjadi sarana ekspresi politik memang sudah jadi risiko olahraga sebagai—meminjam kata-kata Paus Yohanes Paulus II—hal tidak penting yang paling penting dalam kehidupan. Suka tidak suka, hormat militer para pesepak bola Turki itu tadi adalah sebuah ekspresi politik. Lewat situ mereka menegaskan nasionalismenya.