Hakikat Menjadi Pelatih dalam Benak Seedorf

21 November 2018 0:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seedorf saat melatih Milan. (Foto: ALBERTO PIZZOLI / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Seedorf saat melatih Milan. (Foto: ALBERTO PIZZOLI / AFP)
ADVERTISEMENT
Menjadi pelatih sepak bola berarti mengakrabkan diri dengan kekalahan. Seorang pelatih memang meracik taktik untuk merengkuh kemenangan, menghindarkan timnya dari kekalahan. Tapi, dalam setiap laga, pelatih tidak ikut turun lapangan.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, ia tidak terlibat langsung dalam pertandingan. Kenyataannya, ia tidak bisa berbuat apa-apa, entah itu mencetak gol balasan, menekel lawan, hingga merebut bola, saat timnya sedang berdekat-dekatan dengan kekalahan.
Kehidupan macam itu pulalah yang sekarang dekat dengan Clarence Seedorf. Berhitung mundur, 22 tahun adalah masa yang dihabiskan Seedorf sebagai pesepak bola. Selama dua dekade lebih dua tahun itu, ada 22 gelar pula yang sudah ia persembahkan untuk tim-tim yang pernah dibelanya. Empat di antaranya adalah Liga Champions: masing-masing satu untuk Ajax dan Real Madrid, serta dua untuk AC Milan.
Memutuskan untuk gantung sepatu pada 2014, Seedorf belum mau berjauh-jauhan dengan sepak bola. Kariernya berlanjut ke ranah kepelatihan. Tak tanggung-tanggung, Milan adalah klub pertama yang merasakan kepemimpinan taktiknya. Sialnya, alih-alih menimang gelar juara, Seedorf justru didepak walau kepelatihannya baru berumur 22 pertandingan. Ah, 22 lagi. Sungguh kebetulan yang epik.
ADVERTISEMENT
Selesai berurusan dengan Milan, Seedorf belum menyerah dengan profesi barunya sebagai pelatih. Sosok asal Belanda ini merantau ke China dan menjadi juru taktik untuk Shenzhen FC. Setali tiga uang dengan kariernya bersama Milan, Shenzhen juga bukan tempat yang mau menampung Seedorf dalam waktu lama.
Tak sampai semusim, namanya sudah menghilang dari staf kepelatihan. Deportivo La Coruna menjadi klub ketiganya. Tapi, ya, hasilnya tak berbeda. Belum sampai semusim, jabatannya sudah dicopot. Kini, Timnas Kamerun-lah yang memberikan ruang baginya untuk mengasah kemampuan taktik.
Seedorf dan Buffon usai laga di Trophee Luigi Berlusconi 2011. (Foto: OLIVIER MORIN / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Seedorf dan Buffon usai laga di Trophee Luigi Berlusconi 2011. (Foto: OLIVIER MORIN / AFP)
Jatuh-bangun di atas lapangan, Seedorf kembali menghidupi perjalanan ala roller coaster di ranah kepelatihan. Namun, tak ada satu kesulitan pun yang berhasil membuatnya mengubur asa menjadi pelatih, termasuk menjajal Premier League.
ADVERTISEMENT
"Siapa, sih, yang tidak ingin bekerja di Premier League? Saya tidak pernah bermain di Premier League, jadi saya berharap, cepat atau lambat, bisa menjadi pelatih di sana. Premier League adalah liga yang paling semarak dan sarat antusiasme. Maka, datang dan bekerja di sana akan menjadi kehormatan untuk saya," ucap Seedorf dalam wawancaranya kepada Skysport, dilansir Football Italia.
"Saya ini bukan pemain lagi, jadi saya memulai semuanya dari nol. Hakikatnya manajer itu, mereka lebih sering kalah daripada menang sebelum melatih di 10 klub besar berbeda. Kalau sudah ada di titik itu, mereka akan lebih sering memenangi pertandingan ketimbang kalah."
"Namun tetap saja, saya pikir, 90% pelatih lebih sering kalah daripada menang. Ini bagian dari pekerjaan. Tidak ada jaminan untuk menang, bahkan saat Anda dipandang sebagai pemain terbaik yang bermain untuk tim terbaik," kata Seedorf.
ADVERTISEMENT
Perhitungan Seedorf tentang kekalahan dan kemenangan itu selaras dengan perjalanannya sebagai pelatih. Sebelum diangkat secara resmi sebagai arsitek taktik Kamerun pada 5 Agustus 2018, Seedorf hanya melakoni 52 pertandingan dengan status pelatih. Sedikitnya jumlah pertandingan yang sudah dilakoninya berbanding lurus dengan rasio kemenangannya yang hanya mencapai 32,69%.
Hanya Tuhan dan Seedorf yang tahu apa yang menggelinjang dalam benaknya begitu diperhadapkan dengan angka-angka buruk itu. Barangkali, seketika sepak bola serupa dengan hitungan matematika yang rumit. Permainan bola kaki itu cuma beda-beda tipis dengan persoalan fisika dan kimia yang membikin tidur anak-anak sekolah jadi tak nyenyak.
Clarence Seedorf saat melatih Deportivo La Coruna. (Foto: PIERRE-PHILIPPE MARCOU / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Clarence Seedorf saat melatih Deportivo La Coruna. (Foto: PIERRE-PHILIPPE MARCOU / AFP)
Ketika segala sesuatu--termasuk sepak bola--berubah menjadi gulungan benang kusut, biasanya penyesalan gemar menghampiri. Ia menjadi pengganggu paling tangguh, menggoda siapa saja dengan segala macam pengandaian yang membikin korbannya merutuk mengutuki hidup. Maka, bolehlah kita menerka-nerka seperti apa penyesalan Seedorf.
ADVERTISEMENT
Hanya, penyesalan, hanya lewat sekelebat dalam benak Seedorf. Bila kepalanya itu dibedah dan dibongkar sekeping demi sekeping, yang berdiam di sana adalah tekad. Di sana, ada tekad untuk memberikan warisan terbaik di perhentian berikutnya. Kali ini, bersama dan untuk Kamerun.
"Apa yang saya perjuangkan ke mana pun saya pergi adalah impak positif. Tentu saja saya ingin meninggalkan warisan bagi setiap tim yang saya latih. Sebenarnya ini juga berhubungan dengan hasil. Tapi, sebenarnya, ini berhubungan dengan pekerjaan yang Anda lakukan setiap hari dan segala perubahan, peningkatan, ataupun konsolidasi yang mungkin untuk diwujudkan," ucap sosok yang mengakhiri kariernya sebagai pesepak bola di Botafogo ini.
"Dalam sepak bola global, ada kelompok elite yang berisi tim-tim yang mampu merengkuh gelar juara di setiap turnamen atau kompetisi liga setiap tahun. Namun, hanya karena tidak masuk dalam kelompok elite itu, bukan berarti Anda tidak dapat melakukan hal-hal spesial."
ADVERTISEMENT
"Ya, seperti itulah mental saya. Sekarang, saya bekerja bersama Kamerun untuk menjadi kompetitif. Kami bekerja supaya dapat memberikan warisan terbaik bagi generasi selanjutnya di tim ini," jelas Seedorf.