Harmoni Eintracht Frankfurt

9 Mei 2019 15:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebastian Haller merayakan gol untuk Eintracht Frankfurt pada laga melawan Internazionale. Foto: AFP/Daniel Roland
zoom-in-whitePerbesar
Sebastian Haller merayakan gol untuk Eintracht Frankfurt pada laga melawan Internazionale. Foto: AFP/Daniel Roland
ADVERTISEMENT
Satu langkah lagi dan Eintracht Frankfurt akan kembali ke tempat yang terakhir kali mereka pijak nyaris empat dasawarsa silam: final Liga Europa. Ketika itu Liga Europa memang belum disebut dengan namanya yang sekarang. Akan tetapi, bagi mereka yang cukup tua untuk mengingatnya, tak ada perbedaan antara Liga Europa dan Piala UEFA.
ADVERTISEMENT
Tahun 1980, 39 tahun lalu, Eintracht sukses menembus partai puncak Piala UEFA. Setelah melewati adangan Aberdeen, Dinamo Bucuresti, Feyenoord, Zbrojovka Brno, dan Bayern Muenchen, Eintracht berhak tampil di final kompetisi kelas dua Eropa tersebut. Lawan mereka kala itu adalah sesama tim Jerman lain, Borussia Moenchengladbach.
Usai menjalani laga dua leg dengan Gladbach, Eintracht keluar sebagai pemenang. Mereka kalah 2-3 terlebih dahulu di markas Gladbach. Namun, kemenangan 1-0 di Waldstadion—sejak 2005 disebut Commerzbank-Arena—membuat Die Adler (Sang Elang) berhak atas trofi Eropa mereka yang pertama dan satu-satunya. Adanya aturan agresivitas gol tandang benar-benar menguntungkan mereka kala itu.
Kini, Eintracht bersiap untuk tampil di final lagi. Jika berhasil menyingkirkan Chelsea di semifinal, Makoto Hasebe dan kawan-kawan punya kesempatan untuk mengulangi prestasi yang dulu pernah ditorehkan oleh Cha Bum-kun cs. Peluang mereka pun cukup terbuka untuk kembali ke final karena Chelsea sendiri bakal turun di leg kedua dengan kekuatan yang tidak utuh.
ADVERTISEMENT
***
Tak banyak trofi bergengsi yang dipajang di kabinet Eintracht. Boleh dikatakan, trofi Piala UEFA itu adalah trofi paling berharga yang berada di sana. Walau begitu, keberadaan trofi tersebut merupakan bukti bahwa ada suatu masa di mana Eintracht pernah jadi kekuatan yang cukup ditakuti di negaranya.
Eintracht Frankfurt secara resmi berdiri pada 1899. Proses pendiriannya cukup kompleks. Diawali dari merger dua klub sepak bola, dilanjutkan dengan merger dengan klub senam, dan diakhiri dengan pemisahan dari klub senam tersebut. Walau demikian, Eintracht tetap secara konsisten mampu bertahan di level teratas kompetisi sepak bola Jerman.
Pada 1963 Eintracht menjadi satu dari 16 klub pendiri Bundesliga. Kehormatan itu mereka raih atas prestasi yang mereka torehkan di kompetisi level nasional pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 1959 mereka sukses menjadi juara Jerman Barat. Kala itu kompetisi di Jerman Barat masih terdiri dari liga-liga wilayah yang pemenangnya diadu dalam turnamen berskala nasional. Di final edisi 1959 itu Eintracht mengalahkan Kickers Offenbach 5-3.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan menjuarai kompetisi nasional Jerman Barat itu mengantarkan Eintracht ke European Cup musim berikutnya. Sekali tampil, Egon Loy dkk. langsung sukses menembus partai puncak. Sialnya, pada laga final di Hampden Park, Skotlandia, itu mereka harus bertemu tim bertabur bintang, Real Madrid. Eintracht memang sempat unggul lebih dulu tetapi akhirnya harus menyerah dengan skor telak 3-7.
Prestasi Eintracht akhirnya meredup pada masa-masa awal Bundesliga. Namun, pada dekade 1970-an dan 1980-an mereka sanggup berjaya empat kali di kancah DFB-Pokal. Pada masa-masa itu pulalah mereka berhasil meraih kejayaan di Eropa pada ajang Piala UEFA. Sayangnya, memasuki dekade 1990-an Eintracht mulai ngos-ngosan, khususnya secara finansial.
Agak aneh sebenarnya jika klub dari Frankfurt mengalami kesulitan finansial. Sebab, kota ini adalah kota bersejarah yang menjadi pusat perdagangan Eropa. Namun, tak selamanya sepak bola beririsan dengan situasi di dunia nyata. Pada musim 1995/96 Eintracht akhirnya terdegradasi untuk pertama kalinya dari Bundesliga.
ADVERTISEMENT
Eintracht tidak pernah benar-benar pulih dari masalah finansial dan inkonsistensi itu sampai memasuki dekade 2010-an. Pada akhir dekade 1990-an, Eintracht pernah dihukum pengurangan dua poin karena pelanggaran finansial. Lalu, pada 2004, mereka kembali harus turun kelas karena urusan duit yang tak kunjung beres. Untungnya, Eintracht tak pernah melorot terlalu jauh. Sesulit-sulitnya mereka, Bundesliga 2 sudah jadi tempat yang terburuk.
Eintracht akhirnya kembali menemukan konsistensi di sejak promosi ke Bundesliga pada 2012. Namun, sampai 2016 silam, konsistensi itu hanya cukup untuk membuat mereka sekadar bertahan, bukan untuk menggapai tempat yang saat ini mereka tempati. Segalanya berubah ketika Fredi Bobic dan Ben Manga datang ke jajaran manajemen.
Baik Bobic maupun Manga adalah mantan pemain profesional. Jika Bobic dipercaya untuk menjadi direktur olahraga, Manga adalah kepala pemandu bakatnya. Duo dinamis inilah yang kemudian bertanggung jawab atas revitalisasi Eintracht Frankfurt. Dengan modal finansial yang tak besar, mereka menggunakan insting dan analisis untuk merekrut pemain-pemain yang akhirnya mengembalikan klub ke era kejayaan.
ADVERTISEMENT
Contoh terbaik dari kinerja Bobic dan Manga adalah Luka Jovic. Pada 2017 lalu Eintracht mendatangkan Jovic dari Benfica dengan status pinjaman. Mereka membayar 200 ribu euro dan membuat perjanjian bahwa suatu hari nanti Jovic bakal mereka tebus secara permanen dengan nilai 7 juta euro.
Luka Jovic merayakan gol ke gawang Chelsea. Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach
Pertengahan April lalu Jovic benar-benar ditebus secara permanen. Hal itu dilakukan Eintracht setelah striker Serbia itu mampu menyumbangkan 25 gol dan 7 assist dari 38 pertandingan Bundesliga dan Liga Europa—jumlah itu sekarang sudah bertambah. Jovic pun sekarang jadi incaran klub-klub besar Eropa. Padahal, ketika didatangkan ke Eintracht, pemain 21 tahun itu hanya pilihan keempat di Benfica.
Kejelian dalam mendatangkan pemain itu juga diterapkan Bobic dan Manga dalam kasus Goncalo Paciencia, Filip Kostic, dan Sebastian Rode. Mirip dengan Jovic, Paciencia adalah striker nomor empat di Porto sebelum ditarik ke Frankfurt. Kemudian, Kostic adalah pemain yang dua kali beruntun mengalami degradasi bersama Stuttgart dan Hamburger. Sedangkan, Rode adalah pemain rentan cedera yang dibuang oleh Bayern dan Borussia Dortmund.
ADVERTISEMENT
Namun, memiliki tim rekrutmen yang jeli dalam mendatangkan pemain saja tidaklah cukup. Pada 2016, bersamaan dengan Bobic dan Manga, datang pula Niko Kovac. Bersama Kovac inilah fondasi kebangkitan Eintracht mulai diletakkan.
Sadar bahwa timnya tidak memiliki bintang besar, Kovac memilih pendekatan pragmatis. Pakem 3-4-1-2 jadi pegangan yang sampai saat ini masih diterapkan. Dengan pakem ini, Kovac menempatkan soliditas di atas segalanya. Dengan cara demikian, Kovac sukses mengantarkan Eintracht ke final DFB-Pokal 2017 meski akhirnya kalah dari Dortmund.
Bayern Muenchen vs Frankfurt Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach
Pada musim berikutnya, pembenahan terus dilakukan. Haris Seferovic dikirim secara gratis ke Benfica. Sebagai gantinya, Eintracht mendatangkan Sebastian Haller. Kemudian, Bastian Oczipka dilego ke Schalke 04 dan Jetro Willems direkrut sebagai pengganti. Tak lupa, Kevin-Prince Boateng dan Jonathan De Guzman juga dikontrak. Upaya ini berbuah gelar DFB-Pokal yang diraih setelah menundukkan Bayern. Eintracht pun berhak tampil di Liga Europa.
ADVERTISEMENT
Di Eintracht, pemain sebenarnya datang dan pergi dengan cepat. Akan tetapi, Manga dan Bobic selalu mampu mencari pengganti dengan baik. Kostic, misalnya, didatangkan setelah Boateng hengkang. Lalu, Paciencia dibeli menyusul kepindahan ikon klub, Alexander Meier, ke Sankt Pauli. Kepergian Kovac ke Bayern pun ditambal dengan rekrutmen Adolf Huetter dari Young Boys.
Di bawah asuhan Huetter, Eintracht bermain lebih ofensif ketimbang pada era Kovac. Walau begitu, formasi 3-4-1-2 tetap jadi tumpuan karena dengan pakem itulah Eintracht menemukan stabilitasnya. Sisi sayap menjadi kunci dinamika permainan Eintracht di mana kehadiran Kostic mampu membuatnya lebih hidup.
Kostic yang bermain di sayap kiri itu lebih sering bergerak ke depan membantu serangan. Jika hal ini terjadi, Evan N'Dicka akan bergerak ke sisi kiri untuk jadi bek kiri dadakan. Sementara, di sisi seberang, agresivitas Kostic ini diimbangi oleh kedisiplinan Danny da Costa yang lebih konservatif. Dengan begitu, saat menyerang, formasi Eintracht bisa berubah menjadi 4-2-3-1.
ADVERTISEMENT
Kostic dan Da Costa sendiri mengapit Hasebe dan Rode di tengah. Di depannya, ada Ante Rebic, Haller, dan Jovic yang begitu dinamis bergerak sebagai penyerang. Rebic adalah penerobos, Haller adalah penahan bola, sementara Jovic adalah eksekutornya. Mereka melakukan itu dengan bantuan dari Kostic yang berperan sebagai pengirim umpan silang.
Pelatih Eintracht Frankfurt, Adolf Huetter. Foto: Reuters/Ralph Orlowski
Dengan komposisi ini Eintracht awalnya kesulitan. Mereka bahkan sudah harus tersingkir dari DFB-Pokal di ronde-ronde awal karena instabilitas taktik baru. Namun, secara perlahan, masalah-masalah yang ada berhasil dicari solusinya oleh Huetter. Eintracht pun kini duduk di urutan empat Bundesliga dan berada di semifinal Liga Europa. Sama sekali tidak buruk untuk ukuran klub yang pernah nyaris bangkrut dua kali dalam dua dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
***
Nama Eintracht, dalam bahasa Jerman, berarti harmoni. Bagi klub yang identik dengan warna merah dan hitam ini, kata tersebut bukan cuma nama yang melekat di emblem. Lebih dari itu, harmoni adalah spirit yang membuat Eintracht bisa kembali bangkit seperti sekarang.
Selain harmonis dalam menjalankan klub, manajemen juga senantiasa menjaga keharmonisan dengan para suporter. Pada pertandingan melawan Internazionale yang lalu, misalnya, para suporter Eintracht melanggar aturan UEFA dengan melempar suar ke arah lapangan. Akan tetapi, tidak ada sama sekali kecaman dari pihak manajemen. Justru, mereka merangkul para suporter dan mengajak mereka berdialog agar tak mengulangi perilaku tersebut.
Keharmonisan inilah yang membuat Commerzbank-Arena senantiasa penuh dan bergemuruh. Pada 2017 lalu tercatat bahwa level kehadiran suporter Eintracht adalah yang tertinggi ke-20 di Eropa, mengalahkan klub-klub seperti Atletico Madrid, Inter, dan Paris Saint-Germain. Para suporter itu pun selalu bernyanyi sepanjang laga, termasuk mereka yang tidak masuk dalam golongan ultras.
ADVERTISEMENT
Situasi yang menyenangkan itulah yang jadi modal utama Eintracht Frankfurt dalam mengarungi kerasnya kompetisi Jerman dan Eropa. Mereka punya manajemen yang bagus, metode rekrutmen pemain yang tepat dan tidak bikin kantong bolong, pelatih berkualitas, serta suporter fanatik yang selalu mendukung dengan tulus. Hal-hal seperti inilah yang membuat Eintracht layak disebut sebagai salah satu klub terbaik di dunia.