Gol Bunuh Diri Andres Escobar, Tragedi Sepak Bola Kolombia

22 Juni 2018 16:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gol bunuh diri Andres di Piala Dunia 1994. (Foto: ROMEO GACAD / AFP FILES / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Gol bunuh diri Andres di Piala Dunia 1994. (Foto: ROMEO GACAD / AFP FILES / AFP)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kematian Andres Escobar di Kolombia membuktikan bahwa sepak bola dan kehidupan nyata hanya dipisahkan oleh sekat yang tipis.
ADVERTISEMENT
Bila kehidupan orang-orang Kolombia dibedah, maka di dalamnya akan terlihat bahwa sepak bola lebih dari sekadar olahraga, permainan, dan kompetisi. Ia menjadi atom yang menyusun materi-materi terkecil dalam tubuh negara Kolombia.
Untuk membuktikan sepenting apa sepak bola bagi orang Kolombia, kita hanya perlu melihat dua hal: Konflik Kolombia yang pecah sejak 1964 dan kematian Andres, seminggu lebih setelah pertandingan terakhir mereka di Piala Dunia 1994.
Konflik Kolombia tetap panas walau sudah memasuki periode 1980-an. Gerilyawan sayap kiri Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) beradu dengan pemerintah Kolombia.
Perang gerilya menjadi makanan sehari-hari siapa pun yang hidup di tanah Kolombia saat itu. Selama konflik, FARC berusaha untuk menduduki wilayah penting Kolombia. Pada 1980, mereka berhasil merebut Kantor Kedutaan Republik Dominika di Bogota.
ADVERTISEMENT
Mereka menggunakan sepak bola sebagai taktik. Yang mereka lakukan adalah menyuruh anak-anak bermain sepak bola. Aturannya, bola itu harus ditendang sampai ke dalam kedutaan.
Lantas, anak-anak dengan polosnya harus meminta petugas keamanan mengambil bola tersebut. Siapa pula yang menyangka anak-anak itu bagian dari gerilyawan? Begitu sang petugas keamanan disibukkan dengan perkara mengambil bola, mereka masuk menyerbu kantor kedutaan.
Bagaimana sepak bola digunakan sebagai alat untuk mewujudkan paham ideologi tertentu adalah satu hal, dan bagaimana sepak bola ‘menghabisi’ nyawa Andres menjadi persoalan lain.
Nama Andres tak hanya dielu-elukan di Timnas Kolombia, tapi juga klub tempat dia melakoni kompetisi domestik, Atletico Nacional, yang dimiliki oleh seorang gembong narkoba.
Orang-orang Kolombia mengenal dua Escobar: Pablo Escobar dan Andres Escobar. Walaupun memiliki nama belakang yang sama, keduanya tidak terikat hubungan darah. Meskipun sama-sama tumbuh di jalanan Kota Medellin, keduanya memiliki kehidupan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Nama Pablo tenar sebagai pimpinan kartel narkoba. Sementara, Andres adalah penggawa Timnas Kolombia yang memimpin negaranya ke pentas Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Di antara segala perbedaan signifikan, keduanya punya satu kesamaan: menjemput ajal dengan tembakan peluru.
Julukan Drug Lord yang diberikan orang-orang Amerika kepada Pablo menunjukkan seperti apa cara kerjanya sebagai pemimpin kartel narkoba. Pablo dikenal sebagai sosok yang tak ragu untuk menggunakan jalan kekerasan untuk mempertahankan wilayah perdagangannya. Popeye, nama samaran orang yang dikenal sebagai tangan kanan Pablo, yang berkisah di film dokumenter keluaran ESPN, Two Escobars, juga mengakuinya.
Namun, sebengis-bengisnya Pablo, ia bukan sosok yang gemar mengumbar omong kosong. Ia mencalonkan diri sebagai anggota parlemen negaranya. Tujuannya jelas, ia ingin merebut suaka politik untuk memuluskan jalannya di perdagangan narkoba.
ADVERTISEMENT
Duel Escobar vs Wynalda. (Foto: MIKE NELSON / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Duel Escobar vs Wynalda. (Foto: MIKE NELSON / AFP)
Pablo adalah dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, ia menjadi musuh negara. Di sisi lain, ia dipuja rakyat. Uang hasil berdagang narkoba digunakannya untuk membangun Kota Medellin. Ia mendirikan perumahan murah, membagikan makanan gratis untuk orang-orang miskin, serta menjamin rakyat bisa tetap menikmati sepak bola dengan mendirikan lapangan-lapangan bola.
Pablo adalah penggila sepak bola. Kegilaannya ini tak cuma menyoal urusan emosi, tapi juga hitung-hitungan bisnis. Lewat sepak bola, ia bisa mempraktikkan pencucian uang.
Singkat cerita, Timnas Kolombia berangkat ke Piala Dunia 1994 dengan latar belakang gejolak. Awal dekade 1990-an dikenal sebagai periode berdarah dan kelam dalam perjalanan sejarah Kolombia. Di era ini, kekuasaan Pablo sebagai gembong nomor satu mulai tersaingi oleh Kartel Cali. Baku hantam, saling bunuh dilakukan keduanya demi kejayaan bisnis.
ADVERTISEMENT
Situasi yang tidak mengenakkan ini diperparah dengan dukungan yang diberikan Pablo. Bukan rahasia lagi bahwa Pablo pun pendukung setia Timnas Kolombia. Kesetiaan ini diwujudkannya dalam dua hal. Yang pertama, membentuk Atletico Nacional sebagai tim yang hanya beranggotakan orang Kolombia. Kedua, menyalurkan dana kepada Timnas lewat koneksinya di level klub.
Beratnya langkah Kolombia ditunjukkan dengan permainan tak lepas yang menggiring mereka pada kekalahan 1-3 melawan Rumania di babak grup. Padahal, setahun sebelumnya, Kolombia berhasil mengalahkan Argentina di babak kualifikasi dengan skor fantastis 5-0.
Kemenangan ini menjadi perayaan gila-gilaan bagi masyarakat Kolombia. Sayangnya, Pablo tak dapat menikmati euforia dalam waktu yang lama. Ia tak punya kesempatan untuk menyaksikan Timnas berlaga di Amerika Serikat. Tiga bulan setelah kemenangan atas Argentina itu, tepatnya 2 Desember 1993, sehari setelah ulang tahunnya yang ke-44, Pablo mati diberondong peluru pasukan khusus yang dikenal dengan nama Search Bloc.
ADVERTISEMENT
Peringatan setahun tewasnya Pablo Escobar. (Foto: GUILLERMO TAPIA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan setahun tewasnya Pablo Escobar. (Foto: GUILLERMO TAPIA / AFP)
Tewasnya Pablo berarti Timnas Kolombia kehilangan jaminan keamanannya. Apalagi, mereka sudah terlanjur menerima ‘dana bantuan’ dari sang pimpinan sebelum tewas. Kekalahan dari Rumania membikin kemenangan di laga kedua melawan Amerika Serikat menjadi harga mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Kalau sampai menuai hasil buruk, maka kemungkinan terburuknya adalah berhadapan dengan orang-orang kartel yang menjadi ‘donatur’.
Kekalahan benar-benar menjadi hasil yang dibawa pulang oleh tim pimpinan Andres di Piala Dunia 1994. Amerika Serikat berhasil mengakhiri laga dengan kemenangan 2-1. Bila pertandingan itu dianalogikan sebagai sebuah film, maka ia memiliki dua fragmen penting.
Yang pertama, hal memalukan yang ditunjukkan lewat permainan ogah-ogahan penyerang mereka, Faustino Asprilla. Kedua, gol bunuh diri Andres pada menit 34 yang berarti keunggulan pertama bagi Amerika Serikat di laga ini.
ADVERTISEMENT
Bila melihat tayangan ulang, Andres yang bermain sebagai bek tengah bermaksud untuk memotong umpan silang yang dikirimkan oleh lawannya. Sayangnya, alih-alih mematahkan umpan, rentangan kakinya itu justru mendorong bola masuk ke gawangnya sendiri. Amerika Serikat berhasil menambah keunggulan di menit 52.
Satu gol Kolombia di babak perpanjangan waktu tak cukup hebat untuk menyelamatkan tim dari kekalahan. Begitu pula dengan kemenangan atas Swiss di laga terakhir fase grup. Kolombia angkat kaki lebih cepat. Status sebagai calon juara berubah seketika menjadi pesakitan.
Kombinasi antara peran media dan komentar pemain menjadi persoalan baru yang memperbesar beban Kolombia. Menanggapi kekalahan timnya dari Amerika Serikat, Asprilla dinilai memberikan komentar tak pantas. Katanya, "Ini bukan akhir dunia."
ADVERTISEMENT
Publik Kolombia jelas berang. Kekalahan dan kepongahan pemain menjadi alasan. Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa lewat ucapannya tersebut, Asprilla hanya ingin menegaskan bahwa lebih baik keluar dari turnamen ketimbang bermain di bawah tekanan tak menentu, yang tak ada hubungannya dengan pertandingan secara langsung.
Situasi semakin tak mengenakkan untuk Andres. Ia adalah kapten sekaligus pengacau di laga tersebut. Sebenarnya, Andres juga disarankan agar mengungsi untuk sementara waktu ke Amerika Serikat. Ia diizinkan untuk tinggal di sana sampai keadaan menjadi kondusif. Namun, Andres menolak. Sebagai orang Kolombia, ia percaya, orang-orang di negaranya tak akan menambah luka akibat kekalahan tadi.
Lima hari setelah Kolombia pulang dini dari Amerika Serikat, Andres berusaha melanjutkan kehidupannya. Ia pikir, sedikit bersenang-senang menjadi cara yang baik untuk sejenak melupakan kekalahan.
ADVERTISEMENT
Malam itu, ia memilih mengunjungi klub malam El Indio bersama beberapa temannya. Sayangnya, ia terlibat pertengkaran dengan sekelompok orang yang dinilai mengolok-olok penampilan Timnas Kolombia di Piala Dunia 1994.
Jengah dengan olok-olok, Andres memutuskan untuk meninggalkan klub. Nahas, saat berjalan mendekati mobilnya, ia diberondong enam peluru. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit, karier dan nyawa Andres habis dalam sekejap.
Kematian Andres seolah mengaburkan batas antara realita dan khayalan. Di atas lapangan bola, ia mencetak gol bunuh diri. Di kehidupan nyata, nyawanya dihabisi.
Escobar tetap 'hidup' di Piala Dunia 1998. (Foto: GERARD MALIE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Escobar tetap 'hidup' di Piala Dunia 1998. (Foto: GERARD MALIE / AFP)
Ada banyak spekulasi mengenai kematian Andres. Pertama, pembunuhan ini digagas oleh gembong narkoba, Gallon Bersaudara. Spekulasi ini muncul karena setelahnya, anak buah Gallon, Carloz Munoz ditangkap dengan tuduhan pembunuhan. Mengiringi spekulasi ini, kekalahan Andres dan rekan-rekannya membikin Gallon kalah dalam pertaruhan.
ADVERTISEMENT
Kedua, kematian Andres tak ada kaitannya dengan sepak bola. Sebagian pihak menilai, percekcokan di klub malam itu berkaitan dengan masalah perempuan. Ketiga, ini pembunuhan biasa. El Indio terletak Medellin, kota dengan tingkat kriminalitas tinggi di Kolombia. Pembunuhan bukan perkara langka di kota ini.
Atas segala ketidakpastian yang menjadi tabir dari kematian Andres, sepupu Pablo, Jaime Gavira, cuma bisa berkata; "Sejak Pablo tewas, Kolombia kehilangan kendali. Begitu Bos tewas, semua menjadi bos. Pablo tak pernah menyetujui penculikan. Ia menjalankan segala sesuatunya dengan perintah yang lengkap. Tak ada yang bisa berjalan tanpa seizin Pablo."
Terlepas dari apa pun yang ada di balik ketidakpastian tadi, kematian Andres membuktikan bahwa segala sesuatu yang dibangun di atas pondasi yang bobrok akan runtuh saat waktunya tiba. Dan bagi sepak bola Kolombia, keruntuhan itu terjadi pada 22 Juni, 24 tahun lalu.
ADVERTISEMENT